Oleh: Muchamad Arifin, SAg., MAg, Ketua Lembaga Dakwah Komunitas Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Di tengah geliat kehidupan masyarakat, terutama dalam hajatan atau pesta rakyat, kerap terdengar suara musik menggelegar dari sound system besar—sound horeg, begitu orang menyebutnya. Dentumannya bisa terdengar hingga radius ratusan meter, menyapu gang-gang sempit dan ruang-ruang ibadah, memantul di dinding rumah dan menembus kesunyian malam.
Sebagian orang merasa terhibur. Mereka menari, bernyanyi, atau sekadar menikmati suasana. Memang, hiburan bukanlah hal yang diharamkan dalam Islam. Bahkan Rasulullah ﷺ sendiri pernah memberi ruang pada hiburan yang tidak melanggar batas, selama ia membawa kebaikan dan tidak merusak akhlak. Dalam satu riwayat, beliau tidak melarang dua gadis kecil bernyanyi di rumah Aisyah selama tidak mengandung keburukan.
Namun, mari kita bertanya dengan jujur di kedalaman hati:
Apakah suara yang begitu keras, yang kadang berlangsung hingga larut malam, itu benar-benar membawa manfaat bagi semua?
Apakah itu hanya menyenangkan segelintir orang, tapi menyusahkan banyak yang lain?
Apakah tawa yang dihasilkan sebanding dengan keresahan orang tua yang ingin istirahat, ibu menyusui yang bayinya menangis karena terganggu, atau pelajar yang esok harus mengikuti ujian?
Islam mengajarkan kita menimbang segala sesuatu dengan timbangan maslahat—apakah ia membawa kebaikan, atau justru lebih banyak mudaratnya.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 36)
Dan sabda Nabi ﷺ yang agung: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Malik, Ahmad, dan lainnya).
Dalam pandangan Islam, suara pun punya adab. Bahkan ketika memanggil orang, kita dianjurkan merendahkan suara. Luqman, seorang ayah yang penuh hikmah, berkata kepada anaknya:
“Dan sederhanalah dalam berjalan, serta lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS. Luqman: 19)
Maka, di sinilah pentingnya menimbang, bukan sekadar mengikuti arus. Kita bisa tetap bergembira, bersuka cita, dan saling menyapa dalam pesta, namun dengan penuh hikmah dan rasa. Suara boleh terdengar, tapi tidak harus melukai. Irama boleh berdentum, tapi tidak harus mengusik malam orang lain. Ini bukan tentang membenci musik, tetapi tentang mencintai kedamaian bersama.
Karena pada akhirnya, setiap tindakan akan kembali pada niat dan dampaknya. Dan Islam mengajarkan, bahwa amal yang terbaik adalah yang paling memberi manfaat, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk lingkungan dan sesama.
Mari kita ubah kemeriahan menjadi keberkahan, bukan kegaduhan. Mari kita wujudkan kegembiraan yang tidak mengorbankan ketenangan orang lain. Di sanalah letak kemuliaan seorang muslim: ia hidup membawa rahmat, bukan keributan.