Pertentangan antara Dekolonisasi dan Modernisasi

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
70
KKB #1

KKB #1

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Belakangan ini dekolonisasi menjadi topik yang lumayan banyak diperbincangkan oleh kalangan akademisi, baik mereka yang berlatar belakang studi Islam, ilmu sosial humaniora, atau bahkan sains terapan. Dari bangku perkuliahan, gagasan ini kemudian menjelma sebuah gerakan intelektual yang sedikitnya memiliki dua tujuan utama. Pertama, meruntuhkan hegemoni universalisme dan monopoli epistimologis Barat. Kedua, memulihkan pengetahuan  pra kolonial yang tertimbun. 

Rofiq Muzakkir dalam acara bertajuk KKB (Klub Kajian Buku) Mazhab Ciputat menjelaskan bahwa dekolonisasi merupakan perlawanan terhadap segala bentuk manifestasi penjajahan epistemik. Penjajahan yang ia maksud bukan sekedar dalam aspek teritori politik dan ekonomi semata. Namun juga meluas ke ranah budaya dan pengetahuan. 

Bentuk keterjajahan umat Islam hari ini menurut Dosen UMY itu salah satunya tercermin dari anggapan bahwa penelitian yang ilmiah hanya datang dari jurnal yang diterbitkan oleh sarjana-sarjana Barat. Sedangkan penelitian yang diterbitkan oleh sarjana Muslim mereka anggap kurang kredibel. 

Maka tidak heran jika banyak dari kalangan sarjana Muslim yang kemudian merujuk kepada sarjana Barat dalam memandang Islam. Dengan merujuk ke Barat, seolah mereka telah menjadi modern. 

“Cara pandang kolonial yang sering menyelinap di pemikiran banyak sarjana Muslim adalah, semua akan menjadi Barat pada waktunya. Ini cukup mengganggu saya,” ungkap Rofiq dalam meeting zoom yang diikuti 100 peserta dari berbagai wilayah (5/8). 

Dalam hal ini Rafiq mencoba menghadirkan dua argumentasi berbeda dari dua tokoh penting dalam studi hukum Islam kontemporer. Keduanya adalah Wael Hallaq dan Khaled Abou El Fadl, yang mana keduanya memiliki pandangan berbeda mengenai medernisasi. 

Hallaq memandang modernisasi sebagai sesuatu yang merusak serta melumpuhkan hukum Islam. Sehingga melakukan pembaruan hukum Islam sama artinya dengan membaratkan hukum Islam. Ia pun memandang bahwa fikih tradisional bersifat tsawabit (prinsip ajaran Islam yang bersifat tetap, kokoh, dan tidak berubah oleh waktu dan kondisi). 

Berbeda dengan Hallaq, Abou El Fadl lebih terbuka terhadap gagasan reinterpretasi dan adaptasi hukum Islam dalam konteks modern. Menurutnya reformasi adalah gagasan yang genuin dari tradisi intelektual Islam. Karena baginya fikih terus mengalami perubahan seiring waktu dan kondisi zaman. (diko)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Baru-baru ini pendeta Gilbert sudah menyinggung perasaan dan melukai k....

Suara Muhammadiyah

19 April 2024

Berita

BANDUNG, Suara Muhammadiyah - Majelis Pendidikan Dasar Menengah dan Pendidikan Nonformal Pimpinan Pu....

Suara Muhammadiyah

8 March 2024

Berita

SIDOARJO, Suara Muhammadiyah - Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sidoarjo selenggarakan kegiatan kajian j....

Suara Muhammadiyah

18 February 2025

Berita

PRINGSEWU, Suara Muhammadiyah - Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PK IMM) Fakultas ....

Suara Muhammadiyah

1 October 2024

Berita

CILACAP, Suara Muhammadiyah - Delapan guru SMP Muhammadiyah 1 (Mutu) Plus Cilacap berpartisipas....

Suara Muhammadiyah

26 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah