Pembuktian Unsur Niat Dikaitkan dengan Unsur Mens Rea dalam Tipikor
Oleh: Sobirin Malian, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Dalam kajian hukum pidana, konsep mens rea dapat dipahami sebagai keadaan batin yang bersalah, yakni niat atau motivasi internal yang menyertai suatu tindakan sehingga tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan. Dalam terminologi hukum pidana Indonesia, mens rea secara harfiah berarti "guilty mind," yang menjadi salah satu unsur utama dalam pembentukan tindak pidana bersama-sama dengan actus reus, yaitu perbuatan nyata yang melanggar ketentuan hukum. Konsep ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang atas tindak pidana, tidak cukup hanya dengan membuktikan bahwa orang tersebut melakukan perbuatan terlarang, melainkan juga harus dapat dibuktikan bahwa orang tersebut memiliki niat atau kesadaran akan kesalahannya pada saat melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, mens rea menjadi landasan moral dan legal dalam menentukan adanya kesalahan dalam tindak pidana.
Secara teoritis, mens rea terdiri dari beberapa tingkatan kesalahan, mulai dari kesengajaan (dolus), kelalaian (culpa), hingga kesalahan berdasarkan kemungkinan akibat yang timbul dari tindakan. Kesengajaan menjelaskan bahwa pelaku melakukan tindakan dengan penuh kesadaran dan tujuan tertentu (Malaranggeng, dkk, 2023). Sebaliknya, kelalaian merupakan keadaan di mana pelaku gagal melakukan kewajiban atau perhatian yang sewajarnya sehingga menimbulkan akibat yang merugikan tanpa disengaja. Dalam konteks pembuktian di pengadilan, ketentuan mens rea tersebut menjadi sangat penting untuk membedakan antara tindak pidana yang dilakukan dengan unsur kesengajaan dan perbuatan yang terjadi akibat kelalaian semata, yang dalam hukum pidana memiliki konsekuensi hukum dan pemberatan pidana yang berbeda. Dengan demikian, mens rea bukan sekadar soal mengetahui adanya perbuatan, tetapi lebih menekankan pada komitmen batin dalam tindakan tersebut.
Dalam implementasi praktis penegakan hukum di Indonesia, pemahaman tentang mens rea tidak hanya difokuskan pada pelaku kejahatan biasa, melainkan juga merambah pada aparat penegak hukum, khususnya dalam ranah penyidikan. Misalnya, dalam beberapa kasus hukum yang mendapat sorotan publik seperti kasus dugaan pemalsuan dokumen ijazah (mantan Presiden) dan kasus akuisisi perusahaan kapal oleh Ira Puspadewi, publik mengangkat kecurigaan bahwa aparat penegak hukum dapat memiliki mens rea dalam bentuk niat untuk memanipulasi proses hukum. Bentuk niat jahat ini tidak selalu tampak secara kasat mata, melainkan muncul dalam modus yang lebih halus, yaitu rekayasa fakta, manipulasi bukti, dan pemilihan narasi yang menguntungkan pihak berwenang, sehingga proses penyidikan menjadi tidak objektif dan berpotensi melanggar prinsip keadilan. Hal ini membuka dimensi baru dalam teori mens rea yang tidak hanya berkaitan dengan pelaku kejahatan, tetapi juga institusi dan individu yang berperan sebagai penegak hukum (Hartanti Evi,2009).
Kesulitan utama dalam mengidentifikasi mens rea pada aparat penegak hukum adalah sifat tertutup dan kurangnya transparansi dalam proses penyidikan yang dilakukan. Meskipun demikian, sinyal-sinyal yang dapat mengindikasikan adanya niat jahat atau distorsi dalam penyidikan meliputi penggunaan saksi yang dipilih secara selektif untuk mendukung narasi tertentu, pengabaian saksi atau bukti yang mendukung pihak tersangka, serta pemanfaatan pasal-pasal hukum dengan definisi yang luas dan kabur, seperti pencemaran nama baik atau fitnah, untuk menekan kritik atau menjerat lawan politik. Selain itu, ketidakseimbangan dalam waktu dan prioritas penyidikan yang tidak rasional juga menandakan adanya motivasi tersembunyi atau mens rea struktural di lingkungan aparat hukum. Fenomena ini mencerminkan bahwa niat jahat dalam penyidikan bukan hanya masalah personal, melainkan sesuatu yang menembus aspek budaya kerja institusi penegak hukum.
Untuk mengurangi dampak negatif dari mens rea yang muncul dalam praktik penyidikan, diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem penegakan hukum, yang mencakup aspek prosedural dan kultural. Proses penyidikan harus didesain ulang agar lebih transparan dan akuntabel, dengan pemisahan fungsi antara penyidik dan ahli forensik sehingga mengurangi potensi konflik kepentingan. Selain itu, keberadaan audit independen terhadap proses penyidikan yang dianggap bermasalah menjadi bagian penting untuk memastikan integritas dan objektivitas penegakan hukum. Di samping itu, masyarakat harus diberikan pendidikan dan kesadaran kritis agar dapat menilai secara objektif proses penyidikan dan tidak pasrah terhadap ketidakadilan yang mungkin dilakukan oleh aparat. Dengan demikian, mens rea tidak hanya menjadi persoalan teoretis, tetapi juga menjadi parameter moral dan etis dalam menjaga supremasi hukum dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia.
Mens rea merupakan unsur penting dalam pembentukan tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Secara khusus, mens rea diwujudkan dalam bentuk keadaan batin atau sikap mental pelaku yang sadar dan berniat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Dalam KUHP, mens rea biasanya terungkap melalui unsur "dengan sengaja" (dolus), yang menunjukkan bahwa pelaku mengetahui dan menghendaki terjadinya perbuatan pidana tersebut. Dengan kata lain, unsur mens rea adalah niat atau kesadaran pelaku pada saat melakukan tindak pidana, yang membedakannya dengan perbuatan yang terjadi secara tidak sengaja atau kelalaian (culpa).
Menurut Pasal 53 KUHP, untuk menetapkan seseorang bersalah atas suatu tindak pidana, harus dibuktikan adanya dua unsur: actus reus (perbuatan yang nyata dilakukan) dan mens rea (kehendak atau niat jahat yang melandasi perbuatan itu). Oleh karena itu, seseorang tidak bisa dihukum hanya karena berniat melakukan tindak pidana tanpa melakukan perbuatan itu sendiri, dan sebaliknya, melakukan perbuatan tanpa unsur kesengajaan atau bukan merupakan tindak pidana dapat menyebabkan seseorang tidak dapat dihukum secara pidana. Dalam praktiknya, pembuktian terhadap mens rea menjadi tanggung jawab penuntut umum selama persidangan dan menjadi perhatian utama hakim saat menilai pertanggungjawaban pidana terdakwa.
Mens rea dalam KUHP juga bisa berbentuk niat jahat yang eksplisit atau implisit, termasuk bentuk kesengajaan langsung (dolus directus) maupun kesengajaan tidak langsung (dolus eventualis). Kesengajaan langsung adalah ketika pelaku secara sadar dan bermaksud melakukan perbuatan haram, sementara kesengajaan tidak langsung terjadi ketika pelaku mengetahui kemungkinan terjadinya akibat pidana dari perbuatannya dan menerima risiko tersebut. Ini semakin memperjelas bahwa unsur mental atau niat merupakan inti dari kesalahan pidana dalam sistem hukum Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam asas legalitas dan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).
Selain itu, dalam KUHP terdapat prinsip bahwa mens rea dapat muncul dalam bentuk kelalaian atau kealpaan (culpa) apabila hukum mengaturnya demikian. Kelalaian ini terjadi jika pelaku gagal melakukan kewajiban hukum, mengabaikan kehati-hatian yang sewajarnya, sehingga menimbulkan akibat yang merugikan atau membahayakan orang lain. Walaupun unsur kelalaian berbeda dengan niat jahat, keduanya sama-sama menjadi dasar pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, tidak semua tindak pidana mens rea-nya diwajibkan, tergantung jenis tindakannya. Contoh tindak pidana tertentu seperti pelanggaran administratif atau pelanggaran ringan kadang tidak mensyaratkan unsur kesalahan batin.
Dengan demikian, dalam perspektif KUHP Indonesia, mens rea merupakan salah satu fondasi utama yang menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Keberadaan niat atau kesadaran pelaku atas perbuatannya menggerakkan sistem peradilan untuk melakukan penilaian objektif terhadap tindakan dan sikap batin seseorang, guna memastikan penegakan hukum yang adil dan tepat sasaran (Chairul Huda,2006:68).
Pembuktian merupakan hal yang sangat menentukan apakah seseorang yang berbuat kesalahan dapat dijatuhkan pidana atau tidak, sehingga seharusnya didalam proses pembuktian bukan saja alat bukti yang diajukan namun juga harus mempertimbangkan dan membuktikan unsur niat dan mens rea , karena perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element).
Butuh peran negara untuk memfasilitasi perbedaan tersebut. Jika sepakat bahwa kasus tindak pidana korupsi harus ada unsur mens rea yang dibuktikan, maka klausul tersebut harus dimasukkan di dalam UU Tipikor, agar penegakan hukum atas kasus korupsi memiliki keseragaman. Jika tidak dimasukkan, maka unsur mens rea akan selalu menjadi perdebatan publik dan akan menimbulkan kesan bahwa unsur ini bisa disalahgunakan oleh penegak hukum itu sendiri.
Kejelasan makna mens rea ini sekaligus juga untuk mengakhiri polemik, apakah “Presiden harus selalu mengeluarkan abolisi untuk setiap kasus korupsi yang tidak mengandung mens rea ?!.”


