DEPOK, Suara Muhammadiyah — Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri menggelar acara Refleksi 1 Tahun Pasca Pembubaran Jamaah Islamiyah di Hotel Bumi Wiyata, Depok, pada Senin (30/6). Acara ini dihadiri sejumlah tokoh penting, termasuk Kepala BNPT RI, perwakilan Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, serta para pejabat terkait. Hadir pula utusan eks Jamaah Islamiyah dari berbagai wilayah di Indonesia.
Acara semakin hidup saat Muchamad Arifin, Ketua Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengawali sambutannya dengan yel-yel penuh semangat:
“NKRI harga mati! Pancasila dasar negara! Indonesia jaya sejahtera!”
Yel-yel tersebut disambut antusias oleh para peserta dan menjadikan suasana ruangan lebih hidup dan hangat.
Tidak hanya itu, Arifin juga menyelipkan beberapa bait pantun yang mengiringi pidatonya, menambah kesan santai dan komunikatif dalam menyampaikan pesan kebangsaan:
Mentari pagi sinarnya cerah,
Angin sejuk menyapu semesta.
Densus 88 tegakkan amanah,
Untuk Indonesia yang damai sentosa.
Burung merpati terbang di awan,
Melambai indah tanda harapan.
Intoleransi kita lawan,
Radikalisme tak diberi ruang kehidupan.
Menanam padi di sawah nan luas,
Panennya makmur membawa berkat.
Mari bersama rawat Indonesia yang bebas,
Dari paham sesat yang merusak umat.
Dalam pidatonya, Arifin menyampaikan pesan penting kepada para peserta yang merupakan eks anggota Jamaah Islamiyah agar senantiasa mengedepankan nilai-nilai toleransi dalam hidup berbangsa dan bernegara, utamanya di tengah keberagaman Indonesia.
“Dalam hidup di tengah keberagaman, kita harus saling mengenal, saling menghargai, saling menghormati, namun tidak saling mengikuti,” ungkapnya sambil mengutip Surat Al-Hujurat ayat 13 sebagai dasar pijakan penting dalam membangun hubungan antarmanusia.
Ia juga menambahkan bahwa semangat toleransi telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, sebagaimana dalam firman Allah:
“Lakum diinukum wa liya diin” (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku) — (QS. Al-Kafirun: 6)
Ayat ini menunjukkan sikap saling menghormati perbedaan keyakinan, tanpa adanya paksaan dalam beragama, sebagai wujud dari prinsip moderasi beragama.
Ia menegaskan bahwa konsep Islam wasathiyah (Islam moderat) adalah prinsip yang paling tepat dalam mengamalkan ajaran Islam di tengah kemajemukan seperti di Indonesia. Prinsip ini menolak ekstremisme dan kekerasan, serta mendorong sikap seimbang dan adil dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Lebih jauh, Muchamad Arifin menyampaikan kepada para pejabat negara yang hadir bahwa Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam yang turut berkontribusi besar dalam berdirinya NKRI, memiliki komitmen kuat untuk terus menjaga dan merawat persatuan Indonesia. Ia pun mengajak seluruh eks Jamaah Islamiyah untuk bersama-sama menjaga keutuhan bangsa.
“Muhammadiyah terus berperan aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Melalui LDK, kami mengirim para dai ke daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) untuk mendorong kemajuan dan mengejar ketertinggalan pembangunan di pelosok negeri,” tegasnya.
Acara refleksi ini menjadi bagian dari pendekatan deradikalisasi yang bersifat humanis dan kolaboratif, di mana pemerintah menggandeng elemen masyarakat, tokoh agama, dan para mantan anggota kelompok ekstrem untuk membangun kembali harmoni sosial dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.