Meneguhkan Kembali Semangat Tajdid Muhammadiyah

Publish

15 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
166
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Meneguhkan Kembali Semangat Tajdid Muhammadiyah

Oleh: Mohammad Nur Rianto Al Arif, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah/ Ketua PDM Jakarta Timur

Muhammadiyah sejak kelahirannya pada tahun 1912 tidak pernah memposisikan diri sekadar sebagai organisasi keagamaan yang bergerak di wilayah ritual semata. Muhammadiyah lahir sebagai sebuah gerakan pembaruan -tajdid- yang berupaya menjawab tantangan zaman dengan menjadikan Islam sebagai sumber nilai, inspirasi, dan solusi bagi persoalan umat dan bangsa. 

Dalam lintasan sejarah lebih dari satu abad, tajdid telah menjadi denyut nadi Muhammadiyah yaitu membentuk watak gerakan, menentukan arah amal usaha, serta mewarnai corak dakwah dan pemikirannya. Namun, seiring perubahan sosial yang semakin cepat dan kompleks, tantangan tajdid pun kian berat. Karena itu, meneguhkan kembali gerakan tajdid di Muhammadiyah bukan sekadar agenda nostalgia ideologis, melainkan kebutuhan strategis untuk memastikan relevansi dan keberlanjutan peran Muhammadiyah di masa depan.

Tajdid dalam perspektif Muhammadiyah bukanlah konsep abstrak yang berhenti pada wacana. Sejak awal, tajdid diwujudkan dalam tindakan nyata yang sering kali melampaui zamannya. KH Ahmad Dahlan membaca realitas umat yang terbelakang, terjebak dalam takhayul, bid‘ah, dan kemiskinan struktural. Gerakan ini tidak memilih jalan konfrontasi verbal semata, melainkan melakukan transformasi sosial melalui pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Langkah-langkah ini pada masanya dipandang kontroversial, bahkan dicurigai sebagai upaya meniru Barat. Namun justru di situlah letak tajdid Muhammadiyah yaitu keberanian melakukan ijtihad sosial demi kemaslahatan umat.

Dalam konteks ini, tajdid tidak identik dengan pembaruan teologis semata, tetapi mencakup pembaruan cara berpikir, cara berorganisasi, dan cara beramal. Tajdid menjadi spirit yang mendorong Muhammadiyah untuk selalu bertanya apakah praktik keagamaan dan sosial yang dijalankan masih relevan dengan tuntutan zaman? Apakah amal usaha yang dikembangkan benar-benar menjawab kebutuhan umat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjaga Muhammadiyah tetap hidup dan dinamis.

Secara klasik, tajdid Muhammadiyah sering dipahami melalui dua dimensi utama yaitu purifikasi dan dinamisasi. Purifikasi merujuk pada upaya pemurnian akidah dan ibadah dari praktik-praktik yang tidak memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dimensi ini menjadi ciri khas Muhammadiyah yang dikenal tegas dalam soal tauhid dan ibadah. Namun, purifikasi bukanlah tujuan akhir, melainkan fondasi agar umat memiliki orientasi keagamaan yang lurus dan rasional.

Sementara itu, dinamisasi adalah upaya mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam berbagai bidang kehidupan modern. Inilah sisi tajdid yang sering kali menuntut keberanian intelektual dan keluwesan berpikir. Muhammadiyah tidak ragu memasuki wilayah pendidikan modern, ekonomi, kesehatan, hingga isu-isu kebangsaan dan kemanusiaan global. Dinamisasi menjadikan Muhammadiyah tidak terperangkap dalam romantisme masa lalu, tetapi terus bergerak menatap masa depan.

Keseimbangan antara purifikasi dan dinamisasi inilah yang menjadi tantangan abadi. Ketika purifikasi terlalu dominan tanpa diimbangi dinamisasi, Muhammadiyah berisiko menjadi kaku dan eksklusif. Sebaliknya, jika dinamisasi berjalan tanpa fondasi purifikasi yang kuat, gerakan bisa kehilangan identitas ideologisnya. Meneguhkan kembali tajdid berarti merawat keseimbangan kreatif antara keduanya.

Konteks kekinian Muhammadiyah ditandai oleh perubahan sosial yang sangat cepat, terutama akibat revolusi digital, transformasi demografi, dan dinamika politik-ekonomi global. Muhammadiyah kini berhadapan dengan generasi muda yang lahir dan tumbuh dalam ekosistem digital, memiliki pola pikir yang lebih cair, kritis, dan terkadang skeptis terhadap otoritas formal, termasuk otoritas keagamaan. Di sinilah tajdid menemukan relevansi aktualnya yaitu bagaimana Muhammadiyah mampu berbicara dengan bahasa zaman tanpa kehilangan kedalaman nilai.

Di ruang digital, dakwah tidak lagi berlangsung secara linier dan hierarkis. Media sosial memungkinkan setiap orang menjadi produsen sekaligus konsumen wacana keagamaan. Tantangan tajdid Muhammadiyah adalah menghadirkan dakwah yang mencerahkan, beradab, dan berbasis ilmu di tengah banjir informasi yang sering kali simplistik dan provokatif. Penguatan literasi digital, etika bermedia, serta pengembangan konten dakwah kreatif menjadi bagian tak terpisahkan dari agenda tajdid hari ini.

Selain itu, Muhammadiyah juga berada dalam konteks Indonesia yang tengah mengalami transisi politik dan ekonomi. Ketimpangan sosial, kemiskinan struktural, serta problem akses pendidikan dan kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Tajdid Muhammadiyah dituntut tidak hanya bersuara normatif, tetapi juga menghadirkan solusi konkret melalui kebijakan sosial, advokasi publik, dan penguatan masyarakat sipil. Dalam hal ini, tajdid bermakna keberanian untuk masuk ke wilayah-wilayah strategis kebangsaan dengan tetap menjaga independensi dan integritas moral.

Dalam situasi seperti ini, tajdid Muhammadiyah dituntut untuk naik kelas. Tajdid tidak cukup dimaknai sebagai pembaruan dalam hal-hal internal organisasi, tetapi harus menjelma menjadi gagasan besar yang mampu memberi arah bagi umat dan bangsa. Muhammadiyah perlu hadir sebagai kekuatan moral dan intelektual yang menawarkan solusi berbasis nilai Islam berkemajuan.

Tantangan lainnya adalah kecenderungan rutinisasi amal usaha. Sekolah, rumah sakit, dan perguruan tinggi Muhammadiyah telah berkembang pesat, tetapi tidak jarang terjebak dalam logika birokratis dan pasar. Jika tidak disertai spirit tajdid, amal usaha berisiko kehilangan ruh dakwah dan pembaruannya. Meneguhkan kembali tajdid berarti mengembalikan amal usaha sebagai instrumen transformasi sosial, bukan sekadar entitas layanan.

Salah satu medan penting tajdid adalah pemikiran keislaman. Muhammadiyah memiliki tradisi tarjih dan ijtihad yang relatif mapan melalui Majelis Tarjih dan Tajdid. Namun, tantangan ke depan menuntut pengembangan metodologi ijtihad yang lebih kontekstual dan interdisipliner. Persoalan-persoalan kontemporer seperti ekonomi digital, bioetika, kecerdasan buatan, perubahan iklim, dan keadilan gender memerlukan pendekatan yang melampaui fiqh klasik.

Tajdid pemikiran keislaman juga berarti membuka ruang dialog yang sehat di internal Muhammadiyah. Perbedaan pandangan bukan ancaman, melainkan energi intelektual jika dikelola dengan etika ilmiah. Dalam tradisi tajdid, kritik dan otokritik adalah keniscayaan. Muhammadiyah perlu terus menumbuhkan iklim berpikir terbuka, rasional, dan berorientasi pada kemaslahatan.

Sejak awal, Muhammadiyah tidak memisahkan diri dari persoalan kebangsaan. Tajdid diwujudkan dalam kontribusi nyata bagi pembangunan manusia Indonesia. Di tengah tantangan demokrasi, polarisasi politik, dan krisis kepercayaan publik, Muhammadiyah dituntut memainkan peran sebagai penyejuk dan penuntun moral. Tajdid gerakan sosial berarti keberanian mengambil posisi kritis namun konstruktif terhadap kebijakan publik yang tidak berpihak pada keadilan sosial.

Di bidang ekonomi, tajdid meniscayakan keberpihakan pada ekonomi berkeadilan dan pemberdayaan umat. Muhammadiyah tidak cukup hanya mengelola amal usaha besar, tetapi juga perlu mengembangkan model ekonomi sosial yang inklusif, berbasis komunitas, dan berkelanjutan. Di sinilah nilai-nilai Islam berkemajuan menemukan relevansinya.

Secara internal, Muhammadiyah menghadapi tantangan regenerasi. Perubahan generasi membawa pergeseran nilai, gaya komunikasi, dan ekspektasi terhadap organisasi. Tajdid kaderisasi menjadi agenda mendesak agar Muhammadiyah tidak terjebak pada pola lama yang kurang relevan bagi generasi baru. Kader muda Muhammadiyah perlu diberi ruang untuk berkreasi, berinovasi, dan berperan strategis, tanpa harus tercerabut dari nilai-nilai dasar persyarikatan.

Gerakan tajdid tidak akan berumur panjang tanpa kader yang memiliki visi pembaruan. Kaderisasi Muhammadiyah perlu terus diperbarui agar mampu melahirkan pemimpin yang berintegritas, berwawasan luas, dan adaptif terhadap perubahan. Tajdid kaderisasi berarti mengintegrasikan penguatan ideologi, kapasitas intelektual, dan kepekaan sosial.

Budaya organisasi Muhammadiyah juga perlu terus diperbarui. Profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas harus berjalan seiring dengan semangat keikhlasan dan kolektivitas. Tajdid dalam konteks ini berarti melakukan pembenahan tata kelola organisasi agar lebih adaptif, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan warga. Dengan demikian, Muhammadiyah tidak hanya besar secara struktur, tetapi juga kuat secara kultur.

Kepemimpinan dalam Muhammadiyah juga dituntut untuk menjadi teladan tajdid. Pemimpin bukan hanya administrator organisasi, tetapi penggerak gagasan dan inspirator perubahan. Dalam konteks ini, tajdid menuntut keberanian mengambil keputusan strategis yang mungkin tidak populer, tetapi diperlukan demi kemajuan jangka panjang.

Narasi Islam Berkemajuan yang menjadi identitas Muhammadiyah kontemporer sesungguhnya adalah artikulasi mutakhir dari semangat tajdid. Islam Berkemajuan menegaskan bahwa Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, kemanusiaan, dan kemodernan. Dalam konteks kekinian, tajdid menuntut Muhammadiyah untuk terus memproduksi gagasan-gagasan strategis yang relevan dengan isu global, seperti perdamaian dunia, keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan dialog antarperadaban.

Meneguhkan kembali gerakan tajdid di Muhammadiyah pada akhirnya adalah upaya menyiapkan masa depan persyarikatan. Tajdid bukanlah beban sejarah, melainkan modal strategis. Dengan tajdid, Muhammadiyah memiliki kemampuan untuk terus memperbarui diri, membaca tanda-tanda zaman, dan meresponsnya dengan cerdas dan bermartabat.

Jika tajdid benar-benar dijadikan sebagai kesadaran kolektif dan agenda berkelanjutan, Muhammadiyah akan tetap menjadi kekuatan moral, intelektual, dan sosial yang diperhitungkan. Di tengah dunia yang kian kompleks dan penuh ketidakpastian, Muhammadiyah dengan spirit tajdidnya diharapkan dapat terus menyinari jalan umat dan bangsa menuju peradaban yang lebih adil, beradab, dan berkemajuan.

Peneguhan kembali gerakan tajdid di Muhammadiyah bukan hanya tugas elit pimpinan atau majelis tertentu. Tajdid harus menjadi etos kolektif yang meresap ke seluruh lapisan persyarikatan. Setiap warga Muhammadiyah, di manapun berada, perlu menumbuhkan kesadaran bahwa menjadi bagian dari Muhammadiyah berarti siap untuk terus belajar, berubah, dan memperbaiki diri.

Tajdid bukan proyek sesaat, melainkan proses berkelanjutan. Ia menuntut kesabaran, ketekunan, dan keberanian moral. Dalam dunia yang terus berubah, Muhammadiyah hanya akan tetap relevan jika setia pada jati dirinya sebagai gerakan Islam berkemajuan yaitu gerakan tajdid yang memadukan kemurnian iman, keluasan ilmu, dan keberpihakan pada kemanusiaan.

Meneguhkan kembali gerakan tajdid berarti menghidupkan kembali semangat awal pendirian Muhammadiyah, bukan dengan cara meniru masa lalu secara literal, tetapi dengan menangkap ruh pembaruannya. Dengan tajdid yang terus menyala, Muhammadiyah diharapkan mampu menjawab tantangan zaman sekaligus menunaikan amanat sejarahnya yaitu menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Karakteristik Ayat-ayat Puasa (4): Ramadhan Menumbuhkan Budaya Suka Berbagi Oleh Ust. M. Rifqi Rosy....

Suara Muhammadiyah

28 March 2024

Wawasan

Ngurus Muhammadiyah Jangan Asal-asalan Oleh: Iu Rusliana: Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah ....

Suara Muhammadiyah

2 October 2024

Wawasan

Memahami Al-Qur`an dan Kitab Suci Lainnya Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universit....

Suara Muhammadiyah

3 April 2024

Wawasan

Cultural Shock Gen Z dalam Menghadapi Dunia Kerja  Oleh: Dr. Amalia Irfani, M.Si, Dosen IAIN P....

Suara Muhammadiyah

11 December 2024

Wawasan

Jangan Tertipu oleh Perasaan Sendiri Oleh: Suko Wahyudi/PRM Timuran Yogyakarta  Sering kali m....

Suara Muhammadiyah

11 April 2025