SURABAYA, Suara Muhammadiyah — Cahaya pagi itu menyinari Masjid At-Taqwa Pogot Surabaya, menjadi saksi hadirnya dua jiwa yang menemukan jalan pulang kepada fitrah. Dalam suasana yang penuh haru, Giri Maruto Cokro, seorang teknisi elektro spesialis audio, dan Fionia Rosa Regina Larasaty, seorang pengajar kursus Bahasa Inggris, dengan mantap mengikrarkan dua kalimat syahadat, menyatakan keislaman mereka di hadapan ratusan jamaah.
Dua mualaf yang sebelumnya beragama Katolik ini disyahadatkan langsung oleh Ustadz Muchamad Arifin, Ketua Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, didampingi oleh perwakilan dari Muallaf Learning Center (MLC) Muhammadiyah Kota Surabaya, serta petugas dari KUA Kecamatan Kenjeran. Prosesi berlangsung dalam kajian rutin Rabu pagi yang diikuti sekitar 300 jamaah.
Acara dimulai dengan pembukaan dan verifikasi syarat-syarat syahadat oleh Ustadz Bahrun dari KUA Kenjeran. Setelah dinyatakan memenuhi syarat, ikrar dua kalimat syahadat dibimbing oleh Ustadz Muchamad Arifin, diikuti takbir menggema dari jamaah yang hadir. Doa penuh haru kemudian dipanjatkan oleh Ustadz Fuadi Abu Uwais dari MLC Muhammadiyah Surabaya, memohon kepada Allah agar menetapkan keimanan dalam hati kedua mualaf.
Setelah prosesi ikrar, acara dilanjutkan dengan tausiah penguatan aqidah oleh Ustadz Arifin. Beliau mengangkat tema: “Resep Merasakan Lezat dan Manisnya Iman”, yang diambil dari sabda Nabi Muhammad: “Akan merasakan manisnya iman, siapa yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Nabinya.” (HR. Muslim)
Dalam suasana yang tenang, Ustadz Arifin mengajak jamaah untuk tidak hanya mengucapkan iman di lisan, tetapi menghidupkannya dalam hati dan amal. Salah satu momen yang begitu menyentuh adalah ketika beliau meminta seluruh jamaah untuk bersama-sama melafalkan:
“Radhītubillāhi Rabban, wa bil-Islāmi dīnā, wa bi-Muḥammadin Nabiyyan wa Rasūlā.” Aku ridha Allah sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai nabiku dan rasulku.
Tiga pengakuan tersebut kemudian dijelaskan secara mendalam. Pertama, Radhītubillāhi Rabban — Ridha kepada Allah sebagai Tuhan, berarti menerima sepenuhnya ketetapan dan takdir-Nya dengan lapang dada dan keyakinan. “Ridha itu bukan diam tak berdaya, tapi tenang karena percaya bahwa Allah selalu punya rencana terbaik,” ujarnya Rabu 30 Juli 2025.
Kedua, Wa bil-Islāmi dīnā — Ridha Islam sebagai agama, berarti siap hidup dalam aturan yang diturunkan oleh Allah. "Islam bukan beban, melainkan petunjuk dan rahmat yang membimbing umat manusia menuju kehidupan yang seimbang dan damai," katanya.
Ketiga, Wa bi-Muḥammadin Nabiyyan wa Rasūlā — Ridha kepada Nabi Muhammad sebagai utusan Allah artinya menjadikan beliau teladan utama dalam seluruh aspek kehidupan. “Bukan hanya dengan shalawat, tapi juga dengan meneladani akhlak dan sunnah beliau,” tuturnya.
Suasana masjid pun hening. Air mata menetes. Hati bergetar. Bukan hanya karena melihat dua insan kembali kepada Islam, tetapi karena setiap jiwa di ruangan itu seakan turut diajak meneguhkan kembali keimanannya. Pagi itu, Masjid At-Taqwa tidak hanya menjadi tempat kajian, tetapi rumah bagi cahaya yang menuntun menuju ridha dan cinta Ilahi.