BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Dalam momen puncak Milad ke-113 Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Bandung, Selasa (18/11), Suara Muhammadiyah meluncurkan batik terbaru, yakni Batik 1 Abad Muhammadiyah Minang.
Peluncuran batik ini dilakukan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas, yang disaksikan Direktur Utama PT Syarikat Cahaya Media / Suara Muhammadiyah Deni Asy’ari, dan ratusan peserta Milad.
Anwar mengapresiasi khusus atas diluncurkannya batik tersebut. “Kita harapkan Muhammadiyah di Minangkabau setelah diluncurkan batik ini lebih hebat lagi,” ucapnya.
Di sisi lain, Deni menyebut, batik ini bukan sekadar asesoris, tetapi simbol perjalanan sejarah. Menurutnya, Muhammadiyah masuk pertama kali di Ranah Minang tahun 1925 yang dibawa oleh Ahmad Rasyid Sutan Mansur—Ketua PP Muhammadiyah periode 1956-1959.
“Waktu itu, beliau merantau ke Pekalongan, Jawa Tengah yang berbisnis batik. Dan banyak orang-orang Minang waktu itu dibawa ke Pekalongan semuanya berbisnis batik. Apalagi setelah beliau menjadi mantunya Abdul Karim Amrullah, ayahnya Buya Hamka,” bebernya.
Bisnis batik itu bernama Nurul Islam. Atas bisnis batik itulah kemudian, spektrum penyebaran Muhammadiyah semakin masif di Ranah Minang. “Tadinya hanya di daerah Agam, Maninjau, pertama kali masuk (Muhammadiyah, red),” terangnya.
Berjalannya waktu, Muhammadiyah menyebar dipelbagai daerah, semuanya nyaris dilakukan lewat perdagangan. “Dagangnya adalah batik pada saat itu. Jadi batik perkembangannya bukan dari Jawa, tapi melalui Sumatera Barat, ujarnya.

Berangkat dari situ, Deni melihat denyut nadi perkembangan Muhammadiyah masuk ke Ranah Minang dilakukan melalui koridor perdagangan batik. Di situlah titik temu peluncuran batik ini.
“Saya ingin menghidupkan memori kolektif kita, bahwa batik menjadi sarana dakwah pada saat itu. Maka saya hadirkan Batik 1 Abad Muhammadiyah Minang,” sambungnya.
Secara filosofi, batik ini ini merepresentasikan corak warna Ranah Minang. Yang memuat tiga warna elementer, merah, hitam, dan kuning. “Itu semangat menyala, semangat menantang. Orang Minang tidak boleh mundur, apalagi Muhammadiyahnya, harus maju,” tegasnya.
Selain itu, motif gambar Rangkiang atau lumbung padi, bermakna kesejahteraan, dan gambar tarian bermakna dinamis, kerja keras dan keharmonisan. “Kita berharap batik itu menginspirasi seperti Muhammadiyah awal, yang selalu dinamis dan bergerak,” imbuhnya.
Di samping itu, peluncuran batik ini sejatinya merupakan manifestasi dari dakwah ekonomi. Bagi Deni, sudah waktunya berdakwah selain di aspek pendidikan dan kesehatan, “Itu sudah cukup,” sebutnya. Justru, saatnya menjalankan gerakan dakwah ekonomi di akar rumput.
“Menjadi kekuatan di Muhammadiyah, sebagaimana awal Muhammadiyah masuk melalui tangan AR Sutan Mansur,” jelasnya. Tentu, tidak hanya sekadar dakwah ekonomi, lebih dari itu, menjadi aktualisasi dari syiar Muhammadiyah.
“Tidak hanya jualan batik, tapi starting point bagaimana menggerakkan ekonomi lokal. Dan belajar dakwah yang dijalankan AR Sutan Mansur bukan dari panggung, tapi dari berdagang,” tuturnya, yang menggarisbawahi masuknya Islam bukan hanya dari masjid, tapi lewat berdagang.
“Kita ingin kembalikan ruh Muhammadiyah di abad kedua bagaimana jalur dagang menjadi jalur pembaruan Islam dan Muhammadiyah di Tanah Air maupun dunia,” tandasnya. (Cris)


