Pengajian di Desa Kayu Calla, Berjalan kaki Hingga Naik Pick Up
Oleh: Furqan Mawardi, Muballigh Akar Rumput
Sabtu tanggal 11 Oktober 2025, langit menutup rapat seolah ingin ikut serta dalam perjalanan kami. Tepat siang, saya menekan pedal, mengantar mobil meluncur meninggalkan Mamuju. Di samping saya, Ahmad Dahlan, anak yang setia, yang sejak kecil ikut menapaki jalan-jalan dakwah bersamaku, duduk tenang dengan hafalan kecilnya yang selalu menjadi hiburan di sepanjang perjalanan. Kami singgah sejenak di daerah Kalukku, mengisi tenaga dengan hidangan sederhana, kemudian berlanjut kembali menerobos lorong-lorong pegunungan menuju Mamuju Tengah, tempat di mana jurang dan bukit bersilang, dan hujan segera menurunkan tirainya.
Hujan deras membuat jalan licin, beberapa ruas mulai rusak dan berlobang, mobil berjalan melambat, pelan, perlu ekstra hati-hati, karena sedikit saja lengah bisa nyawa menjadi taruhan. Di sela gemericik hujan, suara kecil Ahmad mengulang potongan ayat-ayat pendek, ia murojaah, saya mendengarkan, sesekali kami bertukar bacaan atau saling menyambung ayat. Di situ saya selalu merasakan, ada ruh yang hidup saat Al-Qur’an didendangkan, bahkan ketika roda berputar di tengah derasnya hujan.
Menjelang maghrib kami singgah di sebuah masjid pinggir jalan untuk bersih-bersih, mengganti pakaian. Udara dingin ditambah dengan sentuhan air wudhu menjadikan tubuh kembali merasakan kesegaran. Ketika adzan maghrib berkumandang di Lembah Hopo, kami pun sampai dan beregegaas masuk ke masjid. Jamaah yang hadir, meski hujan belum redah mereka tetap semangat. Wajah para jamaah dari bapak-bapak maupun, anak-anak, ibu-ibu, pemuda, semua berkumpul dalam satu niat, yakni mencari ilmu dan memperkuat keimanan dalam majelis pengajian.
Saat pengajian, saya selalu membawa proyektor dan sound system yang tersambung ke laptop. Cahaya layar memantulkan teks hadits, ayat, dan poin-poin hukum yang kami bahas. Bagi saya metode ini sederhana namun ampuh. Ketika mata melihat, telinga mendengar dan hati menyimak, ilmu jadi lebih mudah meresap. Saya sebagai pemberi materi kajian dengan didukung perlengkapan, marasa lebih mudah dan lebih enteng untuk disampaikan ke jamaah.
Di penghujung acara, snack kecil dibagikan, kotak kue untuk anak-anak. Kebahagiaan kecil di wajah mereka sekilas menghapus letih perjalanan hari ini. Ba’da sholat isya, kami menuju rumah Haji Radi, pengurus cabang Muhamamdiyah Karossa, di sana kami diterima hangat. makan malam yang dimasak istri beliau, obrolan penuh canda. Sebelum masuk kamar tidur saya kembali membuka laptop untuk mempelajari dan menyiapkan materi yang akan disampaikan di pengajian ahad besoknya. Sholat subuh di Masjid Babussalam, selepas shalat saya bawakan kultum singkat, yang pesan intinya untuk memahami hakekat dan fungsi kita hidup di dunia.
Suasana pagi yang dingin di Karossa begitu menyegarkan. Kami menyeruput kopi hangat, sarapan nasi kuning, sembari bercengkerama dengan Ustadz Aswandi dan Ustadz Zidan, dua motor penggerak dakwah Muhammadiyah di Karossa. Mereka adalah energi lokal, yang menggerakkan pengajian pekanan, membina TPA, menggerakkan ibu-ibu Aisyiyah, dan mengajak anak –anak dan pemuda untuk aktif di masjid. Di bawah bimbingan kedua ustadz muda inilah dakwah Muhammadiyah di karossa makin ramai, meriah dan menggembirakan.
Pukul delapan, mobil kami berisi jamaah yang lebih ramai dari biasanya. Hari ini pengajian berpindah dan bukan lagi di masjid masjid Babussalam di kota kecamatan, melainkan di rumahnya Ibu Sukmawati di Desa Kayu Calla, sekitar sepuluh kilometer dari kota Karossa. Jalanan berkelok di antara hamparan kebun sawit, sejumlah warga sedang memanen, suara mesin dan canda petani menambah nuansa pagi itu. Ketika kami tiba, penyambutan penuh kehangatan, ibu-ibu Aisyiyah dengan seragam hijaunya yang menyala, ditambah sambutan tuan rumah Bapak Gulana dan Ibu Sukmawati, menyongsong kami dengan senyum lebar dan penuh keramahan.
Pengajian berlangsung di bawah kolong rumah, rumahnya pak Gulana adalah rumah panggung, rumah khas orang Sulawesi. Kursi-kursi terius ditambah, karena jamaah terus bertambah dan berdatangan. Saya membuka dengan materi tentang tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak, tema yang menyentuh setiap sudut rumah itu, karena mayoritas yang hadir adalah para orang tua, kisah Luqman masih menjadi relevan untuk terus di aktualisasikan dalam pendidikan keluarga.
Agar suasana tidak kaku, saya selipkan beberap kuis, yakni berupa pertanyaan singkat, hadiah sederhana bagi yang menjawab benar. Para peserta terutama dari kalangan ibu-ibu paling semangat dan berlomba angkat tangan menjawab setiap pertanyaan. Ruangan bergelora, suara tawa, kegembiraan, bercampur menjadi satu sehingga suasana pengajian menjadi lebih hidup. Hadiah bagi yang bisa menjawab sebenarnya tidaklah seberapa, namun kegembiraan, kebersamaan serta suasana keceriaan inilah yang menjadikan pengajian begitu memberi makna, banyak kesan dan selalu dirindu.
Setelah pengajian ditutup, suasana siang itu berubah menjadi begitu hangat. Tuan rumah, Pak Gulana dan Ibu Sukmawati, telah menyiapkan makan siang prasmanan dengan penuh cinta. Di atas meja, telah tersedia berbagai menu tersaji dengan menggoda selera: Nasi hangat, sayur bening, ikan goreng, dan beraneka lauk pauk yang beraroma sedap. Di sudut meja, tersaji pula kapurung, makanan khas Sulawesi yang terbuat dari sagu, berpadu kuah asam pedas yang membuat siapa pun ingin segera menyuapnya.
Kolong rumah panggung Pak Gulana hari itu betul-betul ramai. Suara tawa ibu-ibu bersahutan, anak-anak berlarian kecil, dan aroma masakan berpadu dengan semilir angin dari kebun sawit di belakang rumah. Namun yang menarik, bukan hanya makan siangnya yang menggugah selera, tapi juga suasana penuh kehidupan di sekitarnya.
Setiap kali pengajian seperti ini berlangsung, ada saja ibu-ibu yang membawa dagangan mereka mulai dari makanan ringan, kue tradisional, peralatan rumah tangga, hingga obat-obatan herbal. Pengajian bukan hanya menjadi tempat menuntut ilmu dan mempererat ukhuwah, tapi juga menjadi ruang ekonomi kecil yang penuh berkah. Di sela-sela obrolan dan tawa, terlihat ibu-ibu saling menawarkan dagangan, sementara yang lain dengan senang hati menawar dan membeli.
Di sinilah indahnya kehidupan pengajian di pedesaan. Ilmu diserap, silaturahim dijalin, perut terisi, dan rezeki pun berputar di antara tangan-tangan yang ikhlas. Semuanya terasa hidup dan penuh keberkahan seolah-olah langit pun tersenyum menyaksikan betapa indahnya kebersamaan yang dibangun atas dasar cinta kepada Allah.
Yang paling mengharukan dari seluruh rangkaian pengajian hari itu adalah pemandangan saat jamaah pulang. Ketika saya berdiri di depan rumah Pak Gulana, pandangan saya tertuju pada para jamaah yang mayoritas ibu-ibu yang satu per satu mulai beranjak pulang. Ada yang berjalan kaki melewati jalanan tanah di antara kebun sawit, ada yang berboncengan naik motor, dan ada pula yang menaiki mobil pick-up yang dipenuhi hingga ke tepi baknya.
Di bawah terik matahari siang, wajah para ibu-ibu tetap tampak cerah. Meskipun tubuh lelah, senyum mereka tidak pernah hilang. Seragam hijau yang mereka kenakan tampak berkilau diterpa cahaya matahari, berpadu dengan tawa riang yang menggema di sepanjang jalan desa. Dari kejauhan, saya melihat rombongan ibu-ibu di atas pick-up itu saling bercanda, saling melempar gurauan, dan melambaikan tangan penuh kehangatan, seolah kelelahan pun berubah menjadi kebahagiaan karena mereka baru saja menimba ilmu, berjumpa dan silaturrahmi bersama.
Pemandangan itu sungguh menancap dalam hati saya. Inilah alasan mengapa saya tidak pernah merasa lelah untuk datang dan berbagi ilmu di tanah Karossa. Meskipun perjalanan dari Mamuju ke Karossa menempuh waktu lima hingga enam jam, dengan jalanan berliku dan menanjak, semua terasa ringan setiap kali saya teringat wajah-wajah para jamaah yang penuh semangat itu.
Semangat para ibu-ibu dan jamaah inilah yang menjadi sumber energi dakwah saya. Mereka bukan hanya pendengar, tapi juga penggerak. Dari mereka saya belajar arti keikhlasan, keteguhan, dan kebahagiaan dalam berjuang di jalan Allah. Setiap langkah menuju pengajian, setiap kata yang terucap dalam majelis ilmu, seakan mendapatkan nyawa baru ketika melihat ketulusan dan cinta mereka kepada ilmu dan agama.