Ketika Ayat Tidak Berhenti di Mimbar
Penulis: M. Saifudin, Lc, Mudir Ponpes Modern Muhammadiyah Sangen Sukoharjo & Wakil Ketua PCM Weru
Ayat-ayat Al-Qur’an tidak diturunkan untuk berhenti di mimbar, apalagi sekadar menjadi kutipan yang indah didengar. Ia hadir untuk menggerakkan manusia, menata nurani, dan mengubah keadaan. Dalam perjalanan panjangnya, Muhammadiyah memilih jalan ini, menjadikan ayat bukan hanya dibaca dan dijelaskan, tetapi dikerjakan bersama, secara nyata, terukur, dan berkelanjutan di tengah kehidupan umat dan bangsa.
Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan yang keberadaannya dirasakan luas oleh masyarakat dan diakui oleh banyak kalangan. Mitsuo Nakamura, dalam studinya tentang Muhammadiyah di Jawa, melihat persyarikatan ini sebagai gerakan agama, gerakan sosial, sekaligus gerakan ideologis. Muhammadiyah memurnikan ajaran Islam, menggerakkannya dalam amal usaha pendidikan dan kesehatan, serta menyikapi budaya lokal secara selektif, bukan menolak, tetapi menyaring. Semua itu berpijak pada satu prinsip penting, gerakan persyarikatan tidak pernah dipisahkan dari sumber utama, Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sejak awal, Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ditempatkan sebagai rujukan normatif belaka. Keduanya menjadi fondasi yang menjiwai seluruh amal usaha dan kerja sosial Muhammadiyah. Ayat-ayat suci tidak berhenti di ruang pengajian, tetapi diturunkan ke masyarakat, menjadi panduan bertindak dalam kehidupan nyata umat dan bangsa. Inilah yang membedakan Muhammadiyah dari sekadar organisasi keagamaan.
Spirit ini mengingatkan kita pada teladan sahabat Umar bin Khattab ra. Beliau menegaskan bahwa para sahabat tidak beranjak ke sepuluh ayat berikutnya sebelum sepuluh ayat sebelumnya benar-benar dipahami dan diamalkan. Al-Qur’an tidak dikejar untuk dihabiskan, tetapi dihidupi. Tradisi inilah yang terasa hidup dalam Muhammadiyah, mengaji bukan hanya untuk tahu, tetapi untuk berubah dan berbuat.
Karena itu, ketika bencana atau krisis kemanusiaan terjadi, Muhammadiyah bergerak cepat dan terkoordinasi. Dari Pimpinan Pusat hingga wilayah, daerah, cabang, dan ranting; dari ‘Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, IPM, hingga Kokam dan Angkatan Muda Muhammadiyah, semuanya bahu-membahu. Amal Usaha Muhammadiyah: rumah sakit, sekolah, pesantren, perguruan tinggi, panti, dan berbagai layanan sosial, turut digerakkan sebagai bagian dari ikhtiar kolektif persyarikatan. Tugas besar itu kemudian dikelola secara profesional melalui MDMC dan Lazismu. Gerakan ini bukan kerja sesaat, melainkan sistemik, terencana, dan berkelanjutan.
Di sinilah tampak kekhasan Muhammadiyah. Gerakan ini bertumpu pada dua kekuatan sekaligus: kesalehan personal dan organisasi modern yang tertata rapi. Sebagaimana sering ditegaskan Prof. Haedar Nashir, dari sinilah lahir sinergi antara kekuatan individu dan kekuatan institusi. Kesalehan personal tidak berhenti sebagai urusan pribadi, tetapi diolah menjadi kekuatan sosial-keagamaan yang berdampak luas.
Pesan KH. Ahmad Dahlan tentang Surah Al-Ma’un dan Al-‘Ashr menemukan aktualisasinya di sini. Kepedulian kepada fakir miskin, korban bencana, serta mereka yang lemah dan membutuhkan bukan aktivitas tambahan, melainkan inti agama. Dakwah tidak lagi berwajah retorika, tetapi hadir sebagai empati yang terorganisir dan berkelanjutan. Inilah tafsir Al-Qur’an yang bekerja.
Tentu semua ini bukan hasil instan. Kesalehan personal dibentuk melalui pengajian-pengajian rutin di tingkat ranting, cabang, hingga daerah. Dari ruang-ruang sederhana itulah nilai ditanamkan, karakter dibentuk, dan kesadaran berjamaah dipupuk. Pengajian menjadi denyut nadi kaderisasi Muhammadiyah.
Namun tantangan tetap ada. Di tengah maraknya pengajian, Muhammadiyah perlu melangkah lebih jauh. Pengajian tidak cukup hanya menjadi ruang ceramah, tetapi harus diposisikan sebagai ruang latihan sosial. Tempat berlatih menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai aksi nyata, sekaligus melatih jamaah bekerja secara kolektif dan terarah. Karena itu, kebutuhan akan kurikulum pengajian yang lebih terstruktur dan dengan referensi wajib yang relatif seragam menjadi penting. Bukan untuk menyeragamkan pikiran, melainkan menjaga arah gerakan.
Dengan ikhtiar itu, pengajian Muhammadiyah akan tetap memiliki ciri: membumi, mencerahkan, dan melahirkan tindakan. Pada akhirnya, inilah jalan sunyi namun strategis untuk mendekatkan Muhammadiyah pada cita-cita besarnya, yakni terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, sebagaimana diamanahkan oleh KH. Ahmad Dahlan.

