YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Kepekaan dalam meneropong mas depan, Allahuyarham Kiai Haji Ahmad Dahlan sangat tajam. Ditandai dengan, merumuskan konsep pendidikan dengan prinsip beramal ilmiah dan berilmu amaliah.
“Dalam kita mencari ilmu, tidak sekadar pengetahuan dan memahami, tetapi juga memiliki dampak dalam hal mengamalkan ilmu, sehingga ada dampak yang bisa dirasakan,” kata Muhammad Ikhwan Ahada, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY saat membuka OlympicAD DIY VIII di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta, Sabtu (22/11).
Dalam konteks itu, konsep ini merupakan jawaban dari para ahli, salah satunya filsuf Herbert Marcuse (1964) One-Dimensional Man. Teori tersebut, merepresentasikan manusia di abad modern adalah manusia berdimensi satu, di mana segala kehidupan masyarakat hanya diarahkan pada satu tujuan saja.
“Manusia akan kehilangan akal budi, kehilangan rasa yang hidup bahwa dirinya sebagai manusia yang harus hidup bersama tenggang rasa toleransi semakin hari semakin tergerus karena perkembangan teknologi,” terangnya.
Hal ini juga diperkuat Alvin Toffler (1970) dalam The Modular Man, menyebut di kemudian hari manusia memiliki corak pemikiran algoritmis. Menjebak manusia untuk berperilaku dan berpikir layaknya robot dengan nalar teknis dan instrumental.
“Manusia akan diturunkan ke arah berpikir modular. Dan yang memprihatinkan, kehidupan sekarang ini manusia semakin hari tercerabut dari akar komunalnya. Orang tidak mudah untuk mengenal budaya tidak mengenal atau semakin tergerus dengan norma yang ada di samping kanan-kirinya,” tegasnya.
Akar tunjang dari tergerusnya hal tersebut karena faktor teknologi. Maka, kata Ikhwan, fenomena ini menjadi nyata ketika tahun 2024, Oxford University menyoroti terjadinya degradasi kemampuan nalar generasi muda hatta konsumsi digital yang sangat berlebihan.
“Bahkan konsumsi ini tidak memiliki energi tidak memiliki sesuatu yang kemudian menuntun ke arah yang baik, sangat instan,” jelasnya.
Di samping itu, ditambahkan Ikhwan menukil Kuntowijoyo, pendidikan di Muhammadiyah bersifat modern dan berkemajuan. Yang diterjemahkan Haedar Nashir menjadi pendidikan yang holistik dengan Al Islam dan Kemuhammadiyahan.
“Itu sebagai basic agar anak-anak kita tidak terjebak pada man dimensional, manusia dengan dimensi sempit, tapi juga tidak terjebak pada the man modular, atau orang yang berpikir dan berperilaku seperti algoritma saja apalagi sampai anak-anak yang tercerabut dari akar di mana ia tinggal,” paparnya.
Di situlah relevansi pendidikan holistik, yang mana telah diteladankan oleh Allahuyarham Kiai Haji Ahmad Dahlan dan terus dikembangkan dan ditumbuhsuburkan ke depannya. (Cris/Nurvi)


