BANTUL, Suara Muhammadiyah - Perkembangan teknologi digital melaju begitu pesat, menghadirkan inovasi-inovasi yang sebelumnya sulit dibayangkan. Salah satu terobosan terbesar dalam beberapa tahun terakhir adalah kehadiran Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. AI mulai memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari, dari cara orang bekerja, belajar, hingga berinteraksi. Kemampuannya dalam memproses data, menjawab pertanyaan, dan menyusun teks menjadikannya alat yang semakin populer, terutama di kalangan generasi muda.
Endro Dwi Hatmanto, SPd, MA, PhD, pakar Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Strategi Pembelajaran sekaligus dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (PBI UMY), menyampaikan bahwa penggunaan AI seperti ChatGPT di kalangan pelajar dan mahasiswa merupakan bagian dari revolusi digital pendidikan yang tak bisa dihindari. Namun, ia menekankan bahwa AI seharusnya tidak diposisikan sebagai pengganti otak manusia, melainkan sebagai co-pilot dalam proses pembelajaran.
“Dari sudut pandang kognitif, AI ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, AI bisa memberikan dampak positif, seperti memfasilitasi scaffolding kognitif, seperti menyediakan penjelasan tambahan, ilustrasi konsep sulit, atau menawarkan berbagai perspektif. Namun di sisi lain, jika digunakan secara pasif, misalnya hanya untuk mencari jawaban atau menulis paragraf, AI justru dapat menghambat proses berpikir reflektif dan analitis,” ungkap Endro saat diwawancarai pada Senin (30/6).
Endro menegaskan bahwa risiko penurunan daya analitis sangat mungkin terjadi jika peserta didik terlalu bergantung pada AI tanpa keterlibatan kognitif aktif. Hal ini menghilangkan kesempatan penting untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi.
“Jika AI dijadikan pengganti dalam proses berpikir analitis, peserta didik tidak akan mengalami cognitive struggle, yakni pergulatan intelektual yang justru sangat penting dalam membentuk kemampuan analisis,” tambahnya.
Menjawab Tantangan: Inovasi dalam Pendidikan
Karenanya, para pendidik dituntut untuk menyikapi revolusi AI ini sebagai peluang berinovasi dalam proses pengajaran. Tantangan utama bukan pada kehadiran teknologinya, melainkan kesiapan sistem pendidikan dan tenaga pengajar dalam membimbing generasi muda agar mampu memanfaatkannya secara etis, bertanggung jawab, dan produktif.
“Misalnya, dosen bisa merancang tugas yang mendorong mahasiswa menggunakan AI secara reflektif, bukan sekadar menyalin hasil, tetapi mengkritisi, membandingkan dengan sumber lain, serta menyajikan analisis berdasarkan sudut pandang pribadi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Endro menekankan pentingnya langkah konkret yang tidak hanya bersifat teknis. Salah satunya adalah merumuskan kebijakan dan etika penggunaan AI yang edukatif, bukan represif. Pelarangan total, menurutnya, justru merupakan bentuk penghindaran dari realitas revolusi teknologi.
“Yang kita perlukan adalah kebijakan yang mendorong eksplorasi, kreativitas, dan inovasi, bukan yang membatasi ruang belajar,” ujarnya.
Di sisi lain, literasi AI menjadi aspek krusial yang perlu diperkuat dalam dunia pendidikan. Banyak pendidik dan peserta didik yang belum memahami cara kerja AI serta dampaknya terhadap cara berpikir. Untuk itu, pelatihan dan sosialisasi menjadi kebutuhan mendesak agar pemanfaatan AI dilakukan dengan sadar, bijak, dan proporsional.
"Terakhir, strategi pembelajaran juga perlu diarahkan pada proses dan orisinalitas. Misalnya dengan memberikan tugas berbasis analisis atau presentasi, di mana AI digunakan sebagai alat bantu, bukan sumber kebenaran utama (source of truth). Dengan demikian, AI menjadi bagian dari ekosistem pembelajaran yang memperkuat, bukan merusak kualitas intelektual generasi penerus bangsa,” tutupnya. (NF/m)