Menepis Kesalahpahaman Makna "Fitnah"
Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mari kita telaah Surah Al-Baqarah ayat 193 yang berbunyi, “Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah dan agama itu semata-mata bagi Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” Ayat yang tampak lugas ini menyimpan kedalaman makna yang sering kali disalahpahami. Untuk menyingkap tabirnya, mari kita bedah lebih lanjut, dimulai dari akar bahasanya dalam Al-Quran.
Menariknya, terdapat ayat serupa dalam Surah kedelapan yang memuat hampir seluruh diksi yang sama, namun dengan tambahan satu kata, yaitu "kullahu" (semuanya), “Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah dan agama menjadi hanya untuk Allah” (QS 8: 39). Penambahan ini memperjelas bahwa tujuan akhir dari perjuangan adalah tegaknya keadilan dan keimanan secara menyeluruh hanya kepada Allah.
Permasalahan tafsir muncul ketika sebagian mufasir klasik memaknai kata "fitnah" dalam ayat ini, yang diterjemahkan sebagai kekacauan dan penindasan, sebagai "syirik" atau perbuatan menyekutukan Allah. Jika penafsiran ini diterima, maka implikasinya adalah umat Islam diperintahkan untuk memerangi siapa pun yang menyembah selain Allah dan terus berperang hingga mereka meninggalkan penyembahan tersebut.
Tentu saja, pemahaman semacam ini bertentangan dengan banyak ayat Al-Qur`an lainnya yang menjunjung tinggi prinsip tidak ada paksaan dalam agama, seperti yang tertuang dalam Surah Al-Baqarah ayat 256. Lebih jauh lagi, Al-Qur`an sendiri melarang umat Islam untuk bersikap agresif. Hanya beberapa ayat sebelum ayat 193, tepatnya pada Surah Al-Baqarah ayat 190, Allah berfirman, “dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Oleh karena itu, menafsirkan Surah Al-Baqarah ayat 193 secara utuh dan selaras dengan ayat-ayat Al-Qur`an lainnya membawa kita pada pemahaman bahwa umat Islam diperintahkan untuk hidup damai dengan sesama. Namun, ketika terjadi penganiayaan, umat Islam memiliki kewajiban untuk membela kaum lemah, tertindas, dan terpinggirkan dari kezaliman. Pembelaan ini dapat mencakup segala cara yang sah untuk mengendalikan penindas, bahkan jika terpaksa harus melibatkan konfrontasi militer sebagai upaya terakhir untuk memukul mundur kezaliman.
Penting untuk ditekankan bahwa orang-orang yang tertindas ini tidak harus beragama Islam. Umat Islam diperintahkan untuk mendukung dan membantu mereka yang dizalimi, tanpa memandang latar belakang keyakinan mereka. Dalam Islam disebutkan bahwa doa orang yang teraniaya akan didengar oleh Allah tanpa penghalang. Oleh karena itu, umat Islam hendaknya peka terhadap seruan mereka dan menjawabnya dengan tindakan nyata. Jadi, ayat ini sama sekali tidak menyerukan peperangan terhadap orang lain hanya karena perbedaan keyakinan.
Sungguh disayangkan, terdapat terjemahan Al-Qur`an yang populer di masa lalu, yang secara eksplisit memasukkan tafsir "fitnah" sebagai penyembahan selain Allah dalam tanda kurung dan deskripsi panjang lainnya. Hal ini berpotensi menyesatkan umat Islam yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab dan konteks ayat, sehingga mereka mengira penafsiran tersebut merupakan makna langsung dari ayat tersebut. Terjemahan yang keliru semacam ini dapat menumbuhkan pemahaman yang menyimpang tentang bagaimana seharusnya umat Islam hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat yang berbeda keyakinan.
Namun, dengan rahmat Allah, kita hadir di sini untuk mencoba menjelaskan kembali ayat-ayat ini dalam konteksnya yang benar. Kita tidak ingin menyajikan gambaran yang salah tentang ajaran Allah, dan kita juga tidak menginginkan agama yang diremehkan. Kita mencari pemahaman agama yang otentik dan murni, sesuai dengan apa yang Allah firmankan. Dalam konteks Surah Al-Baqarah ayat 193, jelas bahwa "fitnah" yang dimaksud adalah penganiayaan.
Lantas, timbul pertanyaan krusial: mengapa para ulama di masa lampau bisa keliru dalam memahami ayat ini? Jawabannya erat kaitannya dengan konteks sosio-politik zaman mereka. Mereka hidup di era ketika kekuasaan Islam mendominasi, dan kekuatan militer kekhalifahan bertugas menjaga wilayah kekuasaan serta menangkis segala ancaman invasi dan serangan terhadap umat Islam. Situasi ini membentuk cara pandang mereka, cenderung menafsirkan ajaran agama dalam kerangka semangat perjuangan dan pertahanan militer.
Namun, penting untuk menelisik lebih dalam makna kata "fitnah" itu sendiri dalam Al-Quran. Sebagai contoh, dalam Surah Al-Buruj ayat 85 disebutkan, “Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan (fitnah) kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan,” kata "fitnah" secara jelas merujuk pada penganiayaan. Mereka adalah pihak yang menindas kaum mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi, "fitnah" memiliki salah satu maknanya sebagai penganiayaan.
Dalam Surah Al-Baqarah sendiri konteks penggunaan kata "fitnah" mengindikasikan adanya kaitan dengan tindakan penganiayaan terhadap kaum lemah dan tertindas. Allah berfirman, “Fitnah itu lebih besar (bahayanya) daripada pembunuhan” (QS 2: 191). Ayat ini menunjukkan bahwa terkadang peperangan menjadi perlu sebagai upaya terakhir untuk membela orang-orang yang teraniaya dan menghentikan fitnah, yaitu penganiayaan yang lebih buruk daripada peperangan itu sendiri.