Muludan: Interpretasi Spirit Profetik Kenabian Menuju Transform Sosial

Publish

18 September 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
433
Istimewa

Istimewa

Muludan: Interpretasi Spirit Profetik Kenabian Menuju Transform Sosial

Oleh: Izhar Tawaqal Caniago, Guru Kemuhammadiyahan SMA Muhammadiyah 25 Setiabudi Pamulang

Secara etimologis, Maulid Nabi Muhammad Saw bermakna (hari), tempat atau waktu kelahiran Nabi yakni peringatan hari lahir Nabi Muhammad Saw. Secara terminologi, Maulid Nabi adalah sebuah upacara keagamaan yang diadakan kaum muslimin untuk memperingati kelahiran Rasulullah Saw. Hal itu diadakan dengan harapan menumbuhkan rasa cinta pada Rasululllah Saw. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad Saw wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad Saw, dengan cara menyanjung Nabi, mengenang, memuliakan dan mengikuti perilaku yang terpuji dari diri Rasulullah Saw. Dapat diartikan bahwa masyarakat berada pada titik kerinduan terhadap Allah dan Rasulnya, berangkat dari ide dan inisiasi yang tinggi untuk mengagungkan Allah dan Rasulnya maka tercetuslah konsep dan ide Maulid Nabi.

Jika dilihat dari perkembangan sejarah, perayaan maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh seseorang tokoh yang bernama Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138 H-1193 M). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.

Muludan merupakan sebuah tradisi umat islam yang dari awal kemunculannya sudah mulai terekspansikan dengan cepat, kilat seperti jet tempur armada turki. Termasuk salah satunya indonesia yang menjadi salah satu negara dengan jumlah kaum muslimin terbesar didunia telah dijajaki oleh tradisi muludan. Belum didapatkan keterangan yang memuaskan mengenai bagaimana perayaan maulid masuk ke Indonesia. Namun terdapat indikasi bahwa orang-orang Arab Yaman yang banyak datang di wilayah ini adalah yang memperkenalkannya, disamping pendakwah-pendakwah dari Kurdistan. Ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa sampai saat ini banyak keturunan mereka maupun syaikh-syaikh mereka yang mempertahankan tradisi perayaan maulid. Di samping dua penulis kenamaan kitab Maulid berasal dari Yaman (al-Diba’i) dan dari Kurdistan (al-Barzanji), yang jelas kedua penulis tersebut mendasarkan dirinya sebagai keturunan Rasulullah, sebagaimana terlihat dalam kasidah-kasidahnya.

Dalam perayaan muludan, tentunya tidak berjalan dengan asal-asalan dan hanya Cuma-Cuma dilakukan sesuai dengan apa yang dinginkan oleh pelaku dan penikmatnya. Ilmu menjadi landasan utama dalam pelaksanaan muludan, karena dengan ilmu, perayaan maulid Nabi akan menemukan tujuan dan makna objektif yang sejalan dengan spirit dan orientasi keislaman. Jika dilihat dari aspek humanism, perayaan maulid Nabi atau muludan memiliki kepentingan sosial yang diakomodasi oleh spirit-spirit profetik. Ada tujuan kenabian yang menjelma sosial dalam pelaksanaan setiap rangkaian muludan, hal tersebut merupakan sesuatu yang harus dimengerti oleh para penikmat dan pelaku muludan. Jangan sampai perayaan muludan menjadikan kita sebagai jiwa dan manusia yang jumud.

Di dalam wacana keislaman, salah satu kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita- cita transformasi sosial. Sebagai sebuah ideologi sosial, Islam juga menderivasi teori- teori sosialnya sesuai dengan paradigmanya untuk transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang sesuai dengan cita- citanya. Oleh karena itu menjadi sangat jelas bahwa Islam sangat berkepentingan pada realitas sosial, bukan hanya untuk dipahami, tapi juga diubah dan dikendalikan. Bahwa Islam memiliki dinamika dalam untuk timbulnya desakan pada adanya transformasi sosial secara terus menerus, ternyata berakar juga pada misi ideologisnya, yakni cita- cita untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahiy munkar dalam masyarakat di dalam kerangka keimanan kepada Tuhan. Sementara amar ma’ruf berarti humanisasi dan emansipasi, nahiy munkar merupakan upaya untuk liberasi. Dan karena kedua tugas itu berada dalam kerangka keimanan, maka humanisasi dan liberasi merupakan dua sisi yang tak dapat dipisahkan dari transendensi yaitu tu’minuna billah. (Kuntowijoyo, 1991)

Oleh karena itu, Ilmu sosial seharus menjadi kekuatan intelektual dan moral. Karenanya, ilmu sosial seharusnya tidak berhenti hanya menjelaskan realitas atau fenomena sosial apa adanya, namun lebih dari itu, melakukan tugas transformasi. Jadi, tujuannya lebih pada usaha untuk proses transformasi sosial, Ilmu sosial tidak boleh tinggal diam atau value neutral tapi harus berpihak. Hal ini sejalan dengan teori sosial profetik yang dicanangkan oleh kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul “Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi” (1991)

Kata profetik, berasal dari istilah inggris, yaitu prophet, yang berarti Nabi. Menurut kuntowijoyo, dalam bukunya “Muslim Tanpa Masjid” (2001) menjelaskan bahwa nabi adalah seorang manusia yang terpilih secara sadar dan memiliki tanggung jawab sepenuhnya terhadap sosial umat. Kesadaran yang dimaksud meliputi dari kepekaan, kepedulian dan tanggung jawab. Kepekaan profetik yang dimaksud adalah seorang Nabi memiliki pengetahuan yang melebihi dari manusia pada biasanya, kepekaan atas kejadian dan fenomena sosial jauh lebih tinggi dan terarah validasinya. Kepedulian profetik dapat diartikan sebagai kasih sayang atau welas asih yang miliki oleh Nabi, welas asih tersebut tentunya memilik perbedaan dan cara kerjanya tersendiri, itulah yang membedakan antara Nabi dengan manusia biasa pada umumnya. Tanggung jawab profetik adalah suatu keadaran bahwa setiap perubahan dan fenomena sosial merupakan peran kita sebagai manusia yang harus terlibat didalamnya, artinya dalam persoalan ini, hukum sebab-akibat dalam sosial tidak lagi berlaku, tidak ada istilah “yang berbuat yang harus bertanggung jawab”. Tetapi pada dasarnya segala aspek sosial yang terjadi dalam kehidupan ini merupakan tanggung jawab manusia secara bersama, itulah objektifikasi sosial profetik menurut kuntowijoyo.

Jika kita lihat secara mendalam dan mengakar bahwa seharusnya perayaan Maulid Nabi atau Muludan haruslah bermuara pada adanya transform sosial yang diiringi dengan spirit kenabian pada setiap individu yang terlibat. Dalam arti lain yang sederhana, idealnya, muludan seharusnya memberikan pemahaman terhadap masyarakat bahwa ada tugas intelektual kenabian yang harus dimiliki oleh setiap individu. Karena jika dilihat upaya gerakan nabi dalam sejarah sosialnya bahwa dalam setiap sudut gerak kenabian selalu diilhami oleh pengetahuan, nabi selalu melakukan gerakan pendidikan untuk menjadikan masyarakat yang cerdas. Ciri dari manusia cerdas adalah dapat memahami sesuatu yang sebelumnya belum diketahui.

Dalam aspek yang berbeda, muludan tentu memiliki pemaknaan yang beragam dari pandangan masyarakat, pemaknaan yang beragam tersebut seharusnya menghantarkan kita pada tataran heterogen keilmuan yang senantian menyejahterakan masyarakat. Jika dilihat bahwa masih banyak perayaan muludan yang lebih mengutamakan gengsi dan sensi. Penggunaan materi secara berlebihan menjadi ajang adu-mengadu yang dijadikan indikator kekhidmatan dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad Saw. Seharusnya, jika menilik kembali pada ilmu sosial profetik yang diproklamirkan Kuntowijoyo, perayaan muludan harus dirayakan dengan sesederhana mungkin, dengan catatan sederhana yang “menggembirakan”. Karena memang sejatinya, objektifikasi kesejahteraan sosial bukan merujuk pada masyarakat kelas menengah-atas, tetapi pada masyarakat bawah, masyarakat pinggiran atau lebih dikenal dengan kaum-kaum marjinal yang tertindas.

Dalam penerapan muludan atau Maulid Nabi tentunya harus berjalan berdampingan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat sekitar. Karena hal tersebut menandakan bahwa perayaan Maulid Nabi tidak hanya sekedar kepentingan adat dan budaya semata. Pada dasarnya, muludan bukanlah sebuah syariat yang harus dilakukan dengan kewajiban. Dengan melakukan perayaan muludan yang melihat kebutuhan dan kondisi masyarakat akan menjadikan masyarakat merasakan sebuah kedamaian dalam berislam dan bersosial. Setiap kebutuhan dan kondisi masyarakat harus menjadi perhatian lebih dalam melaksanakan tradisi-tradisi keislaman, agar perwujudan islam dalam lingkup sosial betul-betul dirasakan dengan utuh dah khidmat.

Artinya, perayaan muludan atau Maulid Nabi harus membangkitkan gairah dan spirit masyarakat dalam melakukan pembebasan penindasan yang terjadi pada tubuh masyarakat. Hal tersebut lah yang akan menggeser pandangan masyarakat bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. bagian kecil dari cara untuk menyadarkan bahwa ada tugas-tugas sosial yang harus dimiliki setiap insan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Dunia Menatap Rafah Oleh: Teguh Pamungkas, Eks volunteer children center Muhammadiyah-Unicef di Pid....

Suara Muhammadiyah

3 June 2024

Wawasan

Menyuburkan Semangat Berbuat Kebaikan di Bulan Mulia Oleh: Dr Amalia Irfani, LPPA PWA Kalbar  ....

Suara Muhammadiyah

20 March 2024

Wawasan

Menghidupkan IPM di ranting Muhammadiyah Oleh: Rahmat Siswoko, S.Pd, Guru SMPN 2 Welahan Jepara Jat....

Suara Muhammadiyah

27 July 2024

Wawasan

Dakwah Menjawab Jiwa Zaman: Belajar Dari KH Ahmad Dahlan Keharusan Peta Dakwah Oleh: Saidun Derani....

Suara Muhammadiyah

7 February 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Ada empat aliran pemikiran besa....

Suara Muhammadiyah

11 December 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah