Pemimpin Matang di Pohon

Publish

27 August 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
593
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Pemimpin Matang di Pohon

Oleh : Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso dan Wakil Sekretaris LPCRPM Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Saat belanja buah-buahan di Pasar, saya kerap terpengaruh oleh provokasi tukang buah yang menawarkan buah-buahan dengan label buah “matang di pohon”. Buah mangga, durian, alpukat, pepaya, rambutan, jambu biji yang dipetik ketika matang di pohon memang memiliki kualitas rasa sempurna. Berbeda dengan buah yang dipetik saat masih muda, lalu dikemas dengan karbit. Buah-buahan itu bisa berubah seolah olah matang. 

Kualitas rasa buah-buahan yang matang di pohon dan matang karena “direkayasa” memang sangat berbeda. Mangga Harum Manis yang terkenal manis dengan aroma yang khas itu akan kehilangan ciri aslinya ketika dipaksa matang dengan karbit. Meski kelihatan matang dan kulitnya menguning, namun tetap nampak kesan rekayasannya. Sebagus apapun kualitas karbit yang mengolesinnya.

Politikus Karbitan atau Matang di Pohon

Jika kualitas rasa buah-buahan mudah dibedakan berdasarkan proses pematangannya, maka perumpamaan tersebut bisa juga berlaku untuk manusia. Seorang pemimpin politik, bisa ditakar kualitas kepemimpinannya dari proses penggemblengan hidup di masa lalunnya sehingga bisa menjadi matang. Apakah proses pematangan hidupnya terjadi secara alamiah atau instan dengan rekayasa karbit. 

Baru-baru ini, Paetongtarn Shinawatra, putri bungsu mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra berusia 37 tahun berhasil meraih jabatan perdana menteri Thailand. Kabar itu mencemaskan. Bukan karena saya tidak percaya dengan kualitas kepemimpinan anak muda, namun saya khawatir dengan dampaknya. 

Saya berharap, semoga orang tidak hanya melihat peristiwa itu secara pintas, lalu menyimpulkan. “Oh Negeri Gajah Putih itu baik-baik saja kok ketika dipimpin oleh anak mantan penguasa yang berusia 37 tahun”. 

Kesimpulan itu muncul hanya karena mengacu pada umur 37 tahun semata. Ia mengabaikan proses panjang seseorang hingga bisa meraih jabatan perdana menteri.

Anak Presiden dan Anak Raja

Soal estafet kepemimpinan, saya kagum dengan cerita tentang proses penggemblengan seorang calon pangeran dalam kisah-kisah pewayangan. Pangeran Arjuna misalnya. Anak seorang raja harus selalu dilatih keras, digembleng, diuji ketrampilan fisik dan mental spiritualnya sebelum menerima tahta. Ketika seorang anak raja beranjak dewasa, ia akan diajak berburu binatang di tengah hutan yang berbahaya, lebat dan angker. Di tempat itulah si anak raja itu akan dilepas, ditinggal hidup sendirian selama beberapa saat. 

Untuk bisa bertahan hidup, dia harus mampu menaklukkan segala jenis tantangan hidup. Mulai dari ancaman kelaparan, menaklukkan binatang-binatang buas yang ganas, dedemit dan gendruwo yang angker. Segala cara harus ia lakukan agar bisa bertahan hidup. Ketika ia berhasil kembali ke istana dalam kondisi hidup, maka ia akan disambut dengan suka cita. Ia dinyatakan lulus menjadi pangeran calon pewaris tahta kerajaan.

Begitu beratnya ujian untuk menjadi seorang calon pangeran dalam sistem kerajaan. Pada era sekarang, di negeri yang berdemokrasi ini, ujian bagi seorang calon pemimpin seharusnya lebih berat. Untuk menjadi seorang calon walikota, bupati, gubernur atau presiden, ia harus dapat meraih simpati dan pilihan rakyat. Tidak cukup hanya dengan restu raja dan permaisuri. 

Pola estafet kepemimpinan di dalam sistem kerajaan memang berbeda, namun standar nilai kepribadian yang harus ada pada diri seorang calon pemimpin tetaplah sama. Ketrampilan, pengetahuan, kedewasaan, kematangan jiwa dan karakter kepemimpinan harus kuat melekat di dalam jati diri seorang calon pemimpin. 

Semua persyaratan itu tidak bisa didapat secara warisan belaka. Perkara itu tidak akan bisa diraih ketika seseorang sudah menyandang gelar “anak mantan” presiden, gubernur, walikota atau bupati. Jiwa yang penuh kematangan, memiliki siasat jitu dan pribadi tangguh yang sarat kebijaksanaan dan keadilan, hanya bisa diraih melalui proses panjang, melewati jalan yang penuh onak dan duri. 

Anak seorang raja hanya akan mewarisi tahta dan mengelola harta benda dan kekuasaan milik papaknya ia bisa berlaku suka-suka. Dia adalah tuan dan nyonya, sementara rakyat adalah hamba yang dibelas-kasihaninnya. Berbeda dengan sistem di Negeri demokrasi, warga akan memilih pemimpin yang sebaliknya. Pemimpin yang akan menjadi pelayan, bekerja sepenuh hati, mengelola seluruh sumber daya alam milik bersama untuk kemaslahatan bersama pula. 

Jika syarat untuk menjadi pemimpin itu harus dipilih oleh warga, maka sebagai pemilik satu suara, saya harus selalu mempertimbangkan rekam jejak dan meniti proses penggemblengan seorang calon pemimpin secara cermat dan hati-hati. 

Saya harus melihat dan mengendus rasa hingga mampu menemukan pembeda antara seorang calon pemimpin yang matang di pohon atau matang dikarbit. Mengapa itu penting, karena masa depan hidup saya juga ditentukan oleh pribadi baik seorang calon pemimpin. 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Sekularisasi: Ancaman Bagi Pendidikan Islam Kita Oleh: Arif Rahmatullah, M.Pd.Dosen Universitas Muh....

Suara Muhammadiyah

11 September 2024

Wawasan

Dakwah Menjawab Jiwa Zaman: Belajar Dari KH Ahmad Dahlan Keharusan Peta Dakwah Oleh: Saidun Derani....

Suara Muhammadiyah

7 February 2024

Wawasan

Membangun Sekoci-Sekoci Perkaderan Muhammadiyah di DIY Oleh: Iwan KC Setiawan (Wakil Ketua PWM DIY....

Suara Muhammadiyah

18 September 2023

Wawasan

Memahami Al-Qur`an lewat Alkitab Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andala....

Suara Muhammadiyah

8 May 2024

Wawasan

Menunggu Sikap TNI dalam Absurditas Politik Oleh: Sobirin Malian, Dosen Fakultas Hukum Universitas ....

Suara Muhammadiyah

31 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah