Mewaspadai Imbas Demo Besar-Besaran
Oleh: Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
DALAM suatu kesempatan ketika kita berjalan, tidak jarang kita berpapasan dengan orang yang tersenyum kepada kita. Tentu kita merasa aneh karena tidak kenal dengan orang yang tersenyum itu. Namun refleks kita lebih cepat daripada pertanyaan kita tentang siapa gerangan orang itu dan mengapa dia tersenyum. Maka tersenyumlah kita kepadanya. Sejatinya, orang yang tersenyum itu bukan tersenyum kepada kita tetapi tersenyum kepada orang yang berjalan di depan kita. Mengapa dia masih tersenyum --seakan tersenyum kepada kita— karena tersenyum itu tidak bisa direm mendadak. Alhasil kita terkena imbas dari gerakan ikutan tersenyum itu. Kurang lebih demikian juga untuk menggambarkan demo besar-besaran beberapa saat lalu, yang memperoleh perhatian sangat luas baik dalam negeri maupun luar negeri. Besar kemungkinan akan melahirkan imbas politik berupa “gerakan politik ikutan.” Pada dasarnya gerakan ikutan tersebut memang mengancam kekuatan politik Pemerintah, namun akan segera dirasakan bahwa gerakan itu menjadi musuh bersama karena real menyusahkan kehidupan masyarakat.
Mencermati gerakan demo besar-besaran akhir Agustus hingga awal September tahun 2025, nampaknya masih banyak menyisakan “pe-er” bagi pemerintah, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Oleh sebab itu besar kemungkinan masih akan ada gerakan demo dalam berbagai bentuk yang memungkinkan menjadi “gerakan politik ikutan” dari demo besar yang sudah lewat. Analisis penulis didasarkan pada isu-isu yang berkembang dalam demo besar itu sama sekali belum berakhir. Tentu pernyataan ini bukan sebagai harapan apalagi doa, karena kita semua memiliki tanggung jawab atas terwujudnya tujuan mulia kehidupan bernegara yang kita cintai ini dengan rukun dan damai.
Statement Presiden dan DPR
Di antara kemungkinan demo akan berlanjut adalah karena adanya sebagian masyarakat yang menilai sikap Presiden terhadap aspirasi atau masukan baik dari demonstran, dari tokoh-tokoh organisasi kemasyarakatan, dari para Guru Besar, dari kaum pekerja, dan masyarakat secara umum masih mengambang. Contoh yang paling menonjol adalah tuntutan agar Presiden mengganti pejabat-pejabat yang dituding sebagai pejabat yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat dan membuat kebijakan yang menyusahkan masyarakat, bahkan suka mengeluarkan pernyataan kasar. Demikian pula kebijakan tentang kenaikan pajak yang berlebihan pada satu sisi, dan pada sisi lain membiarkan kenaikan pendapatan DPR yang sangat tidak masuk akal – jika diukur dari situasi ekonomi rakyat yang sedang sangat susah-- merupakan kebijakan-kebijakan yang sungguh-sungguh tidak bijak. Adalah juga hal yang mengherankan bahwa para Pimpinan Daerah telah memberikan penegasan kenaikan pajak PBB itu sudah dikonsultasikan ke Pemerintah Pusat.
Hal yang sangat menonjol lainnya adalah cara kekerasan yang dipertontonkan oleh aparat kepolisian. Apapun alasannya peristiwa “nggegirisi” wafatnya para demonstran utamanya saudara Affan Kurniawan, dan apapun sanksinya nanti, tindakan kekerasan aparat kepolisian ini akan lestari sebagaimana orang akan dengan mudah menyebut peristiwa kekerasan aparat keamanan dalam demo Tiananmen sebagai kekejaman aparat keamanan terhadap demonstran. Jika nantinya tidak ada proses cepat dengan sanksi yang sepadan akan menjadikan isu ini semakin memperkuat tudingan bahwa Presiden membiarkan terhadap tindakan kekerasan aparat kepolisian terhadap demonstran. Hal ini akan bertambah keras reaksi publik dengan keluarnya perintah Presiden kepada Kapolri untuk menaikkan pangkat aparat kepolisian yang menjadi korban demonstrasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Kantor Komunikasi Hasan Nasbi bahwa Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk memberikan kenaikan pangkat luar biasa kepada polisi yang menjadi korban demonstrasi ricuh sebagai bentuk penghargaan negara. https://www.detiksumsel.com-istana-kenaikan-pangkat-polisi-korban-demo-bentuk-penghargaan-negara
Di sisi lain, Presiden hadir di rumah duka, bahkan memberikan bantuan rumah kepada keluarga saudara Affan Kurniawan, yang tentu saja diterima dengan rasa haru yang mendalam https://m.youtube.com/watch?v=Uy9Y6XH-BUw. Sikap simpati Presiden ini merupakan wilayah kemanusiaan yang baik tentu saja, namun bukan wilayah kebijakan yang lebih luas. Berbeda halnya jika Presiden tidak hadir di rumah duka namun membuat kebijakan yang bersifat melindungi dan menyejahterakan pekerja Ojol khususnya dan pegawai rendahan pada umumnya. Hal ini akan menjadi bentuk kebijakan negara yang baik yang merupakan impian dari warga masyarakat secara umum. Sungguh hal ini memberikan gambaran terbalik antara sikap Presiden terhadap rakyat –yang diberi stigma demo anarkis-- dengan sikap Presiden terhadap aparat kepolisian.
Demikian pula sikap DPR yang hanya sibuk mengurus urusan personal dijarahnya rumah beberapa Anggota DPR. Memang itu peristiwa yang sungguh menyedihkan, bahkan secara kemanusiaan itu tidak manusiawi, namun karena DPR terlalu sibuk menangani persoalan ini, maka timbul sangkaan bahwa DPR tidak peduli dengan kewajiban institusional. DPR haruslah memahami bahwa moralitas dan kepantasannya sebagai wakil Rakyat sedang dipersoalkan dengan sangat serius. Mengapa tidak ada tanggapan untuk memperkuat tuntutan rakyat dan mengingatkan Presiden beserta para pejabat tingginya untuk menjalankan kekuasaan berlandaskan pada Kedaulatan Rakyat secara substantif. Tentu sikap yang demikian ini sangat memprihatinkan bahkan mengharukan.
Tidak sedikit warga masyarakat bahkan tokoh masyarakat yang menyesalkan statemen dari salah seorang Anggota DPR yang mencerca dengan kata “tolol” terhadap warga masyarakat yang menyuarakan “pembubaran DPR” sebagai pemicu keras lahirnya demonstrasi anarkis. Akan menjadi bijak jika statemen ini segera diralat baik oleh yang bersangkutan maupun oleh institusi DPR. Akibat lambannya respon maka semua “borok” DPR diungkap secara vulgar. Ada sementara media yang mendaftar sumber demonstrasi keras akibat dari perilaku Anggota DPR meliputi: rapat diam-diam di hotel, kasus CSR Bank Indonesia, Pernyataan Seksis, Ucapan kasar “tolol,” joged di tengah sidang dan kontroversi gaya hidup serta flexing. https://www.cnbcindonesia.com-kontroversi-anggota-dpr
Pentingnya Sikap Berimbang
Presiden Prabowo Subianto nampak sudah berusaha menyampaikan statemen yang relatif dapat dikatakan cukup berimbang. Misalnya Ketika Presiden memerintahkan Polri dan TNI mengambil "tindakan tegas".
"Saya perintahkan untuk mengambil tindakan yang setegas-tegasnya terhadap segala macam bentuk pengrusakan fasilitas umum, penjarahan terhadap rumah individu ataupun tempat-tempat umum atau sentra-sentra ekonomi, sesuai dengan hukum yang berlaku," kata Prabowo. Di samping itu Ketua umum Partai Gerindra ini juga menegaskan, pemerintah akan menghormati penuh aspirasi yang disampaikan secara damai dan tidak melanggar aturan. Namun statemen ini kurang mendapat respon positif. Ukuran kurangnya respon positif adalah adanya sejumlah unggahan di media sosial yang terus menganjurkan aksi yang menjurus kepada kerusuhan dan penjarahan. Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) melaporkan, hoaks yang beredar di media sosial dan media pesanan makin meningkat. (https://www.bbc.com/indonesia/articles/czxp99z02gdo)
Mengapa pernyataan yang tepat dan cepat dari Presiden menjadi begitu penting, karena politik seringkali disederhanakan dengan satu kata: “pengaruh”. Maksudnya jika statemen tidak sejalan dengan kehendak massa aksi atau dengan harapan warga masyarakat maka statemen pejabat akan berpengaruh buruk bagi pejabat itu sendiri. Meskipun demikian pernyataan Presiden yang relatif berimbang itu masih dilihat secara tidak berimbang, karena bercampur aduknya rasa kecewa yang murni dari masyarakat dengan peran buzzer dan influencer yang luar biasa rajin menyerang Presiden. Dalam kaitan ini, tidak kurang dari seorang ‘ulama telah berpesan jangan sampai Presiden salah ucap. Maksudnya jangan sampai Presiden mengeluarkan pernyataan yang dapat dieksploitasi oleh para “pemain” yang disinyalir digerakkan oleh kelompok koruptor besar yang merasa terancam oleh gebrakan politik berantas korupsi sampai ke akar-akarnya dari Presiden Prabowo.
Bentuk-bentuk Gerakan Politik Ikutan
Secara teoretik sederhana Presiden Prabowo tentulah menyadari adanya peluang politik (political opportunity) dari musuh baik yang nampak maupun yang berada dibalik selimut kabinet. Ketika power politik tertentu sedang lemah, misalnya kurang tanggap terhadap berbagai kritik, hal ini akan menciptakan peluang bagi orang lain untuk menantang status quo dan mendorong besarnya arus perubahan.
Di antara Gerakan politik ikutan mungkin sekali muncul adalah tuntutan terhadap Pemerintah untuk memperbaiki kebijakan agar semakin pro-rakyat. Pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, pemerintah menonjolkan anggaran dengan jargon pro-poor alias pro terhadap nasib warga miskin. Selama sepuluh tahun terakhir istilah sepertinya ini menghilang begitu saja. Presiden Prabowo Subianto tidak perlu merasa risih untuk menghidupkan kembali anggaran pro-poor karena salah satu isu kesenjangan antara rakyat dan pejabat yang begitu lebar menjadi point sangat mendasar dalam demo besar itu. Penulis melihat jurang kesenjangan ini sangat mudah dieksploitasi sebagai isu yang bermuara pada sikap anti pemerintah –sebagaimana telah banyak kita saksikan dalam narasi dan orasi demo besar-besaran itu.
Secara simpel Gerakan politik ikutan akan menjelma dalam narasi politik yang kuat antara lain munculnya tuntutan atas nama rakyat untuk mengubah kebijakan-kebijakan Pemerintah yang cenderung menyusahkan rakyat. Dalam hal ini dapat dicontohkan pemblokiran rekening yang dianggap nihil transaksi. Apapun alasan dari pemblokiran ini memang menimbulkan letupan emosi masyarakat dan tidak jelas apa keuntungan dari pemblokiran rekening itu. Demikian juga akan muncul Gerakan Advokasi dan Aksi Sosial karena banyaknya korban demonstrasi yang kurang memperoleh perhatian apalagi bantuan dari Pemerintah.
Seorang teman di WA group menulis bahwa gerakan advokasi yang menyebut diri sebagai Draw the Line telah muncul di Yogyakarta. Gerakan ini merupakan jejaring internasional yang melakukan aksi global yang dahsyat pada bulan September 2025. Gerakan ini seiring dengan gerakan-gerakan di seluruh dunia bersatu dalam hari-hari aksi global yang bersejarah. Di bawah tajuk Tarik Garis, komunitas-komunitas akan bergerak di kota-kota untuk menarik garis melawan ketidakadilan, polusi, dan kekerasan, serta untuk transisi yang adil dan masa depan yang dibangun di atas energi terbarukan, keadilan, dan perdamaian. https://350.org/press-release/draw-the-line/
Pemerintah dalam arti luas, tidaklah perlu mengkhawatirkan akan lahirnya gerakan politik yang bermuara pada upaya mendown grade martabat dalam segala bentuknya. Jawaban atas semua kemungkinan itu sebenarnya sederhana saja yakni: berhentilah membuat kebijakan yang menyusahkan rakyat, dan berhentilah korupsi serta mewujudkan penegakan hukum sesuai dengan fungsi dan tujuan hukum itu sendiri. Insya Allah bekerja sebagai pejabat bukan saja akan memperoleh dukungan moral dari warga masyarakat tetapi juga bernilai ibadah. Sejatinya, gerakan apapun yang bertujuan memberikan citra buruk kepada pemegang mandat pemerintahan yang sah dan telah menjalankannya dengan baik untuk kepentingan rakyat, tidak akan memberikan efek buruk kecuali kepada kelompok itu sendiri. Masyarakat akan segera menyadari bahwa kebobrokan pemerintahan itu secara sengaja telah dilakukan di masa lalu untuk tujuan tertentu yang sama sekali tidak menguntungkan kehidupan bangsa dan negara.*