Memahami Gelombang Baru Gerakan Keagamaan di Indonesia

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
690
Pengajian Ramadan 1445 H

Pengajian Ramadan 1445 H

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - New Religious Movements (NRMs), sebuah gelombang baru gerakan keagamaan telah mengubah lanskap perilaku masyarakat kita, khususnya kaula muda yang hidupnya lebih banyak dipengaruhi oleh teknologi informasi ketimbang kontak sosial secara langsung.  Istilah Gerakan Keagamaan Baru atau NRMs pada tingkat permukaan adalah bentuk terminologi untuk menggambarkan sejumlah besar kelompok atau organisasi keagamaan di sebuah wilayah atau negara. Gerakan ini seringkali menentang pemahaman yang telah mapan tentang apa yang didefinisikan sebagai agama. Kelompok ini juga memiliki keragaman dalam praktik dan struktur kepercayaan seperti halnya agama-agama yang sudah mapan, namun NRMs tidak menerapkan istilah umum sebagaimana agama-agama atau organisasi agama yang sudah mapan itu. 

Zuly Qodir mengatakan bahwa fenomena ini sudah ada sejak tahun 1960-an dan terus berkembang hingga tahun 2000 dengan corak beragama yang betul-betul baru. Hal tersebut tercapture dari paham keagamaan generasi baru yang tak jarang berada di luar pemahaman yang sudah diyakini dan praktikkan secara umum oleh masyarakat. Bukan paham keagamaan lama yang mereka anut, tapi paham keagamaan baru yang ditafsirkan atau diartikulasikan secara berbeda. 

“Saat ini, kita menghadapi era yang agak berbeda dengan fenomena keagamaan yang terjadi pada era tahun 1940-an,” ujar Dosen Sosiologi Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut (14/3). 

Meski memiliki tafsiran yang berbeda dengan generasi sebelumnya, sisi positif dari gerakan ini adalah daya kritis yang tak dimiliki oleh mereka yang cenderung berpaham keagamaan secara mapan. Mereka berani mempertanyakan hal-hal yang bersifat teknis hingga prinsip tentang agama. Hingga tak jarang mereka yang kurang memahami fenomena baru beragama semacam ini menjustifikasi gerakan ini terkesan terlalu nggampangke (memudahkan).  

“Maka jangan heran jika anak dari bapak-bapak dan ibu-ibu itu agak kurang taat dalam beribadah. Mereka kritis dan suka mempertanyakan. Mereka sholat tapi cepat,” ungkap Zuly yang disambut tawa oleh sebagian peserta Pengajian Ramadan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 

Hal ini tidak hanya terjadi kepada kader muda di Muhammadiyah, namun juga menjangkit seluruh kader di berbagai ormas keagamaan seperti NU, Persis, dan lain sebagainya. Menurutnya kondisi dan situasi ini setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor penting. Pertama, orientasi keagamaan menjadi rapuh dari personal dan institusi resmi karena berlimpahnya informasi untuk dikonsumsi. Kedua, kemunculan nabi baru berupa media sosial yang secara mudah dan masif menyebarkan konten-konten yang tidak terkurasi. Ketiga, tidak terlalu ketat dengan dogma atau norma sosial keagamaan. 

Di saat yang sama Sekretaris Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Muttaqin menegaskan, tengah terjadi paradoks dalam fenomena beragama yang bermuara pada keberlanjutan peran agama di masa depan. Ia menilai bahwa praktik beragama masyarakat kita masih sebatas heaving religius, belum sampai kepada being religius. 

Heaving religius mencakup identifikasi diri dengan suatu agama tertentu. Ini bisa meliputi keikutsertaan dalam ritual, mematuhi aturan keagamaan, atau bahkan hanya mengenakan simbol-simbol keagamaan. Namun, fenomena ini semakin kurang relevan dalam masyarakat yang semakin sekuler dan pluralis. Banyak individu mengalami pergolakan batin dalam mencari makna yang lebih dalam dari sekadar identifikasi keagamaan. 

Di sisi lain, being religius menyoroti pengalaman pribadi dan praktik spiritual yang mencerminkan nilai-nilai inti dari agama tertentu atau spiritualitas universal. Ini melibatkan kesadaran diri yang mendalam, pertumbuhan pribadi, dan koneksi dengan sesama manusia dan alam semesta. Dalam konteks modern, being religius mencerminkan adaptasi yang dibutuhkan terhadap kompleksitas dunia saat ini, di mana individualisme, teknologi, dan perubahan sosial merajalela. 

Hal ini menunjukkan bahwa konsep beragama yang seharusnya berupa pengabdian secara penuh kepada Tuhan, bergeser menjadi hal-hal yang bersifat transaksional. Pengaruh keagaamaan tidak lagi ditransformasikan, tapi ditransaksikan. Realita ini dapat dijumpai pada kelompok beragama baru yang berada pada kelas ekonomi menengah ke atas. Pada kelompok ini agama terasa sangat transaksional.  

“Saat ini, beragama cenderung dimaknai hanya sebagai konsumsi. Implikasinya, logika yang digunakan sebatas untung rugi,” ujarnya. 

Oleh karena itu ia mendorong agar praktik-praktik beragama warga Muhammadiyah tidak sebatas skriptualis, yaitu individu atau kelompok yang berpegang hanya pada pandangan yang sangat literal atau harfiah terhadap teks-teks suci. Namun beragama yang terus bertumbuh secara kualitas serta berdampak kepada masyarakat dan kehidupan secara langsung. (diko


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

MUI Mengajak Solidaritas dan Dukungan YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Krisis kemanusiaan yang luar....

Suara Muhammadiyah

15 September 2023

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Majelis Dikdasmen dan Pendidikan Non Formal Pimpinan Pusat Muhammadiya....

Suara Muhammadiyah

2 November 2023

Berita

KLATEN, Suara Muhammadiyah – Sebanyak 135 mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Fakultas Agama Is....

Suara Muhammadiyah

21 February 2024

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Milad Muhammadiyah ke-111 yang jatuh pada Sabtu (18/11) mendatang, ....

Suara Muhammadiyah

17 November 2023

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Universitas Muhammadiyah Prof.Dr Hamka ( UHAMKA) Menjadi salah s....

Suara Muhammadiyah

28 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah