Ketika Rasa Sakit Menjadi Guru

Publish

25 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
72
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Ketika Rasa Sakit Menjadi Guru

Oleh: Ratna Arunika, Anggota PWA Jatim

Tidak ada manusia yang kebal terhadap rasa sakit. Ia datang tanpa mengetuk, menyentuh sisi paling rapuh dalam diri kita, dan sering kali menetap lebih lama dari yang kita harapkan. Kita kerap menganggapnya musuh, sesuatu yang harus disingkirkan, ditutupi, atau dipadamkan secepat mungkin. Namun di balik setiap denyut nyeri, ada pesan halus yang mengingatkan bahwa kita hidup, merasa, dan tengah belajar memahami diri sendiri.

Rasa sakit, dalam tubuh, adalah sinyal bahaya. Namun dalam jiwa, ia sering menjadi pintu menuju kesadaran yang lebih tinggi. Ketika kita menyingkap lapisan terdalam pengalaman manusia, rasa sakit menampakkan dirinya sebagai bagian penting dari pertumbuhan, pemaknaan, dan cinta. Ia adalah guru yang hadir dalam keheningan, menawarkan pelajaran tentang batas, kehilangan, keberanian, dan transformasi.

Rasa sakit tidak berdiri sendiri. Ia tidak hanya soal besar-kecilnya luka, tetapi juga siapa yang mengalaminya, di mana, dan dalam konteks apa. Ilmu saraf menunjukkan bahwa ambang nyeri manusia berbeda, ia merupakan hasil pertemuan kompleks antara tubuh, emosi, budaya, serta pengalaman hidup.

Secara biologis, tubuh memiliki bahasanya sendiri. Variasi genetik dan hormonal menentukan sensitivitas seseorang terhadap nyeri. Endorfin, serotonin, dan hormon-hormon lain bekerja sebagai peredam alami. Jalur sinaps di sumsum tulang belakang dan korteks somatosensorik menentukan seberapa kuat sinyal diteruskan ke otak.

Namun jiwa pun ikut bersuara. Kecemasan dapat merendahkan ambang nyeri, membuat luka kecil terasa seperti badai. Sebaliknya, harapan mampu membuat rasa sakit yang sama terasa lebih ringan. Fenomena placebo effect menunjukkan bahwa apa yang kita percayai dapat memodulasi aktivitas saraf secara nyata.

Lingkungan sosial dan budaya juga memberi warna. Ada budaya yang memuliakan kemampuan menahan sakit, sementara yang lain menilai kejujuran dalam mengungkap rasa sakit sebagai bagian esensial dari kemanusiaan. Kehadiran orang yang dicintai menurunkan intensitas nyeri, memicu pelepasan oksitosin yang menghadirkan rasa aman.

Akhirnya, pengalaman hidup turut membentuk persepsi. Atlet terbiasa hidup berdampingan dengan rasa sakit, sementara mereka yang jarang bersentuhan dengan ketidaknyamanan cenderung memiliki ambang yang lebih rendah. Dari kontras ini tampak jelas bahwa tubuh dan pikiran bukan hanya merespon rasa sakit, namun juga belajar, beradaptasi, dan tumbuh karenanya.

Riset neurosains menunjukkan bahwa rasa sakit selalu terikat konteks. Ia bukan fakta tunggal, tetapi pengalaman yang diberi warna oleh pikiran, hati, dan latar pengalaman kita.

Nyeri saat berolahraga terasa ringan karena diiringi tujuan memperoleh kesehatan, pencapaian ataupun kebanggaan. Namun nyeri yang sama, ketika muncul bersama kecemasan atau keputusasaan, dapat terasa berlipat ganda. Otak memberi "warna emosional" pada nyeri melalui kerja sistem limbik dan korteks singulat anterior.

Pada depresi, seseorang kehilangan kemampuan melihat konteks lebih luas dari penderitaan. Ia terserap dalam dirinya sendiri, sehingga hal kecil terasa amat berat. Ketika makna memudar, ketahanan pun ikut melemah.

Ada paradoks yang menyentuh, orang yang hidup dengan makna justru mampu menanggung rasa sakit dengan cara yang lebih utuh. Dalam kehidupan yang bermakna, rasa sakit dan kebahagiaan dapat berdampingan, bahkan saling menguatkan.

Seorang ibu yang melahirkan merasakan nyeri yang nyaris tak tertanggungkan, namun letupan oksitosin dan cinta membuatnya mampu bertahan. Respon kimia dalam otaknya memicu pelepasan opioid endogen yang membantu tubuh mengatasi rasa nyeri. Ia tahu bahwa rasa sakit itu adalah pintu bagi kehidupan baru untuk hal yang dicintainya.

Seorang pendaki gunung merasakan kelelahan yang menyakitkan saat ia menapaki jalan menuju puncak, namun justru di sanalah ia menemukan kepuasan terdalam. Dalam momen-momen ini, rasa sakit bukan sekadar penderitaan, melainkan tanda bahwa ia hidup sepenuh hati.

Makna mengubah segalanya. Viktor Frankl menulis, “Penderitaan berhenti menjadi penderitaan ketika ia menemukan makna.” Secara neurologis, makna mengalihkan aktivitas otak dari wilayah emosional menuju prefrontal cortex, pusat pengambilan keputusan dan penilaian nilai hidup.

Lantas bagaimana dengan nyeri yang ditimbulkan karena kerinduan ? Kerinduan adalah bentuk rasa sakit yang paling lembut sekaligus paling tajam. Ia tidak bersuara, tetapi getarnya memenuhi seluruh ruang batin. Secara neurologis, kerinduan mengaktifkan pusat nyeri emosional sekaligus memunculkan dopamin, itulah sebabnya ia terasa manis sekaligus perih.

Dalam tradisi spiritual, kerinduan dipandang sebagai gerak jiwa menuju yang dicintai, baik manusia maupun Sang Pencipta. Ia adalah nyeri yang tidak ingin sepenuhnya sembuh, karena di dalamnya ada bukti bahwa kita mampu mencintai sedalam-dalamnya.

Sekilas, dunia tanpa rasa sakit tampak seperti surga. Namun sains memberikan gambaran berbeda.

Pada kondisi langka Congenital Insensitivity to Pain (CIP), seseorang tidak dapat merasakan nyeri. Terlihat sebagai anugerah, tetapi kenyataannya berbahaya karena membuat penderitanya tidak meraskan luka, tulang patah tidak disadari, dan tubuh kehilangan sistem peringatannya.

Demikian pula batin. Tanpa rasa kehilangan, sakit hati, atau sedih, manusia mungkin kehilangan kemampuan mencintai. Rasa sakit memperdalam empati dan memberi bobot pada hal-hal yang kita anggap penting.

Tanpa rasa sakit , hidup mungkin nyaman tetapi datar, seperti kapal tanpa kompas di laut yang tenang namun tanpa tujuan.

Ilusi Kendali dan Ketakutan pada Kejujuran Diri

Secara biologis, kita menghindari rasa sakit karena naluri bertahan hidup. Namun lebih dari itu, rasa sakit menelanjangi ilusi kendali. Ia memperlihatkan betapa rapuhnya kita. Ketika sakit baik fisik maupun emosional, topeng-topeng jatuh, dan kejujuran inilah yang sering kali menakutkan. Tetapi justru di titik rapuh itu, pertumbuhan dimulai.

Rasa sakit adalah sinyal. Penderitaan adalah interpretasi. Ketika pikiran menolak kenyataan “Mengapa aku? Mengapa sekarang?” nyeri berubah menjadi belenggu.

Psikologi eksistensial menekankan bahwa penderitaan lahir dari penolakan. Mengetahui penyebab sakit tidak cukup,  keberanian untuk melangkah maju adalah kunci agar rasa sakit tetap menjadi guru, bukan penjara.

Rasa sakit melibatkan dua jalur utama somatosensorik (lokasi nyeri) dan singulat anterior yang mengolah getar emosinya. Karena itulah, luka hati dapat terasa sedalam luka fisik. Endorfin memblokir sinyal nyeri, dan pengalaman-pegalaman yang  mengahangatkan jiwa  seperti tertawa, mendengarkan musik, atau berdoa dapat meningkatkan pelepasan endorfin.

Efek plasebo menunjukkan bahwa harapan dan keyakinan mampu menenangkan respons emosional terhadap nyeri. Otak tidak hanya mencatat rasa sakit, tetapi juga menafsirkan maknanya.

Biologi dan spiritualitas bukan dua dunia terpisah, melainkan dua bahasa yang menerjemahkan pengalaman manusia yang sama.

Dalam pandangan Islam, rasa sakit adalah tanda perhatian Allah ujian yang mengasah jiwa. QS. Al-Baqarah: 155

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

Ayat ini menjelaskan jika  manusia akan diuji dengan ketakutan, kelaparan, dan kekurangan. Sakit juga menjadi jalan penggugur dosa. 
Rasulullah SAW bersabda :  Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu musibah berupa sakit atau lainnya, melainkan Allah akan menggugurkan dengan penyakitnya itu dosa-dosanya, sebagaimana sebatang pohon yang menggugurkan daun-daunnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sakit juga menjadi peringatan, sentuhan lembut agar manusia menyadari keterbatasannya dan kembali mengingat Penciptanya. Dalam pandangan ini, rasa sakit adalah jembatan antara manusia dan Tuhannya.

Pada akhirnya, rasa sakit adalah paradoks,  menyakitkan sekaligus menyembuhkan, menghancurkan sekaligus menumbuhkan. Ia memaksa kita berhenti, melihat, dan menjadi lebih sadar.

Tanpa rasa sakit, kita mungkin tidak belajar berempati atau berubah. Tanpa rasa sakit, kita mungkin tidak memahami betapa berharganya rasa lega setelah terluka.

Nietzsche menulis, “Apa yang tidak membunuhku membuatku lebih kuat.” Namun mungkin, lebih tepat bila kita mengatakan jika rasa sakit mengingatkan bahwa kita hidup, merasa, dan bertumbuh.

Rasa sakit, dalam getir dan keindahannya, adalah bukti paling jujur bahwa kita benar-benar ada.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Berbeda Tetapi Bersatu Oleh: Dr Masud HMN, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Ja....

Suara Muhammadiyah

25 May 2024

Wawasan

 Puasa Syawal, Amalan Pasca Ramadhan yang Hampir Terlewatkan  Oleh: Ika Sofia Rizqiani, S....

Suara Muhammadiyah

19 April 2024

Wawasan

Amankah Menitipkan Anak di Daycare?  Belajar Dari Kasus Penganiayaan Yang Mengguncang Publik ....

Suara Muhammadiyah

18 August 2024

Wawasan

Naik Kelas Dalam Bicara: Belajar Berbicara dari Socrates dan Nilai Islam Oleh: Furqan Mawardi, Penu....

Suara Muhammadiyah

8 November 2025

Wawasan

Oleh: Wahyudin Kader IMM Jogja. Tinggal di Nusa Tenggara Timur Muhammadiyah terus berkomitmen untu....

Suara Muhammadiyah

13 September 2024