Manusia Komunis
Oleh: Saidun Derani, Dosen Pascasarjana UM-Sby, UM-Tangerang, dan UIN Syahid Jakarta, Aktivis di PWM Banten 2022-2027
Setiap bulan September datang bagi bangsa Indonesia selalu diingatkan tentang peristiwa bersejarah terkait dengan G 30 September. Kejadian ini sangat memilukan bagi rakyat Indonesia karena masalah itu sangat membekas dan menimbulkan konflik yang berdarah-darah antara sesama anak bangsa sampai sekarang
Gerakan 30 September 1965 diduga kuat adalah sebuah upaya kelompok masyarakat Indonesia tertentu yang diindentifikasi sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kudeta terhadap pemerintah yang syah. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan Kolonel Untung Resimen Cakrabirawa yang mengumumkan bahwa Pemerintahan Indonesia sekarang menjadi domisioner di bawah kendali “Kabinet Revolusioner”.
Akan tetapi sudah lah ibarat nasi sudah menjadi bubur. Biarlah hal itu menjadi perdebatan kalangan akademisi dengan berbagai teorinya. Ada yang menyebutkan PKI adalah korban, dan sebaliknya sebagian besar rakyat terutama yang menjadi korban kekejaman PKI menyebutnya justru PKI sebagai inisiator dan eksekutornya. Tentulah pengadilan Akhirat yang menjadi kebenaran hakiki, siapa biang kerok kekisruhan bangsa ini dan siapa yang sebaliknya.
Tulisan kali ini hanya fokus ingin menerangkan beberapa karateristik manusia komunis yang diketahui dari berbagai sumber tertulis dan lisan. Harapannya adalah diharapkan kejadian ini tidak terulang lagi dan menjadi peringatan bagi pemimpin bangsa (agamawan, politisi, birokrat, akademisi, penguasaha, yudikatif, TNI, Polri, dan anak bangsa pada umumnya) untuk mendekteksi sejak awal indikator yang dimaksud di tengah masyarakat.
Demikianlah, banyak hal yang dapat diambil pembaca untuk dijadikan pembelajaran semacam “Ibrah” kehidupan masa depannya, baik orang perseorangan maupun dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara membaca lembaran sejarah bangsa Indonesia sejak awal berdiri menjadi sebuah kekuatan sosial-politik (Nations State) sampai sekarang yang ditulis anak bangsa dan orang asing.
Kata Ibrah mengandung makna menyebrang seperti sebuah sampan menyebrang dari satu tepi sungai ke tepi sungai lainnya. Sedangkan i’tibar artinya mengambil ibrah. Jadi makna i’tibar adalah seseorang yang menyebrang dari apa yang disebutkan kepada apa yang tidak disebutkan. Maksudnya adalah menjadikan sebuah peristiwa yang dialami orang lain sebagai pembelajaran bagi dirinya. Dengan demikian timbul kesadaran diri bahwa bisa saja dirinya terkena musibah yang mirip dan atau hampir sama dengan yang dialami orang lain itu.
Sedangkan makna karakter adalah sifat-sifat kejiwaan atau bisa dikatakan juga dengan ciri-ciri khas tertentu dari perwatakan seoarang atau kelompok orang dan atau akhlak, budi pekerti yang dapat membuat seseorang terlihat berbeda dari orang lain. Lalu bagaimana falsafah dasar yang menjadi ciri khas pegangan hidup orang-orang komunis yang kemudian menjadi karakter dan ciri khas orang-orang komunis dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Umat Islam Harus Menulis
Membaca buku karya Anab Afifi dan Thowaf Zuharon dengan judul “Banjir Darah: Kisah Nyata Aksi Partai Komunis (PKI) terhadap Kiai, Santri, dan Kaum Muslimin” terbitan Istanbul Berilmu Sebelum Beramal, Jakarta, Dzulhijjah 1141 H/Agsustus 2020, dengan tebal 415 + XX halaman membuat jiwa terhenyak dan sedih dengan duka mendalam.
Buku ini ini diberi kata sambutan Prof. Achmad Manshur Suryanegara, Guru Besar Sejarah Universitas Pajajaran Bandung (Unpad), drh. Taufiq Ismail, mantan Dosen IPB, sastrawan dan budayawan Senior, Dahlan Iskan, Mantan Menteri BUMN dan Wartawan Senior, dan Habiburahman El Shirazy, Budayawan dan Sastrawan Asia Tenggara.
Selain itu ada sebuah karya berdasarkan sumber lisan dengan tema yang menyengat berjudul “Benturan NU dan PKI Tahun 1948-1965” terbitan Langgar Swadaya Nusantara, Depok, Desember 2013 dengan tebal 239 + xvi halaman. Buku ini ditulis sebuah Dewan Peneliti dengan penanggung jawab Dr. KH. As’ad Ali, dinarasikan Abdul Mun’im DZ yang prolognya disampaikan ulama kharismatik KH. MA. Sahal Mahfudh sedangkan Epilognya ditulis Intelektual NU Dr. KH. As’ad Ali.
Buku ini lebih spesifik (tekanannya) menjelaskan rangkaian peristiwa, bagaimana PKI melakukan propaganda, memprovokasi, meneror dan menyerang NU (umat Islam) dan Pesantren (tempat-ibadah umat Islam) serta aparat pemerintah dan TNI. Buku ini juga memberikan informasi yang sangat berharga tentang carut marut Bangsa Indonesia pasca menyatakan kemerdekaan 17 Ramadhan/17 Agustus tahun 1945, yang “luka-luka” itu tidak ditemukan kisahnya di buku-buku resmi terbitan pemerintah.
Digambarkan pula bagaimana NU dan pondok pesantren mempertahankan diri, menyerang balik dan menangkap mereka yang bersalah dengan menyerahkan kepada aparat keamanan, baik polisi dan TNI maupun kejaksaan sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku. Masalah di lapangan tentu ada saja ekses karena dalam posisi perang atau bentrok massal atau pertarungan satu lawan satu tentu ada yang meninggal dunia.
Kedua buku di atas sangat menarik karena ditulis kalangan Islam yang sangat dirugikan terkait informasi serta perjalanan yang nakal dari orang-orang komunis Indonesia yang selalu ingin mengkudeta pemerintah Indonesia yang syah. Persoalannya adalah karena ideologi Indonesia menganut falsafah Pancasila. Substansi Pancasila adalah ajaran Islam.
Mengapa demikian, coba perhatikan kisah Saudara Mun’im DZ bahwa ketika Anton Lucas menulis “Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi dalam Revolusi” sengaja mengabaikan adanya kekuatan Ummat Islam (NU) dan para kiai di daerah tersebut. Fakta lapangan Gerakan sosial di daerah itu riilnya adalah gerakan dan peran para kiai/ulama. Cara pandang kaum orientalis sebagai anak kandung kolonialisme ini memang disengaja menyembunyikan hal-hal yang berbau Islam dan membahayakan kepentingan kolonial.
Sepakat dengan tulisan di atas, ketika saya menulis salah satu tokoh ulama Guru Manshur (w.1967) peran dan kontribusi ulama Betawi sama sekali tidak disebutkan penulis Belanda Robert Bridson Cribb (1990), “Jakarta in the Indonesian Revolution 1945-1949” dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI dari kejahatan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia melalui NICA dan membantu orang-orang komunis memberontak terhadap pemerintah RI yang syah di bawah kepemimpinan Soekarno dan Hatta.
Begitu juga buku dengan judul “Sejarah Revolusi Fisik di Daerah DKI Jakarta” ditulis sebuah team terdiri dari G.A. Warmansyah sebagai penanggung Jawab, dengan anggota Drs. Sudiyo, Drs. Alwi Djamaluddin, dan Drs. Herman Djana yang dieditor oleh Sutrino Kutoyo, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Tahun 1979/1980, tak menyinggung sama sekali keterlibatan Ulama Betawi dalam mempertahankan NKRI di Daerah Jakarta sekitarnya.
Hal yang sama tidak penulis temukan dalam buku Babon Sejarah Nasional Indonesia (SNI) 6 jilid kisah para ulama bersama santri berjuang berkuah air mata dan darah dalam memerdekan bangsa Indonesia dari belenggu penjajah dan mempertahankan kedaulatan NKRI tahun 1945-1949 ketika kembali ingin menjajah Indonesia.
Jadi memang benar lah apa yang dikatakan Panglima Meliter Brawijaya kalau umat harus menulis sejarahnya sendiri dan tak bisa diharapkan dari kelompok sekuler dan Indonesianis asing apalagi Belanda untuk mengisahkannya. Inilah pelajaran yang mahal harus diterima dan dikunyah umat Islam Indonesia.
Karakateristik Manusia Komunis
Karakter manusia komunis yang paling menonjol dan menjadi pakaian sehari-hari mereka adalah tukang berbohong, bengis dan kejam, mengadu domba, dan terakhir sangat benci yang bersaifat Akhirat.
Karakteristik tukang bohong ini di kalangan manusia komunis karena mereka tidak terikat dengan hukum Akhirat dan sebab itu yang terpenting tercapai apa yang menjadi keinginannya di dunia. Karena tidak ada yang ditakuti maka berbuat sekehendaknya orang- orang komunis di dunia tanpa beban merasa bersalah dan menjadi bagian dari way of life mereka bebulek (ngibul) tersebut.
Kasus dalam Sejarah Indonesia adalah dikisahkan bagaimana mereka berbohong kepada kalangan Banser tahun 1960-an bahwa mereka diundang kyai pondok tertentu untuk mengadakan acara tahlilan. Lalu sekelompok Banser sebanyak 36 orang di tengah jalan diracun kalangan wanita komunis makanannya. Pada hal tidak ada yang mengundang para Banser ini untuk ikut mengadakan acara tahlilan. Ini satu contoh dan dalam kedua buku itu banyak contoh kejahatan kebohongan dilakukan manusia komunis.
Bengis dan kejam juga terlihat menjadi pakaian mereka sehari-hari. Contoh kasus ini terjadi di Pondok Moderen Gontor Ponorogo ketika manusia komunis mencari Kyai Sahal karena santri sudah diungsikan dan tidak ketemu (pada hal kyai ada di depan mereka tapi tak kelihatan). Mereka membakar dan menginjak Alquran lalu membakar pondoknya.
Dikisahkan Amelia binti Ahmad Yani (Jenderal Anumerta) bagaimana kekejaman dan kebengisan manusia komunis ini terlihat ketika mereka mencungkil mata dan memotong kepala para jenderal tersebut. Masalah ini diceritakan Ibu Amelia Ahmad Yani dalam sebuah kesempatan wawancara.
Bukti lain dikisahkan kedua buku di atas bahwa manusia komunis di Tegal-Brebes memerintahkan elite Tegal-Brebes (masih keluarga Ibu RAA. Kartini) disuruh berjalan sepanjang jalan tanpa busana dan hampir tiap hari banjir darah di sana. Baru berhenti kekejaman dan kebengisan itu setelah datang TNI dari Devisi Siliwangi dari Jawa Barat.
Ada juga diceritakan bagaimana manusia komunis menangkap rakyat sebuah desa apakah laki-laki atau perempuan kemudian mereka dipancung ditusuk kayak menyate daging dan ditancap di panggir jalan dan sawah.
Karakteristik ketiga manusia komunis ini terlihat bagaimana prilakunya sehari-hari pra peristiwa G 30 S PKI tahun 1965 melakukan adu domba antara internal elite meliter dengan Soekarno dan umat Islam dengan pemerintah. Baca tulisan Pramoedia Anantatoer di Media Massa yang berapiliasai dengan PKI menyerang Buya Hamka sebagai plagiator.
Adu domba yang terus menerus inilah yang menyebabkan Ir. Soekarno duduk pada posisi yang salah sehingga terjadilah peristiwa berdarah di Lubang Buaya Jakarta Timur sekarang ini.
Terkhir penulis ingin mengemukakan bagaimana perdebatan Natsir dan kawan-kawan dari Masyumi di Parlemen melawan manusia yang tidak mengakui adannya Pancasila ini dipimpin Dipa Nusantara Aidit (DN Aidit yang masa kecilnya adalah tukang azan di masjid di Belitung Timur. Akan tetapi karena salah gaul dan asupan bacaan kiri beliau jadilah pentolan komunis Indonesia). Bagi mereka yang eksis itu adalah dunia dan sebab itu ketika meninggal selesai segala urusan. Segala cara halal dilakukan untuk mencapai tujuan karena ketika manusia meninggal selesailah urusannya.
Pembelajaran
Peristiwa Sejarah ditulis sebenarnya selain hiburan dapat menjadi pembelajaran (Ibrah) sehingga jangan sampai terulang kembali kejadiannya. Dalam konteks inilah mengapa Nabi Muahmmad Saw mengingatkan ummatnya jangan jatuh dua kali pada batu yang sama.
Bulan September kembali bangsa Indonesia diingatkan untuk berhati-hati dengan Komunis Gaya Baru yang mulai eksis sebagaimana yang sering disampaikan Gubes UI dan Dr. Alfian Tandjung serta masukan Petinggi TNI kepada para Ulama yang dapat menyengsarakan rakyat Indonesia.
Allah ‘alam bi as-Shawab