Ramadhan yang Memanusia; Sebuah Refleksi

Publish

30 March 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
581
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ramadhan yang Memanusia; Sebuah Refleksi

Oleh: Adrian Al-fatih, Ketua Umum DPD IMM Sulsel

Alhamdulillah hari ini kita telah memasuki puncak ramadhan (hari ke 30) yang artinya bulan penuh kemuliaan ini akan bergegas meninggalkan kita semua. Ramadhan seperti telah banyak kita dengarkan merupakan bulan Istimewa yang didalamnya terdapat lautan hikmah, keberkahan dan pengampunan (magfirah). Sehingga merupakan kerugian yang amat celaka jika dia berlalu kemudian kita masih dalam kelalaian.

Diriwayatkan dari sahabat abu Hurairah bahwa pernah suatu waktu malaikat Jibril datang menyampaikan doa dan langsung disambut amiin oleh Rasulullah Saw. Sahabatpun bertanya apakah yang sedang diaminkan itu. Satu diantara Doa Jibril itu adalah “…Celakalah, celakalah ummatmu Muhammad yang berkempatan bertemu dengan bulan Ramadhan tapi dia sama sekali tidak mendapatkan ampunan dari Allah Swt.” Dalam Riwayat yang lain (HR.Muslim) Rasululullah Saw. Bersabda “Barangsiapa yang bertemu bulan Ramadhan kemudian berlalu begitu saja dan dia tidak mendapat ampunan dari Allah Swt. Maka celaka dia, celakalah dia!”

Penghujung Ramadhan ini selayaknya dijadikan sebagai momentum refleksi yang dalam bagaimana kita memperlakukan Ramadhan. Sebagai makhluk yang fana (transien) penting untuk kita selalu mengajukan pertanyaan kepada diri tentang dari, untuk dan akan kemana kita dalam rimba kehidupan ini? Tanpa karunia, petunjuk dan pengampunan-Nya maka siapalah kita yang hina dina ini?

Ramadhan sebagai syahrut-tarbiyah adalah sarana mendidik diri untuk memulihkan kesadaran kehambaan (abdillah) bahwa manusia merupakan makhluk ruhani (theomorfic being) yang memikul amanat ketuhanan, yang akan membawanya tertuntun kepada jalan-jalan yang diridhai Tuhan, jalan yang penuh Kebajikan (taqwaha) dan menghindarkan diri dari segala bentuk yang mejerumuskan kepada keburukan (fujuraha). Ramadhan harus menjadi turning point (titik balik) kepada jalan fitrah untuk senantiasa lebih mendekatkan diri kepada-Nya, taqarrub ilallah.

Detik-detik akhir dari Ramadhan ini mari kita maksimalkan untuk menderaskan simpuh dihadapan-Nya, memohon ampunan dan pertolongan, mengharap hidayah yang tiada terputus, menundukkan segala keakuan kita yang lemah dan fana ini kepada-Nya Yang ditangan-Nyalah segala urusan dikendalikan. Wa saari’uuu ilaa maghfiratim-mir-rabbikum, Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu (QS.03:133).

Malulah ketika permohonon kita masih meluluh soal dunia, sedang kita melupakan kenikmatan tinggi tiada tara yang kita butuhkan yaitu ampunan, keselamatan dan Ridha-Nya.

Membangun Mentalitas Ramadhan yang Qur’anic

Salah satu amaliyah Ramadhan yang popular dilakukan adalah membaca kitab suci alquran. Dibulan ini frekuensi bacaan quran meningkat drastis, diantara kita bahkan sangat mentradisi khataman sampai berkali-kali. Ini tentu didorong oleh semangat transendental yang kuat akan limpahan keutamaan yang didapatkan Ketika membaca kitab suci dibulan Ramadhan. Ini tentulah sesuatu yang sangat positif tetapi tidak jarang fenomena semacam ini sering terlihat seperti kekagetan spiritual yang terkadang menyisakan problem durabilitas spiritual yang lemah. Hal semacam ini boleh jadi dipicu oleh kualitas pengayaan amaliyah kita yang rendah sehingga nafas konsistensi pengamalan Ramadhan (khususnya membaca quran) ini tidak berkelanjutan.

Menghidupkan Ramadhan sebagai syahrul-qur’an tentu bukanlah sekedar dibaca-khatamkan hanya secara literal. Kita mengimani bahwa Al-qur’an adalah samudera khazanah Ilahi yang bentangannya amat luas dan tiada tepi. Mensyukuri al-quran sebagai huda ‘alannas (petunjuk kehidupan manusia) adalah dengan menjaga nyala ayat-Nya. Jangan sampai Cahaya qur’an meredup ditangan kita oleh karena kelalaian dan kemalasan dalam membaca.

Keimanan kita terhadap absolutisme kebenaran qur’an harusnya meniscayakan etos belajar dan pengkajian lebih mendalam, menangkap pesan keilmiahan, melakukan pengayaan nilai serta terus menggali kedalaman hikmah dari pesan ‘suci langit’ ini. Dengan inilah keshahihan al-qur’an yang likulli zaman wa makan itu bisa membumi dan tidak tenggelam ditengah gegap gempitanya kemajuan zaman.

Madrasah Ramadhan inilah momentum terbaik untuk membagun mentalitas qur’ani dalam pengertian yang lebih luas dan utuh. Bagi penulis (Dengan memohon ampunan dan perlindungan kepada Allah dari kefakiran ilmu) bentuk terbaik dari sikap kita dalam memuliakan al-qur’an bukan hanya dibaca-khatamkan atau menumpuk hapalan sahaja, tetapi bentuk cinta yang tertinggi diatas itu semua adalah membangun kesadaran penuh dalam diri untuk menguatkan komitmen moral-personal kita terhadap pengamalan nilai-nilai qur’an ini. Dengan inilah kita menghidupkan al-qur’an dalam makna subtantifnya sebagai petunjuk kehidupan (al-huda) yang kita Imani kebenarannya hingga akhir zaman (shahihun likulli zaman wa makan). Dalam bukunya tentang Membumikan Islam, Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif memesankan bahwa untuk mengaktifkan mukjizatnya maka qur’an membutuhkan perangkat pendukung yakni sumber daya ummat yang berkualitas unggul. Sudahkah kita diantaranya?

Ramadhan yang didalamnya turun quran dimalam yang penuh kemuliaan (inna anzalnahu fii laylatil qadr), pada malam yang berjibun keberkahan (laylatin mubarakatin), malam yang khairun min al-sahrin (tak terhingga keutamaan kabajikannya), malam yang disesaki malaikat (tanazzalul malaikah war-ruhu fiiha) harusnya membimbing kita menjadi hamba ramdhan yang qur’anic, hamba yang mendapatkan keselamatan dan ketenangan hidup, kualitas ruhani dan moralitas yang tinggi, menjadi hamba yang salaamun hiya hatta mathla’il-fajr. Quraish shihab dalam tafsirnya menyebut fajar yang dimaksud adalah fajar kehidupan, artinya kedamaian hingga akhir hayat dunia menuju keabadian akhirat kelak.

Menjadi hamba Ramadhan yang qur’anic berarti mewarisi semangat laylatul qadar, yaitu menjadi manusia dengan kepribadian agung, memiliki kesadaran ilmu pengetahuan, lembut hati, tutur kata dan perangainya, dirinya selalu terdorong dan tergerak kepada Kebajikan, terhindar serta terjaga dari kekufuran dan kemaksiatan, membawa manfaat kepada sesamanya dan setiap Langkah kehidupannya adalah ibadah hanya kepada Allah Azza Wajalla.

Taqwa yang Memanusia

Seperti yang kita ketahui bahwa dimensi keimanan yang trensenden dalam islam itu selalu beriringan dengan implikasi nilai sosial-humanistik. Setiap syariat yang diperintahkan -utamanya yang pokok dalam agama- tidak hanya berdiri sebagai sesuatu yang vertical-ilahiyah atau semerta bentuk hubungan kepada Tuhan semata (habluminallah) tetapi secara bersamaan wujud relasi ilahiyah itu mengandung nilai yang seimbang (balance) dengan hubungan horizontal kita kepada sesama makhluk (habluminannas, habluminal ‘alamin).

Ibadah puasa yang diperintahkan bukan sekedar menahan aktifitas biologis (syahwat perut dan kemaluan), lebih daripada itu puasa melatih sensitivitas sosial kita, puasa adalah ritus yang mengarahkan keberpihakan kita secara moril kepada sesama yang berkekurangan (dhuafa). Ali syariati menyebut bahwa puasa ini tentang bagaimana belajar menjadi orang miskin, belajar kelaparan, belajar setara dan merasakan saat tak punya. 

Dalam al-baqarah 183 disebutkan bahwa tujuan puasa itu agar manusia mencapai taqwa, la’llakum tataqun. Al-qur’an selanjutnya menganalogikan taqwa seperti pakaian yang melindungi kita, libaasut-taqwa (QS.7:26). Ini senada dengan pandangan Quraish Shihab dalam buku kosakata keagamaannya, bahwa taqwa adalah upaya menjaga diri dari sesuatu yang membahayakan (Masdar dari ittaqa-yattaqi). Sedang dalam salah satu pengajiannya, Sukidi menerjemahkan taqwa sebagai upaya pendayagunaan akal dengan maksimal. Yang dengan itu kita bisa mengerti hal-hal baik yang diperbolehkan dan sesuatu yang buruk (sifatnya larangan).

Taqwa merupakan cerminan kemuliaan kehambaan disisi Tuhan (QS.49:13), inna aqramakum ‘indallahi atqakum. Dalam banyak ayat, al-qur’an mengisyaratkan bahwa karakter taqwa bukanlah kosakata yang berdimensi theologis semata, tetapi sarat akan dimensi sosial-humanis yang lebih luas.

Misal dalam al-imran 134 disebutkan bahwa bertaqwa yaitu mereka berinfak baik diwaktu luang dan sempit, menahan amarah dan yang memaafkan sesama, serta selalu memohon ampunan Allah. Selanjutnya dalam surah al-baqarah 177 disebutkan bahwa ciri orang bertakwa itu adalah mereka yang memberi harta yang dicintainya kejalan Allah (kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan, peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya), yang melaksanakan sholat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan dan penderitaan.

Ini adalah pengingat bahwa kasalehan ritual harus senantiasa diikuti oleh kesalehan sosial. Cahaya taqwa yang merupakan dimensi esoterik (batiniah) haruslan menjadi stimulator sekaligus navigator dari segala Tindakan eksoterik (lahiriah) kita sehingga menghasilkan kehidupan sosial kemanusiaan yang saling mengasihi, menghidupkan empati, menebar kedamaian, kebermanfaatan dan membantu sesama yang membutuhkan.

Dengan ini derajat kehambaan kita pacu untuk selalu bergerak maju menuju kesempurnaan kemanusiaan (insan kamil) sebagai fitrah dari kesempurnaan penciptaan (ahsanu taqwin) dan menghidarkan diri dari segala bentuk yang menjerumuskan kita kepada kerendahan dan kehinaan kehidupan (asfala safilin). Khairunnas anfauhum linnas, Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat kepada yang lain (HR.Ahmad).

Sebagai penutup dari refleksi singkat ini, marilah kita menjadikan akhir Ramadhan sebagai momentum merajut kembali fitrah taqwa dalam diri dengan spirit ‘amalun-shalihah yang ahsanu ‘amala (amalan kualitas terbaik). Semoga Ramadhan ini menjadi jalan penyempurna kehambaan dan kemanusiaan kita disisi Allah sehingga kita termasuk kedalam golongan-Nya yang Muflihuun, hambanya yang Muttaqien. Esok kita telah disambut oleh fajar mentari syawal sebagai penanda kelahiran kita yang baru, manusia fitri (suci) yang telah kembali kepada jalan Tuhannya.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Warisan Pemikiran Modern Syekh al-Qaradhawi Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univers....

Suara Muhammadiyah

16 December 2024

Wawasan

Memahami Al-Qur`an dan Kitab Suci Lainnya Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universit....

Suara Muhammadiyah

3 April 2024

Wawasan

Guru dan Pembelajaran Mendalam Oleh: Wiguna Yuniarsih, Wakil Kepala SMK Muhammadiyah 1 Ciputat Tang....

Suara Muhammadiyah

9 March 2025

Wawasan

Fenomena Sosial Disosiatif di Indonesia Oleh: Amalia Irfani, Dosen IAIN Pontianak/ Sekretaris LPP P....

Suara Muhammadiyah

16 January 2025

Wawasan

Melampaui Cermin: Monia Mazigh dan Perempuan Muslim di Kanada Oleh : Donny Syofyan, Dosen Faku....

Suara Muhammadiyah

19 February 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah