Ramadhan dan Kualitas Kemanusiaan
Oleh : Arifudin, Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Ramadhan bulan penuh keberkahan dan limpah rahmat kembali datang menyapa kita. Wajib kiranya kita bersyukur dipertemukan kembali dengan bulan yang paling ditunggu Rasulullah Saw. Bulan seribu ampunan, bulan yang penuh dengan makna-makna kolosal peribadatan. Lalu, yang menjadi pertanyaan, apakah makna puasa bagi kita? Sebatas lalu lalang formalitas peribadatan. Ataukah memiliki kedalaman makna yang menyentuh akar kemanusiaan kita?
Tentu, di antara kita yang kembali bertemu dengan Ramadhan tidak ingin menjadi termasuk orang-orang yang dikeluhkan Rasulullah, “Banyak di antara umatku yang menjalankan puasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga.” Sebagai umat yang taat pada wasiatnya, tentu kita semua tidak ingin melalui keagungan bulan suci Ramadhan ala kadarnya, biasa-biasa tanpa makna. Sebab, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya bahwa tujuan dari ibadah puasa Ramadhan adalah tercapainya kualitas manusia yang bertakwa setelah melalui proses “penggodokan” diri selama satu bulan penuh (QS Al-Baqarah [2]:).
Itu artinya, ibadah puasa tidak sekadar ajang untuk menahan lapar, dahaga dan hawa nafsu belaka, melainkan juga berimplikasi pada kualitas diri kita. Baik itu kualitas keimanan, lebih-lebih kualitas kemanusiaan kita. Indikator keberhasilan tersebut akan tercermin dari perilaku sehari-hari setelah melewati penempaan dalam “kawah candra- dimuka” Ramadhan sebulan penuh.
Tidak hanya kesalehan individu yang langsung berhubungan dengan Sang Khalik yang akan didapat. Namun juga akan muncul dalam bentuk kesadaran sosial yang diterjemahkan sebagai kesa- lehan sosial dalam melihat fenomena-fenomena sosial masyarakat. Secara pribadi, puasa yang dijalankan dengan sabar dan ikhlas berharap pada ridha Allah Swt. akan mampu mengarahkan peningkatan spiritualitas seseorang yang menjalankannya. Puasa bagi mereka yang melalui dengan sabar dan ikhlas akan berbekas dan mengubah kualitas jiwa menjadi lebih terkendali. Hal itu akan tampak saat menghadapi masalah, pikiran akan jauh lebih jernih dalam mencari jawaban dan solusi jalan keluar.
Visi Sosial
Selain itu, inti dari puasa juga akan mampu menajamkan kepekaan seseorang terhadap masalah-masalah sosial. Kepekaan sosial merupakan wujud dari kepedulian seseorang yang telah melalui aktivitas spiritual dengan Ilahi, karena terjadi keselarasan dengan nilai-nilai Ilahi yang merasuk dalam dirinya. Artinya, ia telah mampu memahami fitrah kemanusiaannya karena mendapat petunjuk langsung dari Ilahi. Keadaan ini berpengaruh terhadap pola laku dan pola sikap seseorang, sebab ia akan merasakan bentuk ketidakadilan, kesengsaraan, penindasan yang terjadi pada sesamanya tidak peduli sekat agama, suku, warna kulit, maupun golongan.
Puasa sejatinya ingin membentuk karakter insan manusia yang tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, namun juga mempunyai perhatian kepada sesamanya yang kurang mampu, kekurangan, ditimpa bencana, kelaparan dan kesengsaraan. Jiwa sosial yang hendak dibentuk dari puasa dapat ditunjukkan dengan nilai keabsahan puasa yang harus ditutup dengan mengeluarkan zakat fitrah di akhir Ramadhan. Ramadhan yang identik dengan zakat fitrah merupakan implemetasi nyata dari kesalehan individu dan kesalehan sosial.
Jelaslah, konsepsi kedekatan dengan Tuhan secara vertikal harus mampu diaplikasikan dengan sikap untuk saling membantu dan tolong- menolong antarsesama secara horizontal. Karenanya, sangat tidak tepat apabila kita menjalankan ibadah puasa tidak hanya berorientasi mencari limpahan pahala seperti yang dijanjikan Allah Swt.
Momentum puasa Ramadhan sudah seharusnya diwujudkan sebagai bentuk nyata aplikasi sosial. Membangun solidaritas dan kepedulian pada saudara-saudara kita yang, mungkin karena kemiskinan yang menghinggapi, belum bisa menjalankan ibadah puasa. Selain itu, perlunya bentuk perhatian dan ketulusan untuk membantu meringankan penderitaan mereka yang sedang dilanda musibah.
Keberhasilan puasa Ramadhan kita kali ini tidak hanya ditentukan seberapa banyak limpahan pahala yang kita terima dengan menjalankan semua perintah-Nya, tapi juga seberapa besar kepedulian kita yang menjalankan puasa dan menerjemahkan inti dan tujuan dari puasa untuk membentuk insan sosial. Semoga kita menjadi orang-orang yang tahu tujuan dari melaksanakan puasa. Sehingga, bukan sekadar lapar dan dahaga yang kita akan dapatkan.
Insan Cita
Maka itu, kesuksesan puasa akan termaktub dalam kepribadian kita setelah mencapai puncaknya di Idul Fitri nanti. Ibarat ulat yang berubah bentuk menjadi kupu-kupu, Ramadhan adalah kepompong yang menjadi tahapan penting manusia menjadi insan kamil. Bukan saja manusia yang tinggi kualitas spiritualitasnya, melainkan juga memiliki spirit agung kemanusiaan; manusia paripurna yang memiliki kualitas-kualitas tertentu untuk menjadi khalifah di muka bumi. Karenanya, puasa setidaknya harus mampu menjadi ruang bagi umat Islam, untuk meningkatkan kualitas keimanan dan etos kerja-kerja kemanusiaan.
Ramadhan dengan demikian akan melahirkan manusia- manusia pencerahan, manusia yang bisa menjadi obor bagi perubahan, menjadi lilin bagi kegelapan; manusia yang selalu dipenuhi perasaan dan semangat optimisme dalam menghadapi rintangan dan tantangan; manusia unggul yang merupakan elaborasi dari kualitas keimanan yang sublim, keislaman yang rahmatan lil ‘âlamîn dan keihsanan yang humanis; insan yang mengejawantah dalam kualitas pribadi yang berpengetahuan luas, pembaru, kreatif, inovatif, pengabdi yang tulus dan ikhlas; serta pribadi-pribadi yang mendasarkan setiap pola laku dan pola gerak dalam bingkai etika, moralitas dan religiusitas, yang mendedahkan setiap tindakannya untuk kemaslahatan bersama.***