BANDA ACEH, Suara Muhammadiyah - Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan, keterjangkauan, dan konsumsi pangan yang cukup, aman, dan bergizi secara berkelanjutan. Dalam konteks berbasis keluarga, ketahanan pangan menjadi pondasi utama dalam pembangunan manusia dan ketahanan nasional demikian disampaikan Hj Ashraf, SP, MSi, pada acara resepsi Milad 'Aisyiyah ke-108 di sekretariat Pimpinan Wilayah 'Aisyiyah (PWA) Aceh, Senin (19/5/2025).
Ia menjelaskan bahwa dalam Sistem Sosial Ekologis memandang keluarga sebagai bagian dari sistem sosial-ekologis yang saling terkait dengan lingkungan, ekonomi, dan kebijakan. Ketahanan pangan keluarga tidak hanya ditentukan oleh pendapatan atau ketersediaan lahan, tetapi juga oleh faktor-faktor seperti Akses terhadap sumber daya alam (lahan, air) dan Pengetahuan lokal serta adaptasi terhadap perubahan iklim, Jaringan sosial dan dukungan komunitas.
Menurut Ashraf yang juga alumnus FP USK ini berpendapat Pendekatan ini mendorong ketahanan pangan yang berbasis keberlanjutan dan pemberdayaan lokal.
Menurutnya, indikator ketahanan pangan keluarga menekankan pada empat pilar utama, yaitu ketersediaan (availability), yakni pangan tersedia secara lokal dan nasional; aksesibilitas (access), yaitu rumah tangga mampu membeli atau memproduksi pangan; pemanfaatan (utilization), yaitu pangan dikonsumsi secara sehat dan bergizi; serta stabilitas (stability), yakni keempat aspek tersebut terjaga dalam jangka panjang.
Dalam konteks keluarga, aspek “utilization” menekankan peran ibu dan anggota keluarga dalam memilih, mengolah, dan mendistribusikan pangan secara adil. Secara teoritis Feminist Political Ecology menekankan Pendekatan yang menyoroti pentingnya peran gender, khususnya perempuan, dalam produksi dan konsumsi pangan keluarga.
Perempuan seringkali menjadi penentu utama dalam keamanan pangan rumah tangga, namun tidak selalu mendapatkan akses yang setara terhadap sumber daya, pendidikan, atau pengambilan keputusan serta mendorong perlunya kebijakan yang sensitif gender dan memberdayakan perempuan sebagai aktor utama ketahanan pangan.
Ashraf juga menjelaskan aspek Behavioral Economics, dimana perilaku konsumsi pangan dipengaruhi oleh bias psikologis, norma sosial, dan konteks ekonomi. Misalnya, keluarga bisa saja memiliki akses terhadap pangan sehat, namun memilih makanan cepat saji karena persepsi harga, kemudahan, atau tren. Intervensi seperti nudging (dorongan halus) dapat diterapkan untuk mempengaruhi perilaku konsumsi yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Terakhir Ashraf mengingatkan Faktor-Faktor Strategis seperti Diversifikasi pangan lokal: Mengandalkan pangan non-beras (sorgum, umbi, jagung). Urban farming dan pekarangan rumah: Solusi praktis untuk ketahanan pangan kota. Edukasi gizi keluarga: Melalui sekolah, posyandu, atau media digital serta Penguatan ekonomi keluarga: Melalui UMKM pangan dan koperasi keluarga.
"Ketahanan pangan berbasis keluarga menuntut pendekatan yang holistik dan kontekstual. Isu-Isu terbaru menunjukkan pentingnya mempertimbangkan aspek sosial, ekologis, gender, hingga psikologi dalam merancang kebijakan dan program," jelasnya. Ia menambahkan bahwa investasi pada pemberdayaan keluarga, terutama perempuan dan generasi muda, menjadi kunci ketahanan pangan berkelanjutan di masa depan. (Agusnaidi B/Riz/Ha)