Cerpen Satmoko Budi Santoso
Muadzin baru di mushala itu masih terus mengundang perhatian. Tentu saja karena suaranya yang tergolong di bawah standar kepantasan. Berbeda dengan muadzin lama yang sudah biasa yang dianggap jauh lebih pantas jika suaranya didengar dan disimak baik-baik.
Memang, hal semacam itu menjadi pembicaraan yang biasa di kampungku. Apalagi muadzin itu adalah pendatang baru dan kabarnya juga mualaf. Oleh sebab itu, semangatnya pastilah dihargai. Semangat untuk selalu mengajak pada kebaikan dengan mengumandangkan azan pada jam-jam tertentu.
Dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan bulan ke bulan suara adzan muadzin baru itu tentu saja berubah menjadi lebih enak didengar. Ada perkembangan yang menggembirakan atas suara adzannya. Bahkan banyak warga mulai jatuh hati dengan suara adzannya. Pastilah banyak yang juga hapal jika suara yang khas itu adalah suara muadzin baru tersebut.
Di kampungku selain muadzin baru itu ada sejumlah muadzin lain yang dengan suka rela bergantian mengumandangkan azan pada jam-jam tertentu. Warga pun menjadi sangat hapal siapakah yang sedang beradzan tersebab suaranya yang masing-masing menyimpan ciri tersendiri.
Suatu hari muadzin yang mualaf itu jatuh sakit. Kabarnya terkena serangan jantung akibat kolesterol di tubuhnya tinggi. Ia pun sempat diharuskan rawat inap sementara di rumah sakit. Menghuni bangsal High Care Unit (HCU) untuk memantau perkembangan jantungnya selama beberapa hari. Tentu saja orang kampungku banyak yang merasa kehilangan suara adzannya yang sudah dikenal memiliki ciri spesifik. Banyak warga yang saling menanyakan bagaimana kabar muadzin itu dan bergantian membesuk di rumah sakit.
Tentu saja karena di bangsal HCU tidak boleh ada yang membesuk di dalam ruangan. Keluarganya saja tidak ada yang menunggui di dalam ruangan. Masuk ke ruangan juga kalau benar-benar dibutuhkan. Jadi, orang kampung bergantian membesuk hanya di luar ruangan, menemui istrinya, memberinya dorongan semangat untuk senantiasa tegar, serta menghibur sepantasnya. Di samping itu juga mendoakan agar muadzin yang terbaring sakit di ruang HCU bisa segera cepat sembuh dan kembali beradzan seperti sediakala.
Ada suasana yang mengharukan saat suatu hari istri muadzin itu ditemani warga kampung di rumah sakit. Istri muadzin itu bercerita bahwa suaminya sudah merindukan kembali beraktivitas sebagai muadzin. Katanya, dia sudah ketagihan menjadi muadzin. Rasanya aneh jika sehari saja tidak mengumandangkan adzan.
“Kalau saya menjenguk ke dalam ruangan, misalnya pas jam makan, dia selalu berkata jam berapa? Wah tidak bisa adzan lagi. Mendengar canda itu saya hanya terdiam sambil menyuapi makan. Selebihnya ya kemudian keluar lagi karena semua keperluan pribadi dia sampai pada buang air besar di tempat sudah diurus perawat,” demikian cerita istri muadzin itu, suatu hari.
Terhitung sudah tiga hari muadzin itu di bangsal HCU dan sudah diperbolehkan pindah bangsal yang lebih rileks, boleh dijenguk secara langsung sambil ngobrol di dekat pembaringan. Namun di bangsal itu juga hanya tiga hari setelah itu diperbolehkan pulang. Saat sudah pulang, pastilah warga kampungku senang melihatnya sudah sehat. Sudah pulih seperti sediakala dan bisa kembali beraktivitas sehari-hari.
Namun terjadi pro dan kontra di tengah warga. Ada yang menyarankan sebaiknya istirahat dulu, jangan tergesa-gesa dengan aktivitas yang agak mengagetkan seperti mengumandangkan adzan. Ada yang tetap mendorong agar segera beradzan supaya cepat benar-benar sehat dan tidak kambuh lagi. Meskipun dengan suara adzan yang tidak harus keras.
Muadzin itu tentu saja memutuskan dengan saran sesuai dengan pilihan yang kedua. Dia juga berharap ada berkah tersendiri di dalam suara adzan. Kembalilah dia beradzan dan waktu yang ia sukai adalah Subuh. Bersama dengan dingin pagi yang menusuk kulit, dingin air yang merayapi nadi, suara adzannya mengalun pelan. Membangunkan warga yang sengaja menunggu suara adzannya berkumandang tidak terlalu keras. Mushala di tengah kampung itu pun menjadi penanda pembuka hari yang menyenangkan sebelum warga berangkat ke pasar, membersihkan rumah, berbelanja untuk sarapan, pergi ke sawah atau ke ladang, bekerja ke kantor atau ke mana saja, dan sebagainya.
Kebiasaan hanya beradzan di saat jam Subuh itu berlangsung hingga beberapa waktu lamanya hingga jemaah yang biasanya hanya satu saf, begitu tahu muadzin itu spesial hanya beradzan Subuh, jemaah yang datang kian banyak. Menjadi dua saf, tiga saf, empat saf, bahkan lima saf. Terus terang, banyak warga yang juga ingin mendapatkan berkah Subuh sejak muadzin itu spesial hanya beradzan Subuh.
Situasi itu membuat salah seorang kiai di kampungku agak heran. Menurut kiai tersebut, kalau ingin shalat jangan karena muadzin itu. Sebaiknya tetap karena Allah. Jadi niatnya harus jelas. Jangan sampai niatnya terjerumus sesat menjadi selain karena Allah. Peringatan kiai tersebut tentu saja benar. Soal niat shalat harus benar-benar lurus. Tidak bisa main-main.
Memang, kiprah sosial muadzin itu di kampungku mampu menjadi daya tarik tersendiri. Ada magnet yang dibawanya yang akhirnya membuatnya mengantar menduduki kursi sebagai Ketua RT. Belum ada setahun menjadi pendatang di kampungku warga sudah begitu percaya dengan kemampuannya menduduki jabatan sebagai Ketua RT.
Dengan senang hati muadzin yang menjadi Ketua RT baru itu pun menjalankan tugasnya sehari-hari. Ia ternyata juga pintar menata program, khususnya yang terkait dengan sampah. Apalagi di kotaku sampah sudah menjadi persoalan serius yang harus disikapi dengan tangkas. Ketua RT baru itu pun mempunyai program terobosan yang menarik di kampungku yaitu Jum'at Peduli Sampah.
Setiap hari Jum'at sore warga satu RT sibuk mengolah sampah mereka selama seminggu. Ada yang membuat menjadi kerajinan, pupuk kompos, dan sebagainya. Ternyata ia punya jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang cukup luas sehingga kampungku pun perlahan-lahan dikenal sebagai kampung mandiri sampah. Hanya sebulan program itu berjalan, berkat jaringan informasi melalui media sosial maka kampungku menjadi banyak dikunjungi warga kampung lain, terinspirasi bagaimana caranya mengolah sampah secara mandiri.
“Meskipun sudah sibuk jangan lupa tetap menjadi muadzin,” demikian pesan kiai di kampungku kepada Ketua RT itu.
“Benar, Pak Kiai. Saya tetap akan bersetia menjadi muadzin. Itu bagi saya jauh lebih penting dibandingkan sebagai Ketua RT,” balasnya.
Warga luar kota pun banyak juga yang datang ke kampungku untuk saling belajar mengolah sampah secara praktis dan mandiri. Bahkan sebegitu senangnya saling belajar ada yang sampai menginap di homestay terdekat dan mengikuti jemaah shalat Subuh karena tahu bahwa Ketua RT kampungku adalah juga muadzin yang shalih. Aneh juga, pernah selama dua bulan berturut-turut, di luar bulan Ramadhan, jemaah salat Subuh di kampungku menjadi penuh satu mushala. Bahkan sampai meluber ke konblok tempat parkir kendaraan bermotor dan mobil.•