Muhammadiyah, Santri, dan Kemerdekaan Indonesia

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
119
Istimewa

Istimewa

Muhammadiyah, Santri, dan Kemerdekaan Indonesia

Oleh: Rahmat Balaroa, S.Ag., Mudir Pondok Pesantren Muhammadiyah Qursains Wonogiri

Dirgahayu Republik Indonesia!

Hari ini, genap 80 tahun pasca dibacakannya naskah proklasmasi Indonesia. Dengan segala kerendahan hati, mari sejenak kita merapalkan doa untuk para pejuang kemerdekaan Indonesia, bilkhusus kepada kader-kader persyarikatan Muhammadiyah.

Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan hasil perjuangan panjang berbagai elemen bangsa, termasuk para tokoh dari organisasi keagamaan. Salah satu organisasi yang memberikan kontribusi signifikan adalah Muhammadiyah, khususnya melalui tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang santri atau pendidikan pesantren. Para tokoh ini memainkan peran ganda: sebagai ulama yang memahami ajaran Islam secara mendalam dan sebagai nasionalis yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa.

Organisasi yang berlambang matahari dengan dua belas cahayanya ini memiliki ciri khas dalam mendidik kader-kadernya. Berbeda dengan pesantren tradisional yang hanya  mengajarkan ilmu agama, Muhammadiyah mengombinasikan pendidikan agama dengan ilmu pengetahuan umum dan kesadaran nasional. Hal ini menghasilkan generasi ulama yang tidak hanya paham agama, tetapi juga memiliki visi kebangsaan yang kuat.

Panjang perjalanan yang ditempuh Muhammadiyah dalam menjahit sobekan luka batin masyarakat Indonesia yang direnggut kebebasan dan dikebiri hak asasinya. Pun dalam menjaga napas perjuangan kemerdekaan, organisasi dengan tagline Islam Berkemajuan ini, melalui kader-kadernya (Ulama-intelek dan Intelek-ulama) membuktikan bahwa Islam dan nasionalisme Indonesia tidak bertentangan. Mereka menunjukkan bahwa cinta pada agama dan cinta pada tanah air dapat berjalan beriringan, bahkan saling memperkuat dalam perjuangan melawan penjajahan. Pada tulisan yang sangat sederhana ini, saya mencoba mngajak kita untuk napak tilas tokoh pergerakan kita yang Ulama-intelek dan Intelek-Ulama.

K.H. Mas Mansur: Ulama Karismatik dalam Empat Serangkai

K.H. Mas Mansur lahir pada 25 Juni 1896 di Surabaya dari keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam yang kuat. Ayahnya adalah Kyai Hajji Mas Ahmad Marzuki, keturunan keluarga kerajaan Sumenep dan sahabat K.H. Ahmad Dahlan. Sejak kecil, Mas Mansur telah menunjukkan kecintaannya pada ilmu agama. Pada usia 12 tahun, ia pergi ke Mekah untuk menuntut ilmu Islam, kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar.

Latar belakang pendidikan pesantren dan studi di Timur Tengah membentuk karakter Mas Mansur sebagai seorang ulama yang memiliki wawasan luas. Pengalaman belajar di berbagai tempat membuatnya memahami bahwa Islam adalah agama yang universal dan tidak bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan bangsa.

Mas Mansur bergabung dengan Muhammadiyah sejak usia muda dan dengan cepat menunjukkan kepemimpinannya. Ia menjabat sebagai ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada kongres ke-26 di tahun 1937 hingga tahun 1943. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah mengalami perkembangan pesat dan semakin memantapkan orientasinya sebagai organisasi yang tidak hanya bergerak dalam bidang keagamaan, tetapi juga kebangsaan. 

KH Mas Mansur memberikan banyak legasi untuk perkembangan Muhammadiyah. Ia mengembangkan sistem pendidikan Muhammadiyah yang menggabungkan kurikulum agama dengan ilmu pengetahuan umum, sehingga menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi ganda: sebagai muslim yang taat dan sebagai warga negara yang cinta tanah air.

Peran Mas Mansur dalam perjuangan kemerdekaan sangat menonjol. Mas Mansur juga merupakan tokoh nasional yang dikenal sebagai empat serangkai, bersama Soekarno, Muhammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Keanggotaan dalam "empat serangkai" ini menunjukkan pengakuan terhadap perannya yang sangat penting dalam pergerakan nasional.

Mas Mansur juga tercatat sebagai salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam forum ini, ia menyuarakan aspirasi umat Islam Indonesia dan berperan dalam merumuskan dasar-dasar negara Indonesia merdeka. Keterlibatannya dalam BPUPKI membuktikan bahwa ia tidak hanya diakui sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional yang dipercaya untuk ikut merancang masa depan Indonesia.

Pada 1944, ia kembali ke Surabaya dan bersama pemuda terlibat dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Bahkan dalam masa-masa sulit menjelang kemerdekaan, Mas Mansur tetap aktif memobilisasi massa untuk mendukung perjuangan kemerdekaan. Perjuangan Mas Mansur mencapai puncaknya ketika ia harus berhadapan dengan kekuatan asing yang ingin kembali menguasai Indonesia. Dua tahun kemudian, dia ditangkap oleh NICA dan dipaksa berpidato untuk menghentikan perlawanan rakyat terhadap sekutu di Surabaya. Namun, sebagai seorang pejuang sejati, ia menolak untuk berkolaborasi dengan penjajah.

K.H. Mas Mansur wafat pada tanggal 25 April 1946, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan. K.H. Mas Mansur adalah salah satu pahlawan nasional, sebagaimana SK Presiden RI No. 162 tahun 1964. Pengakuan sebagai pahlawan nasional ini membuktikan bahwa kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan sangat besar dan diakui oleh bangsa Indonesia.

Ki Bagus Hadikusumo: Negarawan Sejati dari Muhammadiyah

Ki Bagus Hadikusumo dilahirkan di Kauman, Yogyakarta pada tanggal 24 November 1890 dengan nama R. Dayat atau Hidayat. Lahir dan dibesarkan di lingkungan Kauman yang merupakan kawasan santri di Yogyakarta, Ki Bagus sejak kecil telah terpapar dengan pendidikan Islam yang kuat. Lingkungan Kauman yang dekat dengan Masjid Gedhe Yogyakarta memberikan pengaruh besar dalam pembentukan karakternya sebagai seorang muslim yang taat.

Pendidikan pesantren yang diterimanya sejak kecil membentuk Ki Bagus menjadi sosok yang memiliki pemahaman Islam yang mendalam. Namun, berbeda dengan santri tradisional pada umumnya, Ki Bagus juga mengembangkan wawasan kebangsaan yang kuat melalui keterlibatannya dengan Muhammadiyah.

Ki Bagus termasuk ulama Muhammadiyah yang cukup produktif dalam menulis karya pada masanya. Produktivitasnya dalam menulis menunjukkan kapasitas intelektualnya yang tinggi dan komitmennya untuk menyebarkan pemahaman Islam yang sesuai dengan semangat zaman.

Ki Bagus pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Tabligh (1922), Wakil Ketua Pimpinan Pusat (1937), Ketua Majelis Tarjih (1936), hingga menjadi ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Perjalanan karir organisasinya yang panjang ini menunjukkan kepercayaan yang tinggi dari kalangan Muhammadiyah terhadap kepemimpinannya.

Ki Bagus Hadikusuma adalah tokoh di balik rumusan Pancasila, UUD dan figur penting di dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Perannya dalam merumuskan dasar negara Indonesia sangat fundamental bagi perjalanan bangsa Indonesia. Alasan mengapa Ki Bagus Hadikusumo diberi gelar pahlawan nasional adalah ia tercatat sebagai salah satu perumus dasar negara Republik Indonesia. Kontribusinya dalam merumuskan Pancasila dan UUD 1945 menunjukkan bahwa seorang santri dan pemimpin organisasi Islam dapat berperan besar dalam merancang negara yang tidak teokratis tetapi juga tidak sekuler.

Salah satu momen penting yang menunjukkan kebesaran jiwa Ki Bagus adalah sikapnya terhadap Piagam Jakarta. Tokoh sepuh Muhammadiyah ini bersikeras agar Piagam Jakarta tetap menjadi batang tubuh dalam Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun demikian, ketika terjadi perdebatan dan kompromi diperlukan untuk menjaga persatuan bangsa, Ki Bagus menunjukkan sikap yang sangat negarawan.

Sikap kompromi Ki Bagus Hadikusumo atas usulan para koleganya telah "memperlihatkan kebesaran hati demi kesatuan dan persatuan bangsa". Sikap ini menunjukkan bahwa meskipun ia memiliki keyakinan yang kuat sebagai seorang muslim, namun ia juga memahami pentingnya persatuan bangsa di atas kepentingan golongan.

Ki Bagus Hadikusumo berhasil mengawal Negara Indonesia sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan oleh kalangan Nasionalis dan kalangan Islam di dalam BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) agar Indonesia tidak menjadi Negara teokrasi ataupun Negara sekuler. Visi ini menunjukkan pemahaman yang matang tentang konsep negara yang cocok untuk Indonesia yang plural.

K.H. Ahmad Badawi: Santri yang Menjadi Pejuang

K.H. Ahmad Badawi merupakan tokoh Muhammadiyah lainnya yang memiliki latar belakang santri yang kuat. Pendidikan pesantrennya membentuk karakter sebagai seorang ulama yang memiliki komitmen tinggi terhadap ajaran Islam sekaligus cinta tanah air. Sebagai salah satu pemimpin Muhammadiyah, Ahmad Badawi aktif mengembangkan pendidikan Islam yang modern. Ia memahami bahwa pendidikan adalah kunci untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, baik secara fisik maupun mental.

Ahmad Badawi turut berperan dalam perjuangan kemerdekaan. Tercatat ia pernah menjadi Angkatan Perang Sabil (APS). Keterlibatannya dalam APS menunjukkan bahwa ia tidak hanya berjuang melalui pendidikan dan dakwah, tetapi juga siap mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan.

Saat terjadinya agresi militer Belanda kedua, beliau ditugaskan sebagai Imam II APS untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Posisi sebagai imam dalam laskar perjuangan menunjukkan peran gandanya sebagai pemimpin spiritual sekaligus komandan militer. Beliau juga pernah menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan bergabung di Batalyon Pati serta Resimen Wiroto, MPP Gedongan. Keterlibatannya dalam berbagai laskar perjuangan ini membuktikan dedikasi tinggi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, Ahmad Badawi mengawali karier politiknya; beliau tergabung dalam Partai Masyumi. Keterlibatannya dalam politik pasca kemerdekaan menunjukkan bahwa perjuangannya tidak berhenti setelah kemerdekaan dicapai, tetapi berlanjut dalam membangun bangsa Indonesia yang merdeka.

Kontribusi Santri Muhammadiyah: Integrasi Islam dan Nasionalisme

Para tokoh Muhammadiyah berlatar belakang santri ini berhasil menunjukkan bahwa Islam dan nasionalisme Indonesia tidak bertentangan. Mereka membuktikan bahwa seorang muslim yang taat dapat sekaligus menjadi nasionalis sejati. Konsep "cinta tanah air sebagian dari iman" benar-benar mereka wujudkan dalam tindakan nyata. Pendidikan pesantren yang mereka terima tidak menjadikan mereka eksklusif atau anti-nasionalisme. Sebaliknya, pemahaman Islam yang mendalam justru memperkuat komitmen mereka terhadap kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia.

Keterlibatan tokoh-tokoh seperti Mas Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo dalam BPUPKI sangat penting bagi masa depan Indonesia. Mereka menyuarakan aspirasi umat Islam sekaligus menjaga keseimbangan agar Indonesia tidak menjadi negara teokrasi. Sikap kompromistis mereka dalam perumusan dasar negara menunjukkan kedewasaan politik yang tinggi. Mereka memahami bahwa dalam negara yang plural seperti Indonesia, diperlukan formula yang dapat mengakomodasi semua golongan. 

Melalui jaringan Muhammadiyah yang luas, para tokoh ini berhasil memobilisasi massa untuk mendukung perjuangan kemerdekaan. Pesantren dan sekolah-sekolah Muhammadiyah menjadi basis penting dalam menyebarkan semangat nasionalisme di kalangan umat Islam. Kemampuan mereka menggabungkan dakwah agama dengan propaganda kemerdekaan sangat efektif dalam membangun kesadaran nasional di kalangan santri dan masyarakat muslim pada umumnya.

Warisan dan Relevansi Kontemporer

Warisan para tokoh santri Muhammadiyah ini masih relevan hingga kini. Model integrasi antara komitmen agama dan cinta tanah air yang mereka tunjukkan menjadi inspirasi bagi generasi muslim Indonesia saat ini. Mereka membuktikan bahwa menjadi muslim yang baik tidak berarti harus anti-nasionalisme. Sebaliknya, Islam dapat menjadi sumber kekuatan untuk membangun bangsa yang maju dan bermartabat.

Sistem pendidikan Muhammadiyah yang dikembangkan oleh para tokoh ini menjadi salah satu pilar penting sistem pendidikan nasional Indonesia. Integrasi ilmu agama dan ilmu umum yang mereka kembangkan kini diadopsi oleh banyak lembaga pendidikan di Indonesia. Ribuan sekolah, madrasah, dan universitas Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia merupakan warisan konkret dari perjuangan para tokoh santri ini dalam mencerdaskan bangsa.

Para tokoh Muhammadiyah berlatar belakang santri seperti K.H. Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, dan K.H. Ahmad Badawi memainkan peran yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka berhasil menunjukkan bahwa seorang santri dapat sekaligus menjadi nasionalis sejati.

Kontribusi mereka tidak hanya dalam bidang perjuangan fisik, tetapi juga dalam perumusan dasar negara, mobilisasi massa, dan pembangunan sistem pendidikan nasional. Sikap negarawan yang mereka tunjukkan, terutama dalam hal kompromi demi persatuan bangsa, menjadi teladan bagi generasi selanjutnya.

Warisan mereka berupa integrasi antara komitmen agama dan cinta tanah air masih sangat relevan bagi Indonesia kontemporer yang menghadapi berbagai tantangan dalam menjaga persatuan dan kemajuan bangsa. Para tokoh santri Muhammadiyah ini membuktikan bahwa Islam dan nasionalisme Indonesia dapat berjalan beriringan dalam membangun bangsa yang maju, bermartabat, dan berkeadilan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menembus Batas: Pengabdian yang Menghidupkan Salutiwo Oleh: Furqan Mawardi/Ketua Lembaga Pengembang....

Suara Muhammadiyah

28 March 2025

Wawasan

Nyuwun Qodaran (Minta Qodaran) Oleh: Achmad Hilal Madjdi Hidup di masa kecil di lingkungan Kudus K....

Suara Muhammadiyah

28 March 2025

Wawasan

Beridul Fitri untuk Menjadi Muslim yang Lebih Baik Oleh: Mohammad Fakhrudin Idul Fitri satu ra....

Suara Muhammadiyah

8 April 2024

Wawasan

Revitalisasi Tradisi Intelektual IMM  Oleh: M. Rendi Nanda Saputra, Sekretaris Umum PC IMM AR ....

Suara Muhammadiyah

1 March 2025

Wawasan

Berkah Literasi: Ramadhan dan Buku Oleh: Fathan Faris Saputro Ramadhan, bulan penuh berkah bagi um....

Suara Muhammadiyah

12 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah