Oleh: Mahli Zainuddin Tago
JEPARA, Suara Muhammadiyah- Hotel Novotel Balikpapan, Kamis 12 Juni 2025. Pukul 13.00 dua orang masuk ballroom yang sudah ramai oleh 150 lebih peserta. Mereka datang dari berbagai penjuru tanah air. Acara yang diikuti adalah Rakornas Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Dikti Litbang) bidang Al-Islam Kemuhammadiyahan serta Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (AIK Litabmas). Pesertanya para pengurus Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) yang meliputi pimpinan dan Badan Pembina Harian (BPH). Dua peserta yang baru masuk itu adalah Pak Nas Ketua BPH dan aku-penulis Ketua STKIPM Sungai Penuh-Jambi. Baru saja aku duduk di kursi seorang peserta mendekat. Bertemu dia mengingatkan aku pada banyak hal yang menjadi ide tulisan ini. Tentang pendidikan Muhammadiyah dan perannya dalam mobilitas sosial anak bangsa.
Salah satu dampak positif dari kehadiran lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah terbukanya pintu mobilitas sosial. Fenomena ini sudah terlihat sejak masa awal berdirinya Muhammadiyah. Pada masa itu lembaga pendidikan resmi hanya bisa diakses kalangan tertentu: orang Belanda, bangsawan, orang Cina, atau anak kyai besar. Rakyat biasa hanya bisa mengakses pesantren atau lembaga pendidikan tradisional. Lulusannya tidak bisa mengakses formasi sosial moderen yang terbentu oleh sistem sosial dan politik masa itu. Madrasah Muhammadiyah terdaftar secara resmi pada administrasi pemerintah. Ini membuat para alumninya bisa masuk pada berbagai formasi sosial masa itu. Maka banyak alumni atau aktivisnya bisa mengalami mobilitas sosial. Salah satu yang fenomenal adalah Jenderal Sudirman yang dikenal sebagai Bapak dan Panglima Besar TNI.
Setelah satu abad lebih lembaga pendidikan Muhammadiyah tumbuh pesat. Setelah satu abad lebih Muhammadiyah kini memiliki puluhan ribu lembaga pendidikan. Di antaranya 172 perguruan tinggi. 83 di antaranya berbentuk Universitas dan 53 Sekolah Tinggi. Pengelolaan perguruan tinggi ini diamanatkan PP Muhammadiyah ke Majelis Dikti Litbang. Untuk itu Majelis ini menyelenggarakan berbagai program dan kegiatan.
Salah satu kegiatan pentingnya adalah Rakornas di Balikpapan kali ini. Sesuai dengan temanya peserta Rakornas ini adalah pimpinan PTM yang membidangi AIK dan Litabmas. Mereka adalah para rektor, ketua, atau wakil yang membidangi. Juga para pengurus Badan Pembina Harian (BPH). BPH adalah perpanjangan tangan PP Muhammadiyah yang memiliki tugas antara lain membina AIK pada PTM.
Tentu jumlah anak bangsa yang sudah terdidik melalui lembaga pendidikan Muhammadiyah jutaan orang. Dengan bekal ilmu dan ijazah yang diperoleh mereka lalu bisa menjalani mobilitas sosial. Sebagian dari mereka hadir pada Rakornas kali ini. Beberapa aku kenal dekat karena satu almamater denganku ketika kuliah di Pondok Shabran UMS Solo. Masing-masing mereka memiliki cerita perjuangan yang menarik. Dr. Rahma Amini kini Ketua LPPI UM Sumatrera Utara yang juga Ketua PWA Sumut. Dr. Muhsana Pasaribu mantan Rektor kini Ketua BPH UM Tapanuli Selatan. Dr. Mutoharun Jinan kini Wakil Rektor UM Surakarta. Ustadz Abd Wahhab kini Rektor UM Mataram. Suprayitno kini Wakil Rektor UM Kalimantan Timur tuan rumah Rakornas. Sedangkan penulis hadir Rakornas sebagai Ketua STKIPM Sungai Penuh-Jambi. Meski penulis adalah dosen UM Yogyakarta.
Menariknya sebagian peserta Rakornas dulunya adalah mahasiswaku di UMY. Kini mereka sudah menjadi dosen di berbagai PTM. Pertama, Naufal. Alumni Prodi FAI-UMY ini dosen dan salah satu pimpinan di Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam UMY almamaternya. Naufal menjalani studi S-2 di UGM, melanjutkan S-3 di Universitas Groningen, dan meraih gelar Doktor dari Universiti Malaya. Generasi Naufal banyak menjadi pimpinan di UMY kini. Mereka umumnya lulusan luar negeri. Nurwanto Dekan FAI UMY kini, misalnya, juga alumni generasi UMY. Dia menamatkan S-2 di Inggris dan S-3 di Australia. Wakil dekannya Sobar juga alumni dan memperoleh gelar Doktor dari Taiwan. Mereka generasi penerus yang cerdas AIK yang tidak diragukan. Mereka membuat kami optimis akan masa depan UMY sebagai PTM kebanggaan di ibukota Muhammadiyah.
Kedua, Lukman. Lukman adalah yunior Naufal. Lukman memiliki cerita menarik ketika kuliah di UMY. Tantangannya adalah keterbatasan ekonomi. Maka Lukman harus berjung lebih keras dari Naufal. Untuk kuliah sambil menyambung hidup dia menjual martabak di Pasar Gamping. Menariknya Lukman juga aktivis kampus. Lukman adalah Presiden atau Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa UMY. Ketika wisuda aku sebagai dekannya berlinang air mata menyaksikan Lukman yang gagah mewakili wisudawan. Banyak istilah berbahasa Inggris dan Arab yang fasih dia ucapkan. Belakangan Lukman menjadi pegawai Majelis Dikti. Dia juga meraih beasiswa LPDP untuk S-2 di UGM. Pada Rakornas kali ini Lukman menjadi ketua panitia. Semoga di tengah berbagai kesibukan Lukman segera bisa melanjutkan studi ke Program Doktor.
Ketiga, Ikhsan. Ikhsan memiliki kisah yang lebih dramatis. Dialah orang yang menghampiriku dan menjadi intro tulisan ini. Anak Hutapadan, Kotanopan-Sumut ini masuk UMY pada 2009. Dia berangkat ke Jogja dengan bis ekonomi ALS tiga hari empat malam. Ikhsan naik bis gratis karena kernetnya adalah pamannya sendiri. Tentu Ikhsan duduk di kursi cadangan. Tetapi Ikhsan hanya dibekali orang tua untuk tiga bulan dan di Jogja tidak ada orang yang dia kenal. Maka seturun dari bis ALS di terminal Jogja alumni madrasah Muhammadiyah ini diantar pamannya naik becak ke kantor PP Muhammadiyah. Ikhsan transit sembilan hari di kantor PP sebelum menjadi marbot masjid di dekat Kampus UMY. Disini dia mendapat kamar gratis. Tetapi masjid ini belum lagi Makmur. Maka untuk makan dia harus bekerja. Ikhsan menjadi penjual daging bakso goreng.
Keterbatasan biaya membuat kuliah Ikhsan tidak normal. Ujar Ikhsan getir pada penulis “kalau bayar uang kuliah terus Pak, tidak bisa makan aku. Kalau makan terus Pak, tidak bisa bayar uang kuliah aku.” Maka selama empat tahun Ikhsan hanya bisa selesai enam semester. Tetapi ini tidak menghalanginya menjadi aktivis. Dia menjadi ketua IMM Komisariat dan Kabid IMM Cabang. Pada tahun kelima dia menjadi musyrif di Muallimin. Maka uang makan dan kuliah aman. Ikhsan pun bisa mudik perdana ke Hutapadang setelah empat tahun merantau. Ikhsan kembali naik ALS. Tetapi tidak lagi di kelas ekonomi. Apalagi di bangku cadangan. Pada 2020 Ikhsan selesai S-2 di MSI-UMY. Dia lalu diterima menjadi dosen AIK sekaligus karyawan di STIMIK Muhammadiyah Jakarta. Ikhsan kini menjadi kepala LP3-AIK. Dalam kapasitas ini dia menjadi peserta Rakornas Majelis Dikti kali ini.
Acara Rakornas berisi banyak materi penting terkait bidang AIK dan Litabmas.
Rakornas dibuka Prof Irwan Akib Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi pendidikan. Menurut beliau AIK serta Litabmas merupakan roh dan jantung Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah (PTMA). Oleh karena itu AIK tidak boleh hanya membicarakan jumlah SKS-nya. Tetapi harus lebih substansial. Litabmas juga menjadi bagian terpenting dari PTMA. Oleh karena itu untuk menjaga denyut jantung PTMA ini dibutuhkan kesinambungan anggaran. Sehingga aliran oksigen dan darah AIK dan Litabmas bisa menggerakkan PTMA. Sedangkan Prof Bambang Setiaji Ketua Majelis Dikti Litbang PP Muhammadiyah menegaskan pentingnya AIK bukan hanya dalam teori. Tetapi harus diwujudkan dalam realitas kehidupan.
Saat penutupan Prof Bambang menghimbau para peserta untuk berjihad. Demi kemajuan PTMA masing-masing. Generasi baru kini adalah generasi yang rentan. Masa depan mereka dititipkan ke PTMA. Maka harus dikawal dengan menguatkan AIK. Dulu KHA Dahlan menjadi pelopor dengan mendirikan rumah sakit. Kini era mobil listrik. Muhammadiyah harus menjadi pelopor. Untuk itu sudah ada kerjasama dengan Wuling. Gerakan seperti ini hanya bisa dilakukan PTMA. Tidak oleh PTN karena penganggaran mereka sangat strik. Rakornas ini juga merekomendasikan: pemenuhan anggaran AIK minimal 5%, penguatan lembaga AIK, impelementasi Pedoman AIK, matrik pengukuran capaian pemenuhan standar mutu AIK, sertifikasi dosen AIK, pemberian KTAM kepada lulusan, dan pendataan PTKIM yang meliput jumlah dosen AIK serta dosen FAI.
Bandara Aji Muhammad Syamsuddin-Balikpapan, 14 Juni 2025. Beberapa peserta Rakornas menunggu boarding di Gate-8: Rektor UM Barru, Rektor UM Sinjai, Prof Sutrisno, Prof Lincolin, dan Prof. Nurmandi. Tiga yang terakhir adalah pengurus Majelis Dikti Litbang. Aku dan Pak Nas banyak mendapat masukan terkait langkah-langkah membesarkan STKIPM Sungai Penuh. Hari-hari ini kampus kami menarik perhatian di kalangan PTM. Khususnya sejak mendapat wakaf tanah 22 hektar. Pulang Rakornas aku dan Pak Nas segera ke Sungai Penuh-Kerinci lagi. Banyak pekerjaan menunggu untuk mewujudkan mimpi besar kami disana. Pada masanya nanti makin banyak anak muda di Sungai Penuh dan Kerinci yang bisa mengalami mobilitas sosial melalui lembaga pendidikan Muhammadiyah. Sebagaimana dialami beberapa alumni UMS dan UMY yang menjadi peserta Rakornas kali ini.
(Ditulis di Cepogo- Jepara, 21 Juni 2025)