Pokok Pikiran Agraria DPD IMM DIY

Publish

25 February 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
670
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Pokok Pikiran Agraria DPD IMM DIY

Oleh: Syauqi Khaikal Zulkarnain, Ketua Bidang Agraria DPD IMM DIY 2023-2025

Patria o muerte, tanah air atau mati, kata Che Guevara pada suatu ketika. Demikianlah satu kalimat pendek-tegas yang diungkapkan tokoh revolusioner Kuba itu dalam upayanya untuk senantiasa menegaskan pentingnya kedaulatan atas rumah, tanah, dan negara. Dalam sisinya yang lain pula, Che hendak menerang-jelaskan bahwa gerakan anti-imperialisme merupakan pokok yang paling penting dalam upaya meraih kedaulatan itu.

Jika hendak kita tarik dalam konteks Indonesia, soal kepemilikan atas tanah dan isu-isu agraria umumnya hadir karena kita tak pernah dapat melepaskan diri dari jerat imperialisme yang merupakan anak kandung dari kolonialisme. Sementara umum untuk dipahami bahwa kolonialisme ditegakkan bersama-sama dengan kapitalisme (Loomba, 2016: 4).

Di Indonesia, kapitalisme tumbuh sebagai cangkokan kapitalisme-kolonialisme, sehingga banyak terjadi konflik agraria dan ketimpangan struktur feodalisme. Ada penguasa yang mempunyai tanah luas, namun sekaligus banyak rakyat yang sama sekali tidak punya. Masalah tersebut kemudian membuat banyak daerah melakukan revolusi sosial pasca kemerdekaan. Hal ini terjadi karena belum tuntasnya proses dekolonisasi dalam konteks relasi sosial.

Keadaan ini menghadirkan konflik sosial yang terjadi di masyarakat karena banyaknya aturan yang dilanggar oleh kelompok elite. Pada akhirnya, masyarakat luas yang banyak berjuang sekaligus menjadi korban ketidakadilan atas masalah ketimpangan pemilikan tanah. Jika hendak ditarik ke belakang, cita-cita mengenai revolusi sosial terus berusaha dicapai masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan mendorong pembuatan UU No. 5 Tahun 1960. UU ini disebut UU jalan tengah karena dilatarbelakangi oleh pertarungan dari berbagai partai.

Sebagai UU yang pertama kali dibuat, UU No. 5 Tahun 1960 menjadi payung hukum agraria yang mendorong pembuatan UU lain seperti Keppres No. 131 Tahun 1961 tentang penyelenggaraan land reform, serta UU No. 21 Tahun 1964 tentang pengadilan land reform. Sejak kemunculan UU tersebut, di Indonesia terdapat pengadilan khusus yang mengurus kasus land reform selain pengadilan negeri dan agama. Sasaran pokok UU ini adalah tanah absten (tanah yang berlebihan) dan tanah perkebunan untuk dijadikan objek land reform. Sedangkan tanah negara tidak menjadi bagian utama dari land reform, tetapi akan digunakan ketika ada kekurangan objek.

Namun, dalam perjalanannya UU ini mendapat banyak kendala yang datang dari kaum elitis. Kendala pertama terjadi karena adanya ketidakrelaan para tuan tanah, birokrat, dan elite terhadap tanah miliknya yang dijadikan objek land reform. Kendala kedua, para tuan tanah/elite/partai yang anti terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) mencoba menolak redistribusi tanah dengan cara mengalihkan penggunaan tanah untuk warisan anak-anaknya, tempat pendidikan, dan wakaf rumah ibadah.

Kolonialisme dan Persoalan Agraria

Demi menjelaskan ihwal gagalnya proses dekolonisasi di negeri yang terjajah selama 350 tahun ini, W.S. Rendra, seorang penyair, menggugat pemandangan ini dalam sebuah puisinya. “Jalan lalu linta masa kini, mewarisi pola penjajah tempo dulu”, katanya. Gugatan ini semakin tepat sasaran juga ketika kita perhatikan peta PSN (Proyek Strategis Nasional) yang dikebut oleh rezim pemerintahan Joko Widodo.

PSN kerap meminggirkan masyarakat dari kedaulatannya atas tanah dan ruang hidup yang telah mereka tempati sejak bertahun lamanya. PSN yang menjauhkan banyak manusia dari tanah tempat ari-arinya dikuburkan. Pemandangan ini menghadirkan satu tragedi kemanusiaan yang panjang lewat rekaman penggusuran rumah, lahan, sawah, dan berbagai kearifan lokal yang terkandung dalamnya. 

Sialnya, tragedi ini tak berhenti dalam rekaman kekerasan negara selama proses alih fungsi lahan rakyat belaka. Lebih jauh lagi, manusia sebagai pokok utama dalam sebuah kolektif dan ruang hidup kemudian dipaksa untuk tercerabut pula dari akarnya. Terpaksa memulai semua dari awal dan sama sekali terlupakan, tak diurus oleh negara. Seolah-olah ganti rugi (atau ‘ganti untung’ dalam bahasa negara) benar-benar dapat menyelesaikan semua kompleksitas masalah yang dialami rakyat korban Proyek Strategis Nasional itu.

Begini, jika kita menarik diri jauh ke belakang, khazanah sejarah Indonesia pernah dijejali berbagai pembangunan mega infrastruktur bahkan sejak zaman penjajahan. Rekaman paling monumental tentulah pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan oleh Daendels. Barangkali, tak berlebihan jika kita sebut pembangunan jalan ini merupakan mega proyek pertama yang terjadi dalam konteks Indonesia modern. Jalan ini membentang dari ujung barat Jawa, jauh ke timur hingga Panarukan.

Pramoedya Ananta Toer mengawetkan proses pembangunan jalan ini dalam salah satu bukunya yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Pram memberikan label ‘genosida’ pada mega-proyek Daendels tersebut. Tentu label itu bukan sekadar bualan seorang sastrawan, sebutan genosida bagi pembangunan Jalan Raya Pos benar adanya. Paling tidak, sekitar 12.000 pribumi mati dalam proses pembangunan jalan tersebut. Kendati demikian, Pram menyebutkan bahwa pembangunan Jalan Daendels berhak diakui sebagai infrastruktur penting pada masanya, bahkan hingga kini.

Menilik Jalan Raya Pos pada zaman penjajahan di bawah kuasa Daendels artinya memaksa kita mengakui bahwa pola pembangunan yang dikebut oleh pemerintah melalui Proyek Strategis Nasional sungguh memiliki karakteristik yang sama sekali tak jauh berbeda dari proyek yang dilakukan oleh Daendels dan para kolonial Belanda lainnya. Pembangunan negara  adalah genosida itu sendiri, tak ada yang dibunuh secara massal, kecuali bangsa. Ya, genosida jika kita artikan secara sempit adalah pembunuhan besar-besaran terhadap suatu ras atau suatu bangsa.

Lalu apa itu bangsa? Kelompok masyarakat, yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, sejarah, budaya, dan pola hidupnya? Jika demikian apakah pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport sama sekali tak membunuh bangsa? Sama sekali tak membunuh irisan yang terkandung dalam bangsa itu sendiri, seperti budaya; local wisdom; bahasa; dan pola hidup masyarakat Temon, Kulonprogo yang notabene petani Jawa?

Apakah pembangunan Bendungan Bener di Wadas sama sekali tak mengancam warga yang puluhan tahun hidupnya bergantung pada ladang dan hutan? Apakah pembangunan Trans Papua sama sekali tak mengusik bangsa Papua yang hidup di sepanjang hutan rimba raya Papua? Apakah Jalan Raya Pos Daendels sama sekali tak mengubah wajah Jawa dan anak semua bangsa yang seterusnya beranak-pinak di sana?

Detail ini yang tak sempat direkam oleh negara, persoalan ini yang kemudian tak akan pernah dapat diselesaikan oleh uang ganti rugi negara terhadap korban yang digusur tanahnya. Detail ini pula yang nantinya akan senantiasa dicatat dalam jalannya kerja-kerja Bidang Agraria DPD IMM DIY. Ekologi-budaya namanya, bahwa dalam setiap perampasan tanah rakyat, terkandung pula kematian petani, nelayan, kelompok masyarakat adat, seniman lokal, dll yang secara umum ialah kematian sebuah bangsa sekaligus penjajahan negara atas manusia karena gagalnya upaya melepas-bebasakan diri dari kolonialisme. Kita perlu melempar satu mosi, yakni dekolonisasi total.

Feodalisme dan Persoalan Agraria

Sebelum penjajahan, pada zaman kekuasaan raja-raja, hukum tanah berdasar sistem feodalisme, yang dasarnya: Tanah adalah milik raja. Rakyat adalah milik raja juga. Di kerajaan Mataram, sekarang Surakarta dan Yogyakarta, tanah adalah kepunyaan Sultan dan Sunan (kagungan dalem), status rakyat cuma sekadar peminjam (wewenang anggaduh). Masyarakat feodalisme merupakan perbudakan dalam ekonomi, politik, dan sosial (M. Tauchid, 1952).

Di bawah feodalisme, kian runyam juga persoalan agraria yang terjadi di negara bekas jajahan yang gagal melakukan dekolonisasi ini. Pasalnya, sejak zaman yang sudah-sudah, feodalisme dan kolonialisme senantiasa menjadi momok menakutkan dalam upaya menghadirkan satu penghidupan yang lebih sehat di tengah-tengah masyarakat banyak. Keduanya hadir pula dalam mengganggu upaya pemerataan keadilan agraria di bumi manusia.

Sebelum sampai pada persoalan raja-raja, pokok pikiran soal feodalisme sebetulnya sudah kian banyak diadopsi dan dimuluskan oleh berbagai manusia yang merasa dirinya pantas untuk dijadikan raja. Keadaan ini melempar satu kenyataan buruk bahwa ada satu pola kebudayaan yang kemudian menghadirkan jurang pembeda yang terlampau jauh bagi tiap-tiap manusia. Sebuah kabar buruk yang sudah sejak lama dilempar dari kedalaman keraton pun turut memastikan banyak manusia Indonesia, khususnya di Yogyakarta, sebagai penumpang gelap di tanah yang sejak lama sudah menghidupi diri dan keluarganya.

Relasi feodal ini terjadi pula di berbagai kelas sosial, misalnya hubungan antara kiai dan masyarakat. Kiai sebagai orang yang dituakan sekaligus “penyambung lidah Tuhan” telah sepenuh-penuhnya memiliki exorbitante rechten untuk sebanyak-banyaknya mengakuisisi kepemilikan atas tanah, alih-alih membiarkan tanah itu dimiliki bersama untuk kesejahteraan umat manusia secara umum. Ini baru mencatat soal kiai, sialnya, di atas kiai masih ada raja-raja yang lebih banyak lagi menguasai tanah.

Berangkat dari hal tersebut di atas kemudian Bidang Agraria DPD IMM DIY menganggap bahwa feodalisme merupakan pilar kedua setelah kapitalisme-kolonialisme yang mendorong lahirnya ketidakadilan agraria. Hal ini penting untuk ditegaskan, mengingat DPD IMM DIY berkedudukan di tanah tempat raja-raja berkuasa. IMM DIY mestilah merespon ketidakadilan agraria yang hadir di DIY imbas dari sistem feodalisme atas penguasaan tanah (red: Sultan Ground) yang hingga kini masih dianggap relevan untuk diterapkan di daerah yang istimewa ini.

Dalam pengantar singkat ini tak akan diumumkan kasus agraria besar yang melibatkan ratusan hektar tanah seperti yang terjadi di Parangkusumo misalnya. Bahwa dalam diskusi MAP Corner Club MKP UGM pada 2016 misalnya disebutkan bahwa Sultan Ground hanyalah alasan untuk mengklaim 141,15 hektar tanah di Parangkusumo, padahal sudah semenjak 1984 Sultan Ground dihapuskan.

Alih-alih menghadirkan contoh kasus yang melibatkan ratusan hektar tanah, tulisan ini memilih untuk menampilkan contoh sederhana soal betapa bahayanya sistem feodalisme memisahkan manusia dengan tanah dan berbagai perangkat kebudayaan yang mengikut di dalamnya, polemik penutupan Alun-alun Utara dengan pagar besi misalnya. Masih lekat di kepala penulis dan masyarakat Yogyakarta secara umum soal posisi Altar dan momen tahunan bernama Sekaten.

Pihak Ngarso Dalem menyebut bahwa Alun-alun Utara merupakan halaman yang merupakan satu kesatuan dengan Keraton Yogyakarta, sehingga dalam hal ini menjadi wajar bagi pemilik rumah untuk memagar halaman rumahnya. Namun persoalannya tak sesederhana itu, Alun-alun Utara juga lekat dengan keberadaan Sekaten dan pasar malam. Semenjak Alun-alun Utara itu dikelilingi besi panjang, berakhir juga romantisme soal Sekaten beserta wahana pertemuan rakyat miskin kota Yogya ini. Hilangnya Sekaten menandai hilangnya satu wahana liburan kaum kecil, hilangnya Sekaten menandai hilangnya ruang publik pertemuan rakyat banyak.

Demikianlah contoh paling sederhana yang hendak disampaikan dalam tulisan ini, kasus-kasus lain biar menyusul di kemudian hari. Soal betapa sistem feodalisme raja-raja berpotensi banyak untuk merampas dan memisahkan manusia atas tanah dan penghidupannya di berbagai sektor kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Jika umumnya konflik agraria berupaya merampas tanah yang merupakan ruang privat untuk dijadikan fasilitas publik, maka feodalisme menyimpan kemungkinan lain, yakni merampas tanah sebagai ruang publik menjadi ruang privat.

Demikianlah, sampai juga pada akhir pemberhentian. Pendek kata, bagi Bidang Agraria DPD IMM DIY, carut-marutnya isu-isu dan konflik agraria yang bermunculan disebabkan oleh perangkat kebudayaan yang memaksa kita (negara dan warganya) untuk hidup dalamnya. Sistem kebudayaan itu terjadi karena gagalnya proses dekolonisasi di Indonesia sehingga kapitalisme-kolonialisme masih senantiasa direproduksi dalam berbagai lini penghidupan bangsa, termasuk dalam pola pembangunan nasional. Tak berhenti di kapitalisme-kolonialisme, reproduksi akan nilai-nilai feodalisme juga berpotensi besar untuk kian membikin runyam upaya-upaya meraih keadilan agraria di kita punya negara.

Sekali lagi, patria o muerte, karena menjaga tanah, artinya sekali lagi menolak untuk kalah. Menolak untuk takut. Menghampiri bahaya.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Buya Hamka dan Pancasila Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor, Universitas Al Azhar ....

Suara Muhammadiyah

2 June 2024

Wawasan

Muludan: Interpretasi Spirit Profetik Kenabian Menuju Transform Sosial Oleh: Izhar Tawaqal Caniago,....

Suara Muhammadiyah

18 September 2024

Wawasan

Mengenal Syariah Lebih Dekat Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas H....

Suara Muhammadiyah

20 November 2024

Wawasan

Sambut Hari Kemenangan dengan Gembira dan Istiqamah dalam Kebajikan Oleh: Rumini Zulfukar (Gus Zul)....

Suara Muhammadiyah

7 April 2024

Wawasan

SARASEHAN PEMIKIR: Memikirkan Pemikiran Pendidikan Muhammadiyah  Ringroad Barat-Jogja, Kamis, ....

Suara Muhammadiyah

20 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah