Pendidikan Melupakan dan Gagal Membangun Potensi Dahsyat Manusia

Publish

25 September 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
862
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Pendidikan Melupakan dan Gagal Membangun Potensi Dahsyat Manusia

Oleh: Agusliadi Massere

Indonesia memiliki banyak modal untuk menjadi bangsa dan negara yang maju, bahkan menjadi kiblat peradaban dunia sekali pun. Paradoks dengan apa yang dimilikinya, Indonesia, di mata beberapa pengamat yang otoritatif menilai masih tertinggal dari derap langkah kemajuan bangsa-bangsa lain. Setelah proklamasi kemerdekaannya, Indonesia masih menyisakan dan menyimpan banyak persoalan yang belum dituntaskan.

Mengurai sejumlah persoalan tersebut, saya yakin tidak cukup waktu jika hanya menghabiskan sepuluh jam di depan laptop untuk menuliskannya satu per satu. Menuliskannya, saya hanya akan menghabiskan ratusan halaman tanpa menawarkan minimal satu perspektif yang dipandang bisa menjadi solusi.

Prihatin dengan bangsa dan negara kita, ada yang menarik dari ungkapan Yudi Latif (2020) yang harus diketahui. “Dalam rasa keadilan ilahi, tak ada ketentuan bahwa jalan hidup suatu bangsa harus tetap berada di pinggiran. Dari hari ke hari, firman Tuhan justru semakin membuktikan kebenarannya, bahwa di dalam sejarah kejatuhan dan kejayaan suatu kaum, manusia sendirilah pusat pengubahnya. Transfromasi kehidupan suatu kaum (bangsa) tidak akan terjadi hingga manusia-manusia pada bangsa itu bisa mengubah alam kejiwaannya”.

Apa yang diungkapkan oleh Yudi Latif di atas, dan relasinya dengan situasi bangsa dan negara kita, Indonesia, maka kata kuncinya ada pada manusia dan alam kejiwaannya. Dua yang disebutkan ini, untuk memperbaikiannya, maka instrumen terbaiknya adalah pendidikan. Bahkan pendidikan pun dipandang sebagai instrumen terbaik membangun peradaban.

Mengharapkan suatu kemajuan bangsa dan negara, sikap dan tindakan terbaik adalah dengan memperhatikan kualitas pendidikan. Kegagalan yang bermuara pada kegagalan bangsa dan negara mencapai kemajuan, kesejahteraan, dan keadaban adalah muara dan indikator kegagalan pendidikan dalam membentuk, mentransformasikan, dan mengubah manusia dan alam kejiwaannya.

Sistem pendidikan kita secara praksis gagal membangun manusia dengan multi potensi. Apatah lagi sebagaimana judul di atas, ada yang terlupakan dan gagal dibangun, padahal itu adalah potensi dahsyat manusia. Ada banyak potensi dahsyat tetapi tentunya hanya sebagian yang terungkap dalam tulisan ini, termasuk pula, saya mengakui bahwa sudah ada potensi dahsyat yang telah berhasil dibangun oleh sistem pendidikan kita, meskipun tidak utuh.

Dalam mengungkap jenis potensi yang terlupakan dan gagal dibangun, saya harus menelesuri belantara ilmu dari sejumlah buku karya para pemikir yang otoritatif dalam bidang keilmuannya. Saya menyebut tiga nama saja: Fahruddin Faiz, seorang pemikir yang senantiasa menghidangkan filsafat dengan gurih dan renyah; Haidar Bagir, masuk dalam Daftar 500 Most Influential Muslims, dan Presiden Direktur Mizan Group; dan Yudi Latif, untuk lebih mudahnya, saya menyebutnya saja, Pakar Pancasila.

Potensi yang terlupakan dan gagal dibangun

Dalam kehidupan hari ini, terutama kehidupan yang serba disruptif, jika mengutip cara pandang Rhenald Kasali, tidak cukup dengan motivasi. Dibutuhkan kemampuan membaca—saya tambahkan kemampuan menjawab—“where we are” dan “where we are going to”. Berarti dibutuhkan kemampuan membaca realitas.

Baik oleh Henri Bergson (seorang filsuf Prancis), maupun Faiz, bisa dipahami bahwa sebagai pengaruh sains yang positivistik, kita hanya mengandalkan akal dan pancaindra untuk memahami realitas. Bagir pun menegaskan bahwa “Sudah lama sekali peradaban manusia memusuhi imajinasi. Sejak dicanangkannya rasionalisme dan belakangan empirisme, pada abad ke-12, daya-daya manusia lainnya pun ditindas dengan semena-mena”.

Potensi yang dibangun oleh sistem pendidikan kita, jika memperhatikan pandangan para pemikir otoritatif yang saya sebutkan di atas hanya mengandalkan akal dan pancaindra. Padahal, sebagaimana penegasan Bergson (dalam Fahruddin Faiz, 2022), “Kita masih punya nurani, naluri, dan imajinasi, termasuk intuisi”. Inilah potensi-potensi dahsyat yang saya maksudkan terlupakan dan gagal dibangun.

Salah satu persoalan terbesar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan karena kita miskin sumber daya alam (SDA) dan buktinya kita kaya, bukan pula karena kita kekurangan sarjana, doktor, dan profesor atau manusia-manusia yang memiliki kecerdasan intelektual. Kita kekurangan orang-orang—terutama para pejabat, elit negara, dan penguasa—yang  menggunakan nuraninya. Bergson dalam Faiz menegaskan “Dalam hubungan sesama manusia, kita lebih pas menggunakan nurani. Jika menjalin hubungan hanya menggunakan akal, rasanya akan kering”.

Bisa dipastikan, bahwa para koruptor adalah orang-orang yang dari dimensi kecerdasan intelektualnya tidak diragukan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan analisis dan logika yang hebat, sehingga mampu menunjukkan bagaimana cara memanipulasi anggaran dan laporan keuangan. Seandainya mereka memilik kekuatan nurani, bisa dipastikan tidak akan pernah melakukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang bernama korupsi itu. Dengan nurani, mereka akan mampu merasakan bahwa perbuatannya memberikan pengaruh buruk bagi ratusan bahkan jutaan manusia (baca: rakyat) lainnya.

Di atas, hanya satu contoh fungsi dan manfaat kekuatan nurani yang mampu diaktivasi atau teraktivasi. Saya yakin para sahabat pembaca yang memiliki nurani pula akan mampu menemukan contoh-contoh lainnya, di mana karena hanya akal yang teraktivasi dengan baik, tanpa aktivasi nurani, sehingga banyak bentuk “kekerasan” berdasarkan modus dan motif yang berbeda-beda yang dirasakan oleh rakyat kecil.

Selain tentang nurani, Bagir pun menegaskan “…kemampuan berkhayal/berimajinasi cenderung diabaikan. Akibatnya manusia kehilangan salah satu daya terhebatnya dalam belajar dan berpikir. Menurut Bagir, imajinasi lebih menentukan ketimbang ilmu pengetahuan.

Apa yang diungkapkan Bagir bukan tanpa alasan. Telah terungkap dengan terang benderang dalam kisah semua orang besar, karya-karya agung bermula dari imajinasi. Menurutnya, ada banyak inovasi tercetus dalam mimpi, bukan hanya mimpi dalam arti yang sama dengan berkhayal, bahkan dalam makna sebenarnya pun, yakni bayangan-bayangan yang tercipta waktu tidur.

Ada dua contoh karya besar yang memiliki kontribusi dan sebagai penentu peradaban besar hari ini. Dari Bagir dan beberapa buku-buku filsafat dan fisika yang pernah kita membacanya, pasti akan mengakui bahwa dua karya besar ini, yaitu “hukum gravitasi Newton” dan “hukum Archimedes” masing-masing lahir dari filsufnya pada saat sedang berkhayal di bawah pohon apel dan di dalam bath-tub-nya. Di sinilah pula salah satu ruang konfirmasi kebenaran atas pernyataan yang telah disepakati oleh para pakar psikologi bahwa “pengaruh alam bawah sadar 88%, sedangkan alam sadar hanya 12% dalam pencapaian hidup”.

Membaca buku karya Faiz, Menghilang, Menenmukan Diri Sejati (2022) yang di antaranya mengupas banyak hal tentang pandangan Bergson terhadap “intuisi” dan “akal”, kita akan memahami betapa besar peran, dan memiliki urgensi dan signifikansi besar antara intuisi ketimbang akal. Fungsi akal lebih mengarah pada hal praktis atau teknis dan hanya menjangkau hal material. Berbeda dengan akal, intuisi jangkauannya lebih dalam menyentuh aspek immaterial. Orang mengedepankan intuisinya berarti lebih sering mendengar “suara hati”-nya, termasuk dalam memahami realitas.

Ketika Bergson membagi pengetahuan menjadi dua, knowledge about, dan knowledge of, maka yang dimaksud dengan pengetahuan intuitif atau bersentuan dengan intuisi, itu adalah knowledge of. Intuisi ini sebagai pengetahuan langsung hadir di dalam diri, dirasakan, dan dipahami. Menurut Faiz, dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam, intuisi, knowledge of, adalah haqqul-yaqin.

Rendahnya intuisi, maka terjadi ketidakcerdasan dalam membangun hubungan antar-manusia atau menyikapi situasi. Ini dimaknai bukan hanya dalam arti bahwa seseorang gagal menjalin keakraban atau hubungan personal. Yang utama, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, ketika pemimpin, penguasa, pejabat, elit negara, gagal menjalankan tugas, amanah, dan wewenangnya untuk memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.

Makna lainnya, yang mempertegas rendahnya intuisi, ketika mereka para pemimpin atau penguasa itu, tidak bisa “berkuasa dengan benar”. Mereka gila-gilaan melakukan tindakan koruptif, tanpa ada rasa empati terhadap nasib rakyatnya. Termasuk pula, ketika kebijakan yang dijalankan hanya mengakomodir kepentingan pribadi, keluarga, dan golongannya semata. Dan merasa (seakan) bangsa dan negara ini hanyalah miliknya. Padahal bangsa dan negara ini adalah hasil perjuangan bersama, sehingga wajib dipandang sebagai milik bersama yang perlu dijaga bersama.

Pendidikan, jangan hanya membangun dimensi kognitif dan psikomotirik semata. Aspek afektif, di mana naluri, nurani, imajinasi, dan intuisi bisa menjadi bagian di dalamnya yang patut mendapat porsi perhatian dan kebijakan besar dalam dunia pendidikan.

Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PD. Muhammadiyah Bantaeng


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh:  Muhammad Helmi Nurrohman Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung Dalam mewujudkan pen....

Suara Muhammadiyah

21 December 2023

Wawasan

Mengembangkan Cabang Muhammadiyah Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Tangerang Selatan &am....

Suara Muhammadiyah

6 June 2024

Wawasan

111 Tahun Muhammadiyah Oleh Ruminizulfikar Setiap bulan November bagi warga, kader, dan pimpinan P....

Suara Muhammadiyah

16 November 2023

Wawasan

Menggabungkan Fintech dan Prinsip Syariah dalam Keuangan Modern Oleh: Muhammad Zakiy Dalam era mod....

Suara Muhammadiyah

30 October 2023

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Islam memperlakukan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk spiritual yang seta....

Suara Muhammadiyah

2 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah