Muhammadiyah Jadi Teladan Islam Moderat dalam Kajian Nakamura

Publish

25 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
98
Foto Istimewa

Foto Istimewa

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Diskusi sekaligus bedah buku Mengamati Islam Indonesia 1971–2023 kembali menegaskan signifikansi karya Prof. Mitsuo Nakamura dalam memahami wajah Islam Indonesia. Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag., Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menilai fokus Nakamura pada Muhammadiyah menunjukkan bagaimana organisasi ini telah lama menjadi ikon Islam moderat (wasathiyah) di tanah air.

Agenda yang digelar pada Rabu (24/09) di Nakamura Center, Perpustakaan UMY lantai 2, menjadi ruang refleksi bagi Zuly. Ia menilai Nakamura bukan hanya antropolog asing yang meneliti Islam Indonesia, tetapi juga teladan seorang ilmuwan yang rendah hati, sederhana, dan konsisten menekuni bidang risetnya.

Menurut Zuly, karya-karya Nakamura tetap relevan karena selalu kontekstual. Dari penelitian kecil di Kotagede, Yogyakarta, ia mampu membahas isu buruh, pedagang, hingga gerakan sosial yang terus aktual.

“Beliau tidak pernah segan mengatakan ‘saya belum tahu’ atau ‘penelitian ini belum selesai’. Itu bentuk kejujuran intelektual yang jarang dimiliki akademisi. Dari ketekunan itu lahirlah karya-karya yang tetap relevan, meski berbasis riset lokal seperti Kotagede,” ungkap Zuly.

Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan UMY ini juga menyoroti bagaimana Nakamura menampilkan dimensi ijtihad dalam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Dari program Keluarga Berencana pada masa Orde Baru, perdebatan bayi tabung, hingga respons terhadap pandemi Covid-19 dan krisis iklim, kedua organisasi tersebut membuktikan bahwa Islam Indonesia selalu mampu menyesuaikan diri dengan zaman.

Zuly menegaskan, kontribusi besar Nakamura terletak pada fokusnya terhadap Muhammadiyah dan NU, dua organisasi Islam besar yang menjadi ikon moderasi Islam Indonesia. Dari pendidikan, sosial, hingga politik, keduanya berperan penting dalam membentuk arah bangsa.

“Nakamura berhasil menunjukkan bahwa Islam di Indonesia bukan statis, melainkan terus bertransformasi,” jelasnya.

Meski demikian, Zuly mengingatkan adanya kekurangan dalam karya Nakamura, yakni minimnya perhatian pada aktor perempuan dalam organisasi Islam. Selain itu, organisasi bersejarah seperti Syarikat Islam dan Persatuan Islam juga relatif jarang mendapat sorotan. Menurutnya, hal ini menjadi tugas peneliti muda untuk melanjutkan penelitian, khususnya terkait tokoh perempuan dan organisasi lain yang memiliki kontribusi besar.

Di sisi lain, Mohammad Syifa Amin Widigdo, Ph.D., dosen Psikologi Pendidikan Islam UMY yang menjadi pembahas, menekankan bahwa karya Nakamura merupakan tonggak penting dalam mengoreksi bias para peneliti Barat terhadap Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.

Sebelum hadirnya karya Nakamura, dunia akademik lebih mengenal Islam di Indonesia melalui kajian Clifford Geertz dalam The Religion of Java. Geertz menekankan trikotomi abangan–priyayi–santri, serta menafsirkan bahwa nilai-nilai seperti sabar, ikhlas, dan tradisi selamatan lebih berakar pada budaya Jawa ketimbang Islam.

“Padahal, Nakamura dalam penelitiannya justru menunjukkan bahwa konsep-konsep tersebut bersumber dari Al-Qur’an dan praktik keislaman yang hidup di tengah masyarakat,” jelas Syifa.

Ia menambahkan, kelemahan banyak peneliti Barat adalah kecenderungan melihat agama hanya dari sisi permukaan. Peter L. Berger, misalnya, hanya mencatat angka perceraian di pengadilan agama tanpa menelisik bagaimana umat Islam menyelesaikan masalah rumah tangga dengan rujukan agama.

Berbeda dengan pendekatan eksternalis semacam itu, Nakamura memperkenalkan konsep “antropologi peradaban”. Ia berupaya menampilkan wajah Islam sebagaimana dipraktikkan masyarakat, bukan sekadar simbol atau struktur kelembagaan.

“Beliau ingin menangkap the living religion, agama yang benar-benar hidup, bukan sekadar ritual atau data statistik,” lanjut Syifa.

Menurutnya, terobosan pemikiran Nakamura membuka jalan baru bagi perkembangan antropologi Islam di Indonesia. Bahkan, Nakamura disebut sebagai advokat yang menegaskan pentingnya seorang antropolog memiliki bekal studi Islam agar mampu memahami teks dan tradisi, sehingga tidak kehilangan konteks penelitian.

Meski begitu, Syifa menilai salah satu kelemahan Nakamura adalah sikapnya yang terlalu berhati-hati dalam mengkritisi praktik Islam di Indonesia.

“Mungkin karena kerendahan hatinya sebagai outsider, beliau lebih memilih memberi masukan daripada kritik tajam. Padahal, generasi pasca Nakamura perlu lebih berani memberikan evaluasi kritis terhadap Muhammadiyah, NU, maupun gerakan Islam lainnya,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Nakamura menegaskan bahwa seluruh karyanya lahir dari pengalaman lapangan dan interaksi langsung bersama masyarakat.

“Saya ingin buku ini menjadi tanda terima kasih bagi orang-orang yang telah membantu saya selama penelitian. Apakah yang digambarkan benar atau tidak, setuju atau tidak, itu saya serahkan. Bagi saya, ini adalah etika akademis, karena antropologi adalah ilmu tentang manusia,” ungkapnya. (ID)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

SLEMAN, Suara Muhammadiyah - Sekretaris Pimpinan Pusat Aisyiyah Diyah Puspitarini secara resmi menya....

Suara Muhammadiyah

23 March 2024

Berita

SURAKARTA, Suara Muhammadiyah - SD Muhammadiyah Program Khusus (PK) Kottabarat Solo berhasil me....

Suara Muhammadiyah

27 May 2024

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Agus Taufiqurrahman menekan....

Suara Muhammadiyah

24 March 2025

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Penerapan Wasathiyah Islam Berkemajuan dalam mewujudkan keluarga sakin....

Suara Muhammadiyah

9 March 2025

Berita

Ajak Mahasiswa Melek Literasi dan Riset BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Badan Eksekutif Mahasis....

Suara Muhammadiyah

5 March 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah