Ketaatan pada "Ululamri" Bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
Oleh: Muhammad Fakhrudin
Di dalam artikel “Perilaku Muslim Mukmin yang Taat pada Ululamri karena Allah Subhanahu wa Ta’ala” yang dipublikasi di Suara Muhammadiyah online. 11 November 2025 telah dikemukakan secara sepintas bahwa motivasi ketaatan pada ululmamri bermacam-macam. Selain ada yang taat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-nya, ada yang taat karena (1) kesamaan cara berpikir dan bersikap, (2) keterikatan emosi, dan (3) keterpaksaaan. Tentu saja sangat mungkin masih ada lagi motivasi lain.
Motivasi tersebut mungkin dapat dikatakan secara ekstrem sebagai motivasi keduniaan. "Ululamri" yang diuraikan di dalam artikel ini adalah "ululamri" dengan arti pemimpin secara umum dan ditulis dengan tanda kutip. Dia jauh dari tujuh kriteria pemimpin yang dikemukakan oleh Muhammadiyah sebagaimana telah dikutip di dalam artikel yang dipublikasi di Suara Muhammadiyah online, 11 November 2025
Ketaatan karena Kesamaan Cara Berpikir dan Bersikap
Di antara “ululamri” ada yang mempunyai pemikiran dan sikap lepas dari nilai-nilai iman dan takwa. Demi kepentingan duniawi, bahkan, dia mau mendustakan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di negara mana pun ada “ululamri” yang demikian dan ada yang menaatinya. Biasanya ketaatan yang demikian dilakukan oleh orang-orang yang berpikir dan bersikap pragmatis. Mereka melupakan Allah.Subhanahu wa Ta'ala (fasik).
Ciri-ciri orang fasik dijelaskan di dalam Al-Qur’an, antara lain, surat al-Hasyr (59):19,
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.”
Orang fasik diazab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an sura al-An’am (6):49
وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا يَمَسُّهُمُ الْعَذَابُ بِمَا كَانُوْا يَفْسُقُوْنَ
“Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami akan ditimpa azab karena mereka selalu berbuat fasik (berbuat dosa).”
Ketaatan karena Keterikatan Emosi
Keterikatan emosi dapat terjadi karena transaksi saling menguntungkan. Salah satu dasar transaksi yang demikian berkaitan dengan balas jasa.
Ketaatan karena balas jasa sering tidak rasional dan lepas dari nilai-nilai moral. Orang pintar demi melunasi utang budinya dapat berubah menjadi bodoh. Orang yang dimuliakan dapat berubah menjadi orang yang dihinakan. Dia munafik.
Di dalam Al-Qur’an dijelaskan ciri-ciri orang munafik, antara lain, di dalam surat al-Baqarah (2):8-9,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَبِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَۘ
“Di antara manusia ada yang berkata, Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir, padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang mukmin.”
Di dalam surat at-Taubah (9):67 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
اَلْمُنٰفِقُوْنَ وَالْمُنٰفِقٰتُ بَعْضُهُمْ مِّنْۢ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوْفِ وَيَقْبِضُوْنَ اَيْدِيَهُمْۗ نَسُوا اللّٰهَ فَنَسِيَهُمْۗ اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain (adalah sama saja). Mereka menyuruh (berbuat) mungkar dan mencegah (berbuat) makruf. Mereka pun menggenggam tangannya (kikir). Mereka telah melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya, orang-orang munafik adalah orang-orang yang fasik.”
Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan ciri-ciri orang munafik di dalam HR Muslim sebagai berikut.
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
"Ada empat tanda, jika seseorang memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik tulen. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu: jika diberi amanat, khianat; jika berbicara, dusta; jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi; jika berselisih, dia akan berbuat zalim,"
Ketaatan pada “ululamri” yang demikian sesungguhnya menjerumuskan. Ketika kemunafikan itu terbongkar, timbul penyesalan berkepanjangan.
Ketaatan pada “ululamri” karena keterikatan emosi dapat dilandasi hubungan nasab. Hubungan antara orang tua dengan anak dapat menimbulkan ketaatan. Hubungan antara kakak dengan adik juga dapat menimbulkan ketaatan.
Ketaatan anak pada orang tua atau adik pada kakak jika terjadi di dalam konteks jabatan publik dapat menimbulkan masalah besar. Jika orang tuanya yang menjadi pejabat publik dan akan melakukan korupsi atau tindakan kriminal lainnya, jarang sekali terjadi anak berani mengingatkan atau mencegahnya. Jika benar-benar dia melakukan korupsi, berapa banyak anak yang mau melaporkannya kepada penegak hukum.
Sepertinya di dalam sinetron pun sudah tidak ada lagi cerita anak melaporkan orang tuanya sendiri apalagi menindaknya karena melakukan tindak kriminal. Demikian pula halnya jika ada kakak yang melakukan tindakan kriminal. Berapa persenkah adik yang demi penegakan hukum, melaporkannya kepada aparat penegak hukum?
Kasus yang sering terjadi adalah anak melaporkan orang tuanya gegara warisan, Demikian pula halnya adik. Semua itu dilakukan sama sekali lepas dari pertimbangan nilai-nilai agama.
Ketaatan karena Keterpaksaan
Keterpaksaan dapat dialami oleh setiap orang. Dalam hubungan dengan ketaatan pada “ululamri”, keterpaksaan dapat terjadi karena (1) himpitan ekonomi, (2) ambisi tersembunyi, (3) usaha penyelamatan jiwa, atau (4) usaha penyelamatan “wajah”.
Orang yang terhimpit ekonominya, yang iman dan takwanya sangat lemah, mau berperilaku taat dengan melakukan perintah apa pun. Tidak peduli perintah itu bertentangan atau melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perintah untuk membantu perbuatan dosa dan permusuhan pun dilakukan. Hal ini dapat kita saksikan terutama pada saat menjelang pilpres, pilkada, dan pileg.
Orang yang mempunyai “ambisi tersembunyi” mau taat pada “ululamri”. Dia tampak memberikan dukungan penuh. Teman-temannya yang tidak sependapat ditekan. Strategi belah bambu dan katak berenang pun diterapkannya.
Semua itu dilakukannya dengan harapan suatu ketika “ululamri” yang ditaatinya itu selesai masa kepemimpannya (karena suatu hal), dia mendapat dukungan sebagai penggantinya.
Sejak zaman dulu hingga sekarang (bahkan mungkin sampai masa-masa yang akan datang) ada orang yang mengancam keselamatan jiwa orang lain. Tindakan yang demikian dapat juga dilakukan oleh “ululamri” yang sedang dalam keadaan terancam kedudukannya. Kedudukannya terancam karena misalnya pelanggaran hukum yang dilakukannya terendus dan sedang diusut oleh aparat penegak hukum.
Berkenaan dengan kasusnya itu, dia mengancam orang-orang tertentu yang diduga kuat telah melaporkannya. Bahkan, ancamannya itu melebar sampai pada keluarga orang-orang yang diduga melaporkannya. Boleh jadi, justru keluarganya diteror dengan ancaman pembunuhan. Ancaman dan teror itu tidak selalu dilakukannya sendiri, tetapi oleh orang bayaran.
Akibat tekanan yang demikian, timbul ketaatan pada “ululamri” karena keterancaman keselamatan jiwa. Apa pun yang diperintahkannya ditaati. Apa pun yang dilarang, tidak dilakukannya.
“Penyelamatan wajah” di dalam kajian pragmatik pada topik kesantunan berbahasa merupakan salah satu prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson di dalam “Universals in Language Usage: Politeness Phenomena” 1978 (Hlm. 56-324). Prinsip ini berkisar nosi muka, yaitu muka positif dan muka negatif. Nosi muka yang relevan dengan konteks kajian ini adalah muka positif, yaitu muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, patut dihargai, dst.
(Baca juga: Pokok-Pokok Pragmatik karya Rustono dan Mohammad Fakhrudin 2024:102)
Jika penutur adalah “ululamri”, sedangkan mitra tuturnya adalah orang yang berusaha menjaga wajah ‘ululamri” tersebut, dia mau menaatinya. Ketaatannya itu dimaksudkan untuk tidak mempermalukannya.
Allahu a’lam


