Meninjau Ulang Syarat Mencari Ilmu Menurut Imam Syafii
Oleh: Al-Faiz MR Tarman, Dosen Universitas Muhammadiyah Klaten
Dalam kaitan tugas manusia untuk beribadah kepada Allah Swt. dan memakmurkan bumi, tidak bisa tidak jika tanpa ilmu pengetahuan. Begitu pentingnya ilmu, hingga Allah berjanji untuk mengangkat derajat orang-orang berilmu, “…Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…” (Al-Qur’an 58: 11)
Bagi Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, keberadaan kata ilmu dalam ayat tersebut tidak bisa lepas dari keteriringan kata iman. Iman yang benar mesti disertai dengan ilmu, sementara ilmu agar menjadi kemaslahatan bagi kemanusiaan, haruslah diiringi dengan keimanan.
Hamka mencontohkan dengan ilmu mengenai atom. Jika keilmuan tersebut diiringi dengan keimanan, maka betapa maslahatnya untuk kemanusiaan. Sebaliknya, jika tanpa iman, dan diarahkan kepada tujuan yang buruk, bisa jadi ilmu tersebut dapat dipergunakan orang untuk memusnahkan sesama manusia, hal tersebut bagi Hamka lantaran jiwanya tidak dikontrol oleh iman kepada Allah.
Selanjutnya, mengingat pentingnya kedudukan ilmu, di antara nasihat populer tentang syarat mencari ilmu, salah satunya dikemukakan oleh Imam Syafii. Setidaknya terdapat enam syarat seseorang dalam mencari ilmu.
“Wahai saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara, yang akan aku terangkan perinciannya, yaitu kecerdasan (dzaka’un), keinginan yang kuat (hirsun), kesungguhan (ijtihadun), biaya (dirhamun), dekat dengan guru (suhbatu ustazin), dan waktu yang panjang (thulu zaman)”. Sementara itu, Bahkan guru Imam Syafi’i, yang bernama Waki’, menambah satu syarat lagi, yaitu menjauhkan diri dari perbuatan maksiat (tarku al-ma’ashi).
Qaul atau perkataan dari Imam Syafii tersebut seringkali menjadi hafalan di pesantren dan sekolah-sekolah Islam lain. Di antara syarah atau penjelasan masing-masing syarat tersebut, saya tertarik untuk menengahkan penjelasan kontemporer yang disampaikan oleh Amin Abdullah, saat beliau memberikan prolog dalam buku biografi intelektual Ahmad Syafii Maarif.
Pertama, kecerdasan (dzaka’un). Bagi Amin Abdullah, dalam upaya belajar apa pun, terlebih dalam mempelajari agama, perlu kecerdasan. “Tingkat intelektualitas yang medioker bukan syarat yang baik untuk belajar agama”. Kedua, memiliki minat yang kuat (hirsun). Untuk mendapat ilmu, terlebih ilmu agama, harus ada panggilan dari dalam dan suatu keinginan yang kuat. “Mentalitas keilmuan yang prima ada di sini”.
Ketiga, biaya (dirhamun). Menariknya, Amin Abdullah menjelaskan syarat ini tidak sempit kepada material, namun juga sebagai jaminan standar mutu ilmu. Sebab kesediaan biaya akan mengantarkan kepada literatur standar serta guru atau dosen yang ahli. Jika demikian maka dalam mempelajari ilmu akan mendapatkan metodologi dan pendekatan yang tepat. Keempat, sungguh-sungguh (ijtihadun). Amin Abdullah memahami syarat ini sebagai perlunya kebebasan/independensi dalam berpendapat (ijtihadun). Beliau juga memahami syarat ini sebagai semangat kritis dalam mencari ilmu. Tidak dibayang-bayangi rasa takut kepada senior (dosen, guru, kyai, ustaz).
Adapun kelima, dekat dengan guru (suhbatu ustazin). Syarat ini dapat berarti berteman dan berguru dengan guru, dosen atau kyai, ustaz yang ahli dalam bidangnya dan luas pandangan hidupnya. Keenam, waktu yang panjang (thulu zaman). Untuk mendapat ilmu, tidak bisa dilakukan dengan cara instan, melainkan diraih dengan kesabaran dan waktu yang lama. “Baca literatur yang banyak; tidak dilakukan secara instan, apalagi selektif, tidak tergesa-gesa, tergopoh-gopoh lewat program atau kursus kilat seperti yang biasa dilakukan pada era sekarang lewat training-training kilat”.
Di samping itu, menariknya, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat (tarku al-ma’ashi), Amin Abdullah memahami syarat ini dalam kaitannya pada konteks akhir-akhir ini, termasuk di dalamnya mencaci-maki orang-orang atau golongan yang tidak sepaham dan sealiran; orang-orang di luar kelompoknya yang mencari ilmu dengan menggunakan metode dan pendekatan lain.
Demikianlah, di antara pentingnya kedudukan dan kewajiban kita dalam mencari ilmu dalam rangka beribadah dan memakmurkan bumi Allah Swt. Semoga penyegaran penafsiran terhadap syarat-syarat mencari ilmu pada masa kini menambah semangat kita untuk mengabdi kepada Allah Swt. dan kemanusiaan sekaligus melalui ilmu. Wallahu A’lam Bi Shawwab.