Oleh: Hatib Rachmawan
Sejak kecil kita dicekoki mantra yang sama: jujur itu baik, bohong itu buruk. Guru di sekolah menasihati, orang tua menekankan, bahkan khutbah Jumat pun mengulanginya. Akhirnya kita tumbuh dengan keyakinan bahwa bohong adalah dosa, lawan dari segala kebaikan.
Tapi mari jujur sebentar: apakah benar bohong selalu jahat?
Bayangkan seorang dokter yang mengatakan kepada pasien kanker, “Kondisi Anda stabil, terus semangat jalani terapi,” padahal ia tahu peluangnya tipis. Atau seorang suami yang tersenyum sambil bilang “Masakanmu enak sekali” meski rasanya pas-pasan. Atau seorang mahasiswa aktivis yang berbohong kepada aparat demi menyelamatkan kawannya. Semua itu bohong. Tapi tanpa kebohongan itu, harapan runtuh, cinta retak, nyawa melayang.
Apakah kita masih tega mengatakan mereka pendusta?
Bohong Bisa Lebih Sehat daripada Kejujuran Brutal
Di era digital, kejujuran sering kali lebih berbahaya ketimbang menyelamatkan. Mengumbar kebenaran mentah di media sosial bisa memicu perang komentar, perpecahan keluarga, bahkan kerusuhan. Sementara “bohong kecil” justru bisa menjaga ketertiban.
Di kantor, misalnya. Atasan melontarkan ide ngawur. Apakah kita langsung berkata, “Pak, itu konyol”? Tentu tidak. Kita biasanya memilih kalimat diplomatis: “Ide menarik, Pak. Mungkin perlu data tambahan.” Itu bohong halus, tapi tanpa itu rapat bisa berubah jadi medan tempur.
Dalam politik pun serupa. Seorang pejabat tahu bosnya salah ucap. Kalau ia membantah secara terbuka, kariernya tamat. Maka ia memilih kalimat aman: “Mungkin maksud pimpinan adalah…” Itu bohong strategis, dan justru karena itu krisis bisa diredam.
Kebohongan Bisa Menumbuhkan Kepercayaan
Penelitian psikolog sosial Emma E. Levine dan Maurice Schweitzer (University of Pennsylvania) membuktikan bahwa prosocial lies—kebohongan yang diniatkan melindungi orang lain—bisa meningkatkan kepercayaan berbasis kepedulian. Orang merasa didukung, meski tahu lawannya tidak sepenuhnya jujur.
Erat dan Gneezy (2012) bahkan membedakan antara kebohongan egois dan kebohongan prososial. Hasilnya? Orang lebih rela menerima kebohongan yang “menyelamatkan perasaan” dibanding kebohongan untuk keuntungan pribadi. Singkatnya, bohong bisa memperkuat relasi sosial.
Tidak Semua Kebenaran Wajib Diungkap
Islam pun mengakui dilema ini. Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim). Imam al-Ghazālī menegaskan, tidak semua kebenaran pantas diucapkan—apalagi jika mengungkapnya justru menimbulkan kerusakan.
Artinya jelas: kebenaran tidak selalu harus diungkapkan. Ada saatnya diam lebih mulia daripada jujur yang membinasakan.
Mari Robek Stigma Lama
Maka sudah saatnya kita berani berkata: bohong adalah life skill. Ia bukan sekadar kelemahan moral, tapi keterampilan bertahan hidup, bahkan keterampilan membangun harmoni.
Namun mari tegaskan: ini bukan pembenaran untuk menipu, bukan lisensi untuk menyebar hoaks, bukan tiket gratis untuk korupsi moral. Yang dimaksud adalah kecakapan etis mengelola kebenaran.
Kebenaran itu tajam seperti pedang. Jika disampaikan tanpa bijak, ia bisa melukai lebih dalam daripada dusta. Maka tugas kita adalah belajar kapan harus bicara, kapan menunda, kapan membingkai ulang, dan kapan sebaiknya diam.
Di era media sosial yang riuh, kejujuran brutal bisa jadi bom waktu. Sementara kebohongan yang lahir dari empati justru bisa jadi jembatan keselamatan.
Mari berhenti berpikir hitam putih. Bohong tidak selalu musuh. Kadang, justru bohonglah yang menjaga kita tetap manusiawi.
Ketika kejujuran Indonesia terbakar, sering kali kebohonganlah yang membangun kembali harapan.
Hatib Rachmawan, Dosen Universitas Ahmad Dahlan