BANTUL, Suara Muhammadiyah - “Kita hadir di sini bukan sekadar meresmikan bangunan fisik, tetapi membangun kembali kesadaran bahwa masjid memiliki peran fundamental dalam membentuk masyarakat baru,” demikian disampaikan Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, KH. Fathurrahman Kamal, Lc., MSI., dalam pembukaan Workshop Pengelolaan Kantor Layanan Lazismu Masjid dan Musala Muhammadiyah di Pusdiklat Tabligh Institute Muhammadiyah, Tamantirto, Bantul, Jumat (11/7).
Fathurrahman menegaskan, dalam sejarah Islam, hampir semua peradaban besar dimulai dari masjid. Masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi pusat pergerakan ilmu, budaya, solidaritas sosial, dan dakwah. Ia mencontohkan bagaimana Rasulullah menjadikan Masjid Nabawi sebagai poros utama pembangunan masyarakat Madinah yang inklusif dan berkeadilan sosial.
Lebih lanjut, ia mengutip hadis Nabi tentang empat amal yang membuka pintu surga—menyebarkan salam, memberi makan, menyambung silaturahmi, dan mendirikan salat malam. “Menariknya, tiga dari empat amalan itu bersifat sosial. Artinya, masjid harus merepresentasikan dimensi transendental sekaligus sosial,” jelasnya.
Sayangnya, menurut Fathurrahman, banyak masjid saat ini hanya digunakan sebagai tempat salat, tidak berfungsi sebagai pusat kehidupan masyarakat. Ia menyerukan agar ekosistem masjid dibangun secara terbuka, ramah, dan profesional. Masjid harus mampu menjawab tantangan era digital, menjadi pusat literasi, membendung hoaks, dan menghadirkan program berbasis masyarakat.
“Kalau kita ingin menilai kemajuan suatu masyarakat, lihatlah peran masjidnya. Bila masjidnya hidup, insya Allah masyarakatnya juga berkemajuan,” tegasnya. Ia pun menutup sambutannya dengan tiga poin penting: masjid sebagai pusat spiritual, profesional, dan representasi peradaban.
Direktur Eksekutif Lazismu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ibnu Tsani, menyoroti pentingnya transformasi pengelolaan masjid dari model konvensional ke sistem yang profesional dan produktif.
“Masjid harus menjadi pusat kehidupan. Saat ini mulai tumbuh kesadaran bahwa masjid adalah instrumen kesejahteraan. Banyak masjid mulai mengelola unit usaha secara mandiri, dan ternyata itu membuat jamaah makin terlibat dan aktif berdonasi,” ujar Ibnu.
Ia juga menekankan perlunya akuntabilitas dalam pengelolaan masjid. Menurutnya, meski Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan oleh World Giving Index, praktik donasi umat masih didominasi oleh pola informal. Kotak amal tanpa catatan distribusi dan pelaporan menjadi tantangan besar. Maka dari itu, ia mendorong agar praktik filantropi umat di masjid diarahkan ke sistem formal melalui lembaga zakat atau manajemen masjid yang terstandar.
“Ini berarti, umat lebih percaya kepada lembaga filantropi berbasis agama. Maka kita harus membuktikan kepercayaan itu dengan sistem yang profesional dan transparan,” jelasnya.
Ibnu Tsani juga menyebut banyak pihak dari daerah seperti Salara dan Stadion menghubunginya, meminta dukungan menjadikan masjid sebagai titik pusat pemberdayaan masyarakat. Menurutnya, ini sinyal positif bahwa masjid kini mulai dilihat sebagai solusi atas berbagai persoalan sosial-ekonomi umat.
“Kita perlu mempercepat proses ini. Kolaborasi antara LPCR, lembaga keuangan syariah, dan Kementerian Agama bisa mendorong masjid menjadi entitas yang terstandar dan terpercaya,” ungkapnya.
Keduanya menekankan bahwa masjid di masa depan harus hadir bukan hanya sebagai ruang spiritual, tetapi sebagai ruang aktualisasi nilai-nilai keumatan dan kemanusiaan.
“Masjid harus menjadi pusat filantropi, pusat literasi, pusat konsolidasi, dan pusat peradaban,” pungkas Ibnu Tsani.
Acara workshop yang menyertakan Lazismu, LPCR dan LDK PP Muhamamdiyah ini diharapkan menjadi tonggak penting dalam gerakan pembaruan masjid Muhammadiyah, dengan harapan masjid-masjid ke depan akan tampil sebagai simpul perubahan, pusat kemajuan, dan cahaya bagi lingkungan sekitarnya. (Indra)