Shalat dan Berkurban sebagai Wujud Syukur

Publish

25 May 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
755
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Shalat dan Berkurban sebagai Wujud Syukur

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Sebagai muslim mukmin menyadari bahwa kita merupakan makhluk yang diberi hidayah naluri, pancaindera, akal, dan agama. Mungkin sangat sedikit di antara kita yang senantiasa berzikir dan berpikir dan sampai pada simpulan bahwa kita sungguh-sungguh merupakan makhluk yang paling sempurna. Betapa tidak? Pada hewan ada otak. Pada kita juga. Namun, otak pada hewan dibedakan fungsinya dari otak pada manusia oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Otak pada hewan tidak digunakan untuk berpikir, sedangkan otak pada kita digunakan untuk berpikir sehingga dapat menentukan mana yang benar menurut akal. Hewan tidak diberi hidayah agama. Kita diberinya sehingga dapat memilih mana yang benar menurut agama. Dengan agama itulah, kita mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan taat melaksanakan perintah-Nya, serta meninggalkan larangan-Nya. Hewan? Tidak!

Oleh karena itu, semestinya kita mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak hanya dengan mengucapkan kalimat tahmid, tetapi juga menggunakan segala kenikmatan itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, yakni beribadah. Di antara ibadah itu adalah shalat dan berkurban. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat al-Kautsar (108):

اِنَّاۤ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَ 

"Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak."
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَا نْحَرْ 

"Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)."
اِنَّ شَا نِئَكَ هُوَ الْاَ بْتَرُ

"Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)."

Sudahkah kita menjadikan shalat dan berkurban sebagai wujud syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana isi surat al-Kautsar tersebut? Jika sudah, mari kita teliti: apakah kualitas shalat kita makin meningkat? Demikian pula halnya kualitas berkurban?

Shalat sebagai Wujud Syukur

Peningkatan kualitas shalat ditandai dengan pengamalan nilai-nilai shalat dalam kehidupan sehari-hari di luar waktu shalat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. 

Kita mulai saja meneliti amalan yang kita lakukan dalam rangka shalat. Bukankah kita harus bersuci lebih dahulu? Nah, apakah setelah shalat kita tetap menjaga kesucian itu? 

Ketika akan shalat, tangan kita sucikan. Bagaimana setelah shalat: apakah kesucian tangan kita terjaga sehingga tidak melakukan perbuatan yang mengotorinya misalnya korupsi? Apakah tangan kita gunakan untuk melakukan tindakan yang bernilai ibadah, tidak untuk melakukan tindakan yang mubazir? 

Ketika bersuci, mulut kita sucikan. Apakah kesucian mulut kita jaga sehingga hanya kita gunakan untuk mengucapkan kata-kata yang bernilai ibadah, bukan untuk amalan berdosa misalnya berbohong, makan, dan minum yang haram? 

Apakah tidak bertentangan, jika orang yang bersuci ketika akan shalat, tetapi menjadi penasihat hukum yang menggunakan mulutnya untuk membela yang salah? Dengan kelihaian berbicaranya dia berusaha menyiasati hukum sehingga kliennya yang salah bebas dari jeratan hukum? Apakah tidak berdosa, ketika akan shalat, mulut disucikan, tetapi menjadi jaksa yang berbicara tidak cermat dengan tuntutannya; tidak akurat dalil, pasal, dan ayatnya? Menjadi hakim yang tidak berani berbicara yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah? Menjadi polisi yang tidak bersih bicaranya ketika menjelaskan hukum? Menjadi guru yang berbicara kasar dan kotor kepada anak didiknya? Menjadi orang  tua yang berbicara dengan anaknya dengan bahasa yang menyimpang dari contoh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Menjadi wakil rakyat berbicara untuk kepentingan pribadi, sedangkan kepentingan rakyat justru terabaikan?

Ketika bersuci, wajah kita sucikan. Apakah semua yang ada pada wajah, kita jaga kesuciannya? Misalnya, mata: apakah hanya kita gunakan untuk melihat dan membaca segala sesuatu yang bernilai ibadah? Berapa menit kita gunakan dalam sehari untuk membaca koran dan berapa menit kita gunakan untuk membaca Al-Qur’an?  Berapa menit kita gunakan untuk membaca ilmu pengetahuan? Berapa menit kita gunakan untuk membaca apa yang ada di balik ilmu pengetahuan itu?

Ketika bersuci, telinga kita sucikan? Namun, terjagakah kesuciannya? Berapa menit telinga kita gunakan untuk menyimak pengajian dan berapa menit kita gunakan untuk menyimak suara atau bunyi yang menjauhkan kita dari amalan yang bernilai ibadah?

Pendek kata, kita perlu introspeksi. Apakah kesucian yang kita peroleh melalui bersuci tidak hanya kita miliki secara lahir? Semestinya, kita menjadi orang yang suci dalam arti yang seutuhnya.  

Melalui shalat, kita dikondisikan menjadi orang tertib, disiplin,  jujur, sadar akan jati dirinya sebagai makhluk yang sangat lemah di hadapan Allah Subḥanahu wa Ta'ala. Sudahkah kita amalkan semua itu dalam kehidupan kita di luar shalat? 

Muslim mukmin yang  mengerjakan shalat dalam rangka bersyukur, pasti sungguh-sungguh mengerjakannya dan tidak hanya yang wajib, tetapi juga yang sunah. Hatinya damai dan selalu membuat kedamaian. Dia menjadi rahmatan lil'alamin.

Berkurban sebagai Wujud Syukur

Berkurban adalah ibadah yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala pada Hari Raya Qurban. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam HR Tirmizi berikut ini.

ا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلاً أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلاَفِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

 "Tidak ada amalan yang diperbuat manusia pada Hari Raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih hewan. Sesungguhnya, hewan kurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulu, dan kuku-kukunya. Sesungguhnya, sebelum darah kurban itu mengalir ke tanah, pahalanya telah diterima di sisi Allah. Oleh karena itu, tenangkanlah jiwa dengan berkurban." 

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadis lain telah mengingatkan juga agar umatnya berkurban sebagaimana dijelaskan di dalam HR Ahmad dan Ibnu Majah berikut ini.

عَنْ َأبِي هُرَيْرَة: َأنَّ رَسُوْل اللهِ صلى الله عليه وسلم قال : مَنْ كَانَ لهُ سَعَة وَلمْ يَضَحْ فَلا يَقْربَنَّ مُصَلَّانَا (رواه احمد وابن ماجه)

 "Dari Abu Hurairah, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, barang siapa yang mempunyai kemampuan, tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat shalat kami."

Di dalam hadis lain dijelaskan sebagai berikut ini.

يَا يُّهَاالنَّاسُ اِنَّ عَلى كُل أهْلِ بَيْتٍ في كلِّ عَامٍ أُضْحِيَّة
 "Hai manusia, sesungguhnya atas tiap-tiap ahli rumah pada tiap-tiap tahun disunatkan berkurban."

Melalui berkurban, kita dididik agar menjadi orang yang mampu menyembelih nafsu hewani. Bukankah kita merupakan makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling sempurna, paling mulia di antara makhluk yang lain sebagaimana dijelaskan di dalam surat at-Tin (95): 4

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِ نْسَا نَ فِيْۤ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ 

"Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,"

Kita diberi hidayah akal dan agama: hidayah yang tidak diberikan kepada hewan. Semestinya, dengan hidayah tersebut kita dapat berpikir dan berzikir. Dengan berpikir dan berzikir, semestinya kita tidak melakukan tindakan yang melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
 
Adakah di antara umat Islam yang ”merasa miskin” atau malahan ”memiskinkan diri” sehingga tidak melaksanakan kurban? Sungguh ironis! Ada di antara muslim yang sudah shalat, tetapi lebih memilih menggunakan sebagian uangnya untuk membeli rokok daripada ditabungkan untuk berkurban! Ini berarti bahwa mereka telah "memiskinkan diri." Apakah tindakannya itu tidak berarti telah menzalimi diri sendiri? 

Muslim mukmin yang berkurban dalam rangka bersyukur, pasti menjadi rahmatan lil'alamin. Tidak hanya sesama muslim yang memperoleh kedamaian. Tidak hanya sesama manusia yang merasakan kenyamanan..

Kebermaknaan Shalat dan Berkurban

Sudah berapa kali kita shalat dan berkurban? Ya, ada di antara kita dengan yang telah  shalat berpuluh-puluh tahun, ada yang telah melaksanakan ibadah kurban 20, 25, 30 kali atau lebih. Namun, mungkin ada di antara kita yang dari tahun ke tahun belum pernah merenung ulang tentang kebermaknaan shalat dan berkurban. Akibatnya, yang dilakukannya adalah sekadar rutinitas. Buktinya, nafsu hewaninya tetap saja sangat besar! Tindakan korupsi dan haus kekuasaan merupakan contoh yang dengan mudah dapat kita temukan di dalam kehidupan nyata.

Hal itu sungguh tidak sejalan dengan jiwa dan semangat shalat dan berkurban. Nah, agar esensi ibadah shalat dan berkurban menjadi bagian dari akhlak kita dalam kehidupan sehari-hari, mari kita secara serius meningkatkan kebermaknaan ibadah shalat dan kurban sebagai wujud  syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apa artinya jika ada di antara umat Islam yang tidak melaksanakan perintah shalat dan berkurban? Bukankah ini berarti bahwa mereka tidak bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Subhanahu wa Ta’ala? Betapa ruginya mereka! 

Allahu a’lam


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Brand “MU” Harus Disikapi dengan Cerdas dan Bijak  Oleh Amidi, Dosen FEB Universit....

Suara Muhammadiyah

20 December 2023

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Salah satu aspek ibadah haji ad....

Suara Muhammadiyah

31 January 2024

Wawasan

Merawat Muhammadiyah Oleh: Saidun Derani Mukaddimah Tulisan ini diinspirasi oleh Pidato Sambutan ....

Suara Muhammadiyah

26 February 2024

Wawasan

Warisan Yusuf Al-Qaradhawi Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Yus....

Suara Muhammadiyah

8 January 2024

Wawasan

Pendidikan Perdamaian Atasi Kekerasan Oleh: Rizki Putra Dewantoro Pendidikan memainkan peran krusi....

Suara Muhammadiyah

26 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah