Muhasabah untuk Menjadi Muslim yang Lebih Baik
Oleh: Mohammad Fakhrudin
TUA PUN TAK PASTI
Serasa setiap saat usia bertambah
Sesungguhnya kematian makin dekat
Ada orang bilang
Tua itu pasti
dewasa itu pilihan
Yang sebenarnya terjadi
tua pun tak pasti
Yang pasti adalah mati
Mati tak pernah kompromi
dengan siapa pun
kapan pun
di mana pun
dan bagaimana pun
Mati tak selalu melalui
tua atau sakit dulu
dapat datang
kala menyanyi jauh Ilahi atau mengaji
bermaksiat atau beribadat
nyinyir atau zikir
marah atau ramah
Entah usia tinggal berapa
tahun
bulan
pekan
hari
jam
menit
detik
dalam genggaman kekuasaan Allah
Ya, Allah! Beri kami
hidayah kesalehan
dan pertemukan
di surga-Mu kami
Aamiin.
Mati Pasti Terjadi
Mati pasti terjadi. Kapan, kita tidak tahu pasti. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an surat al-An’am (6):2
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ طِيْنٍ ثُمَّ قَضٰٓى اَجَلًا ۗ وَاَجَلٌ مُّسَمًّى عِنْدَهٗ ثُمَّ اَنْتُمْ تَمْتَرُوْنَ
“Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian Dia menentukan batas waktu hidup (masing-masing). Waktu yang ditentukan (untuk kebangkitan setelah mati) ada pada-Nya. Kemudian, kamu masih meragukannya.”
Sementara itu, di dalam surat al-A’raf (7):34 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ
“Setiap umat mempunyai ajal. Jika ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat pun dan tidak dapat pula meminta percepatan.”
Berkenaan dengan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tuntunan doa agar sebaik-baik umur kita pada umur kita yang paling akhir, dan sebaik-baik amal kita pada penutup amal. Doa tersebut terdapat di dalam HR ath-Thabrani berikut ini,
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ خَيْرَ عُمْرِي آخِرَهُ، وَخَيْرَ عَمَلِي خَوَاتِيمَهُ، وَخَيْرَ أَيَّامِي يَوْمَ أَلْقَاكَ فِيهِ
“Ya, Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku pada umurku yang paling akhir, dan sebaik-baik amalku pada penutup amal, dan sebaik-baik hariku adalah hari bertemu dengan Engkau.”
Perintah Muhasabah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an surat al-Hasyr:18-19,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Wahai, orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah setiap diri merenungkan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan bertakwalah kamu kepada Allah! Sesungguhnya, Allah itu Maha Mengetahui apa saja yang kamu kerjakan. Dan janganlah keadaan kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah pun membuatnya lupa kepada dirinya sendiri; itulah orang-orang yang fasik.”
Pada ayat 18 Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah kita agar bertakwa kepada-Nya dan perintah bertakwa itu diulang. Lalu, kita diperintah agar meneliti amal apa saja yang sudah kita kerjakan untuk esok. Sudahkah kita mengamalkan perintah tersebut?
Pada ayat 19 Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kita berperilaku seperti orang yang lupa pada-Nya. Menurut tafsir Ibnu Katsir, jika seseorang lupa zikir atau lupa mengingat Allah, Allah membuatnya lupa apa saja yang patut dikerjakan untuk kepentingan dirinya sendiri yang bermanfaat bagi kehidupannya di akhirat.
Sementara itu, Ibnu Qayyim menulis dalam kitab Darus Sa’adah (Negeri Bahagia), “Barang siapa lupa kepada Allah, Allah membuatnya lupa kepada dirinya sendiri sehingga dia tidak mengenal lagi siapa sebenarnya dirinya dan apa yang perlu untuk kebahagiaan dirinya. Bahkan, dia pun dibuat lupa akan jalan hidup yang akan ditempuhnya untuk kebahagiaan dirinya sendiri, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.
Tiga Golongan Manusia
Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surat Fathir (35):32 berfirman,
ثُمَّ اَوْرَثْنَا الْكِتٰبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَاۚ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖۚ وَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌۚ وَمِنْهُمْ سَابِقٌۢ بِالْخَيْرٰتِ بِاِذْنِ اللّٰهِۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيْرُۗ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang
yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.”
Berkenaan dengan ayat tersebut, ada beberapa hal penting yang perlu kita pahami. Pertama, siapakah orang-orang yang dipilih oleh Allah? Menurut Hamka, sebagaimana dijelaskan di dalam _Tafsir Al Azhar_, mereka adalah umat Islam sejak Al-Qur’an diturunkan hingga akhir zaman. Kedua, apa yang diwariskan? Menurut beliau, pemahaman isi kandungan, ilmu-ilmu, hukum-hukum, dan ajaran akidahnya. Ketiga, bagaimana keadaan atau kualitas tiga golongan sebagaimana dijelaskan di dalam ayat tersebut? Ada tiga tingkatan kualitas mereka, yaitu (1) "zhaalimu li nafsih", yang oleh Hamka disebut golongan aniaya terhadap diri sendiri, (2) golongan "muqtasid", disebutnya bersikap cermat atau hati-hati, dan (3) golongan "saabiqum bilkhairaa", disebutnya mendahului berbuat kebajikan.
Di dalam Tafsir Al Azhar dijelaskan bahwa tiga golongan tersebut ditafsirkan oleh mufasir sangat luas. Di antara mereka, ada yang menghimpun sepuluh tafsir. Satu dari sepuluh tafsir tersebut adalah golongan pertama, yaitu orang zalim, adalah orang-orang yang mengambil Al-Qur’an, tetapi tidak mengamalkannya. Golongan kedua, yakni yang cermat adalah orang-orang yang mengamalkannya. Golongan ketiga, yaitu yang mendahului adalah orang-orang yang mengambil Al-Qur’an untuk diamalkan dan mengajak juga orang lain agar mengamalkannya.
Di dalam terjemahan Departemen Agama RI terdapat penjelasan bahwa yang dimaksud dengan "zhaalimu li nafsih" adalah 'orang yang menganiaya dirinya sendiri, yakni orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya. Yang dimaksud golongan "muqtasid: adalah golongan 'pertengahan, yakni orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya. Golongan "saabiqum bilkhairaa" adalah 'orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan', yakni orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan.
Peningkatan Kualitas Iman dan Takwa
Peningkatan kualitas iman dan takwa memerlukan hidayah dari Allah Subahanahu wa Ta'ala. Cukup banyak orang yang pada awal hidupnya beramal surga, tetapi pada akhir hidupnya beramal neraka, padahal mereka cerdas intelektual.
Siapa yang diberi hidayah dapat memperbaiki kualitas iman dan takwa? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam surat Fath [48]:4,
هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِيْ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَادُوْٓا اِيْمَانًا مَّعَ اِيْمَانِهِمْۗ وَلِلّٰهِ جُنُوْدُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًاۙ
“Dia (Allah) menurunkan ketenteraman ke dalam hati orang beriman supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanannya yang telah ada.”
Berdasarkan ayat tersebut, imanlah yang menjadi syarat mutlak bertambah meningkatnya kualitas iman dan takwa. Kita beriman bahwa tanpa hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak mungkin kita menjadi orang-orang yang masuk golongan "saabikum bilkhairaa". Berkenaan dengan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tuntunan doa, sebagaimana terdapat HR Muslim berikut ini,
اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
“Ya, Allah, sungguh-sungguh aku mohon kepada-Mu hidayah, takwa, dapat menjaga kehormatan diri dan ketenteraman hari.”
Kita Golongan yang Mana?
Termasuk golongan yang manakah kita? Golongan aniaya terhadap diri sendiri atau golongan yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya atau golongan mendahului berbuat kebajikan?
Tentu kita ingin masuk golongan ketiga, yakni golongan yang mempunyai kebaikan lebih banyak, selalu mendahului berbuat kebajikan, dan mengajak orang lain berbuat kebajikan. Namun, jika dengan muhasabah ini kita sadar bahwa kualitas iman dan takwa dalam mengamalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan larangan-Nya ternyata belum sampai pada golongan ketiga, tidak ada pilihan lain, kecuali memperbaiki diri agar menjadi muslim yang lebih baik.
Bismillah!

