Ketika Kasih Sayang Tidak Adil, Birth Order dalam Perspektif Islam

Publish

17 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
60
Sumber Foto: Pixabay

Sumber Foto: Pixabay

Ketika Kasih Sayang Tidak Adil, Birth Order dalam Perspektif Islam

Oleh: Ratna Arunika, Anggota Aisyiyah Jawa Timur

Dalam banyak keluarga, anak sulung dituntut kuat dan bertanggung jawab, anak tengah sering “menghilang” diantara perhatian, sementara si bungsu dibanjiri kasih sayang. Kita menyebutnya kebiasaan. Psikologi menyebutnya pola. Namun di balik pola tersebut ada dinamika  yang menarik yang berkaitan degan teori birth order, perjalanan batin seorang ibu, parentifikasi, rivalitas saudara, dan panduan Islam tentang  bagaimana cinta dan keadilan seharusnya berjalan seimbang dalam keluarga.

Setiap anak berjuang mencapai keunikan dan perannya dalam keluarga. Alferd  Adler, psikiater Austria, melalui Birth Order, menjelaskan bahwa  urutan kelahiran bukan sekedar siapa yang lahir dulu, tetapi bagaimana posisi itu membentuk pengalaman psikologis dam mempengaruhi kepribadian dan cara anak berinteraksi dengan dunia. 

Anak sulung biasanya memperoleh perhatian penuh saat lahir, ia seperti “raja kecil” di rumah. Namun saat adiknya datang, ia mengalami apa yang disebut dethronement effect, perasaan kehilangan posisi istimewa. Dampaknya bisa beragam; muncul rasa cemburu, sensitif, atau sebaliknya berusaha  menunjukan prestasi demi mendapat perhatian kembali. Mereka tumbuh lebih bertanggung jawab dan disiplin, tetapi tidak jarang memikul  ekspektasi yang berat (Gupta, 1981;Sulloway, 2020).

Anak tengah tumbuh diantara dua kutub perhatian. Banyak diantara mereka tumbuh menjadi penengah, fleksibel, dan memiliki kemampuan sosial tinggi. Dalam pencarian identitasnya, mereka bisa menjadi lebih ambisius atau justru lebih tenang dan kompromistis. Namun sering kali, anak tengah berjuang agar tidak merasa “tenggelam” di antara saudara-saudaranya. Mereka mencari peran yang unik.

Anak bungsu kerap menjadi sumber keceriaan keluarga. Ia tumbuh dalam suasana yang lebih mapan dan penuh kasih sayang Ini membuat mereka cenderung hangat, ceria, kreatif, dan dekat dengan keluarga. Namun di sisi lain, mereka juga bisa menjadi lebih bergantung, dan kurang mandiri karena terbiasa diperhatikan dan dibantu oleh kakak-kakaknya.

Menurut teori Attachment dari Boelby & Ainsworth, hubungan emosional anak dengan pengasuh utama (biasanya ibu) adalah kebutuhan dasar, sama pentingnya dengan makanan dan perlindungan. Kedekatan ini membentuk rasa aman dan kepercayaan diri anak dalam menjelajah dunia. 

Perjalanan batin seorang ibu mempengaruhi kualitas kedekatan ini. Ketika ibu melahirkan anak pertama, ia masih canggung, penuh kekhawatiran karena semua masih baru belajar. Saat melahirkan anak tengah, pengalaman membuatnya lebih tenang, tetapi perhatian harus terbagi. Sedangkan saat melahirkan anak bungsu, muncul rasa syukur, nostalgia, dan kedewasaan emosional. Ibu lebih santai dan menikmati setiap fase, dan ikatan terasa lebih  lembut. Bukan berarti pilih kasih, melainkan karena perjalanan batin seorang ibu yang sudah melewati proses emosional yang lebih matang.

Beberapa penelitian juga menunjukan  pengaruh biologis.  Kadar hormon oksitoksin atau  hormon kasih sayang cenderung meningkat pada fase pengasuhan berikutnya, sehingga  memperkuat kedekatan emosiolal  ibu dan anak bungsu.  Namun inti kedekatan bukan semata karena hormon, melainkan kematangan emosi  dan pengalaman panjang seorang ibu dalam mencintai. 

Bungsu, kakak, dan Budaya Si Kecil yang Dilindungi

Dalam banyak budaya Asia, termasuk Jawa, si bungsu sering dianggap “anak kecil selamanya” yang harus dijaga dan dilindungi. Sementara kakak tertua, anak sulung didorong menjadi panutan dan “wajib mengalah”. 

Padahal mengalah seharusnya bukan beban bawaan lahir, tetapi pilihan yang muncul dari kedewasaan. Bila tuntutan ini tidak diseimbangkan, dapat muncul kesal terpendam dari ketimpangan emosional dalam keluarga (Whiteman & McHale, 2011). Keadilan emosional berarti setiap anak diberi ruang untuk merasa dicintai dan dihargai tanpa harus dibandingkan.

Penelitian juga menunjukan ada bias gender dalam pengasuhan. Ayah cenderung lebih dekat dengan anak perempuan, sedangkan ibu lebih dekat dengan anak laki-laki terutama jika ia anak bungsu (Pollet et al., 2009).

Dalam beberapa budaya bungsu perempuan  dianggap lebih rapuh sehingga menerima perlindungan emosional yang lebih besa. Sebaliknya bungsu laki-laki justru kerap mendapatkan investasi pendidikan dan ekonomi lebih besar karena dianggap penerus  keluarga. (Hertwig et al., 2002; Fisher, 2016).  Namun, appaun bentuk perhatian yang diberikan, prinsip dasarnya tetap sama “kasih sayang boleh berbeda bentuk, tetapi tak boleh berbeda nilai.” 

Hati-hati Terjebak Parentifikasi

Dalam banyak keluarga, terutama yang hidup dalam keterbatasan atau tekanan, kakak seringkali diminta merawat adik, bahkan ketika orang tua masih mampu. Apabila tidak ada batasan yang jelas, hal ini dapat berubah menjadi parentifikasi.

Parentifikasi adalah kondisi ketika anak diberi peran dan tanggung jawab layaknya orang dewasa (Ivan Boszormenyi-Nagy). Dampaknya tidak ringan. Ketika anak terlalu cepat “dipaksa dewasa”, ia melewtakan fase perkembangan penting yang membentuk kepribadian dan landasan kesehatannya saat dewasa.

Anak-anak yang mengalami parentifikasi cenderung menghadapi kecemasan, depresi, isolasi sosial, kelelahan kronis, dan kecenderungnan people pleaser atau workaholic ketika dewasa.

Dalam hubungan dewasa mereka sering mengambil peran sebagai penyelamat atau penopang, kesulitan mengnhadapi penolakan, dan mudah merasa bersalah ketika tidak memenuhi ekspektasi orang lain. 

Rivalitas saudara yang tidak terselesaikan juga dapat membentuk “kesetiaan baru” pada diri sendiri, mekanisme pertahanan yang muncul dari luka emosional masa kecil. Luka ini bisa terbawa ke hubungan lainnya; pertemanan, pernikahan, hingga kerja.

Kasih Sayang dalam Timbangan Islam

Dalam Islam, setiap anak adalah amanah, bukan milik pribadi orang tua. Artinya, setiap anak berhak mendapat kasih sayang dan perhatian yang adil meski tidak selalu dalam bentuk yang sama. Keadilan dalam Islam bukan berarti sama rata, melainkan memberi sesuai kebutuhan dan kemampuan.

Rasulullah SAW bersabda:

فَاتَّقُوا اللَّهَ، وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ 

“Bertakwalah kepada Allah. Bersikap adillah terhadap anak-anakmu.” (HR Bukhari).

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan pentingnya kasih sayang yang disertai keadilan agar anak tumbuh menjadi pribadi berakhlak mulia. Setiap anak berhak merasakan cinta, meski bentuknya mungkin berbeda sesuai usia, karakter, dan kondisi emosionalnya.

Menjadi orang tua yang adil bukan hanya menuntut kakak untuk mengalah, tapi juga mengajarkan adik untuk menghormati kakaknya. 

Rasulullah SAW bersabda: 

 لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا 

“Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua.” (HR. at-Tirmidzi no. 1842)

Praktik pengasuhan Islami dapat diwujudkan dengan; hadir secara konsisten, meluangkan waktu khusus untuk setiap anak, memvalidasi emosi, memberi tanggung jawab sesuai usia, dan tidak membandingkan anak-anak.

Ketika kakak merasa cemburu, jangan dihakimi. Dengarkan. Katakan:

“Ibu tahu kakak merasa kurang diperhatikan. Ibu tetap sayang kakak seperti Ibu sayang adik. Setelah ini, kita bermain bersama, ya.”

Kalimat sederhana seperti ini membangun rasa aman, membuat anak merasa diterima dan tetap memiliki ruang istimewa di hati orang tuanya.

Si bungsu mungkin tampak lebih manja atau paling banyak mendapat kasih sayang. Namun itu seringkali hanyalah dinamika keluarga yang wajar dari perjalanan panjang orang tua dalam mencintai.

Islam mengajarkan kita bahwa cinta tanpa keadilan dapat melukai, dan keadilan tanpa cinta dapat membuat hati menjauh.

Hubungan kakak-adik bukan tentang siapa yang paling disayang, tetapi bagaimana kasih sayang dibagi dengan bijak, agar tumbuh menjadi ikatan seumur hidup. Keluarga yang sehat bukan yang tanpa perbedaan, tetapi yang mampu mengelola perbedaan dengan cinta.

Kasih sayang menumbuhkan kehangatan, sementara keadilan menjaga keseimbangan. 

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ma’idah (5):8:

“Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Mendidik dan mencintai anak secara adil agar tidak menimbulkan kecemburuan, dan melukai  fitrah anak. Sayangilah semua anak dengan cara yang berbeda, karena setiap anak memiliki kebutuhan cinta yang tak sama. Namun dalam perbedaan itulah, letak keindahan dan keadilan yang sejati.  Kasih sayang dalam islam adalah “Rahmah”, yang artinya menumbuhkan, dan tidak berlebihan hingga mematikan kemandirian. 

Efek urutan kelahiran tidak selalu absolut. Birth order bukanlah takdir mutlak, pengasuhanlah yang membentuk kepribadian anak. Dan Islam memerintahkan keadilan dalam keluarga agar tetap hangat, seimbang, dan tidak melahirkan luka yang diwariskan dari generasi ke generasi. (hanan)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Misquoting Muhammad: Menavigasi Warisan Nabi di Era Modern Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu....

Suara Muhammadiyah

24 January 2025

Wawasan

Relevansi Gerakan IMM pada Era Digital Oleh: Khoirul Iksan, Kader IMM Klaten Dalam kurun waktu 60 ....

Suara Muhammadiyah

29 March 2024

Wawasan

Anak Saleh (6) Oleh: Mohammad Fakhrudin  Di dalam “Anak Saleh”  (AS) 5 telah....

Suara Muhammadiyah

28 August 2024

Wawasan

Iman, Islam, Ihsan: Manesfestasi dari Ibadah Secara Universal Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM ....

Suara Muhammadiyah

3 May 2025

Wawasan

Tiga Prinsip Hidup Menjaga Kualitas Kemanusiaan Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag "Wa ja'alanī mu....

Suara Muhammadiyah

27 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah