Judul : Dilema Purifikasi Muhammadiyah: Antara Progresivisme dan Konservatisme
Penulis : Tafsir
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : November 2022
Tebal, ukuran : xiv +182 hlm, 16 x 23 cm
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan purifikasi, tetapi di saat yang sama juga mengusung semangat tajdid, membuka pintu ijtihad, mengikuti perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Prinsip “kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah” dipahami secara komprehensif dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani, serta menghargai kedudukan akal pikiran. Teks agama dipahami secara kontekstual.
Tafsir menyebut Muhammadiyah sebagai “gerakan Islam puritan yang progresif, purifikasi dalam pandangan Muhammadiyah tidak berarti tekstualisasi, tetapi otentikasi, mencari nilai-nilai Islam yang otentik, sejati, Islam yang sebenar-benarnya.” Dalam melakukan pemahaman ajaran agama, Muhammadiyah melakukannya secara independen, tidak terikat pada pendapat suatu mazhab atau ulama salaf dan khalaf tertentu. Meskipun pendapat imam mazhab menjadi rujukan pertimbangan dan memperkaya wawasan. Namun, pendapat itu dapat ditinjau ulang.
Bagaimana dalam wilayah budaya? Muhammadiyah telah memiliki dokumen resmi seperti: Dakwah Kultural dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), yang menunjukkan bahwa Muhammadiyah memberi apresiasi kepada budaya, purifikasi Muhammadiyah tidaklah anti budaya. “Purifikasi tidak identik dengan penghilangan budaya (dekulturisasi) tetapi penghilangan nilai-nilai sakral yang terdapat pada budaya (desakralisasi budaya),” tulis Tafsir.
Purifikasi Muhammadiyah diupayakan untuk pemberantasan TBC sebagai penghambat kemajuan. Buku ini menekankan bahwa penghilangan TBC tidak sama dengan penghilangan budaya, tidak harus menghilangkan budaya selama tidak betentangan dengan syari’at. Ibarat memberantas tikus dalam lumbung padi, yang dimusnahkan adalah tikusnya tanpa harus membakar lumbungnya.
Muhammadiyah memandang manusia sebagai makhluk budaya, homo religious, homo festivus dan homo simbolicum. Budaya yang tumbuh di masyarakat tidak dihapus, tetapi dapat dijadikan festival rakyat atau wadah yang menjadikan masyarakat bergembira membangun kebersamaan dengan kreativitas budaya yang diciptakannya. Jadi, purifikasi dalam batas-batas tertentu adalah festivalisasi budaya.
Penelitian Tafsir di beberapa Cabang dan Ranting Muhammadiyah di Jawa Tengah menunjukkan fakta itu. Misalnya, di Ranting Plompong, Bumiayu, menggunakan tim kesenian orkes Melayu ANIDA (Alunan Nada Irama Damai) dan PGT (Pasukan Gendrang dan Trompet) sebagai strategi dakwah. Dengan musik ini, banyak anak muda Plompong bergabung untuk bermain musik dan kemudian bergabung dengan Muhammadiyah.
Di Cabang Kaliwungu yang dikenal sebagai kota santri, strategi dakwah kultural menjadikan warga Muhammadiyah yang minoritas mampu eksis dan dinamis. Pada mulanya, Muhammadiyah Kaliwungu membentuk Pasukan Genderang Terompet dan Seruling (PGTS) Cenderawasih yang selalu tampil di tengah kota dan menjadi kebanggaan warga Kendal.
Di Cabang Jatinom, Klaten, strategi budaya digunakan secara kreatif dalam menyikapi tradisi sebaran apem sebagai ritual yang sudah berlangsung turun-temurun. Prosesi sebaran apem dimulai setelah salat Jumat di Masjid Besar Jatinom, di komplek Makam Ki Ageng Gribig. LSBO Jatinom memberikan reinterpretasi terhadap model dakwah Ki Ageng Gribig dengan melakukan desakralisasi budaya dalam tradisi Saparan: Ya Qawiyyu. LSBO memahami itu sebagai festivalisasi tradisi, sebagai pesta rakyat, bukan lagi meminta kepada kuburan. Festival ini menjadi ajang pagelaran seni budaya hingga ceramah agama. Di saat yang sama, meminimalisir unsur kesyirikan dan suasana mistis di makam. (Ribas)
Bagi pembaca yang ingin mendapatkan buku tersebut, sila kunjungi link berikut
https://suaramuhammadiyah.or.id/products/detail/dilema-purifikasi-muhammadiyah-antara-progresivisme-dan-konservatisme-1063