Kepemimpinan Tenang Berbasis Nilai: Memadukan Stoikisme dan Keikhlasan
Oleh: Dr. Edy Nurcahyo, SH., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton, Kota Baubau
Kekuatan tidak selalu tampak dalam suara yang keras atau keputusan yang cepat. Kekuatan sejati sering kali hadir dalam ketenangan, dalam kemampuan seseorang untuk menahan diri, berpikir jernih, dan tetap berbuat baik di tengah tekanan.
Ketenangan bukanlah sifat bawaan, melainkan hasil dari latihan sadar dan penanaman nilai diri. Di tengah berbagai dinamika kepemimpinan, mulai dari perbedaan pandangan, tekanan pekerjaan, hingga tuntutan perubahan, ketenangan menjadi fondasi yang menjaga nalar dan nurani tetap seimbang. Dari sinilah lahir gagasan tentang kepemimpinan tenang berbasis nilai, yang berpijak di antara dua sumber kebijaksanaan: stoikisme dan keikhlasan.
Filsafat Stoikisme yang lahir di Yunani kuno menawarkan pelajaran yang tetap relevan tentang pengendalian diri di tengah hal-hal yang tidak dapat dikendalikan. Tokoh-tokohnya, seperti Epictetus dan Marcus Aurelius, mengajarkan bahwa manusia tidak ditentukan oleh peristiwa, melainkan oleh cara ia menanggapinya.
Pemimpin yang berpikir stoik berfokus pada hal-hal yang dapat dilakukan, seperti memperbaiki, menenangkan, dan menata kembali, alih-alih mengeluh terhadap keadaan. Stoikisme menumbuhkan tranquilitas animi atau ketenangan batin: kejernihan pikiran yang membuat seseorang mampu bertindak dengan bijak tanpa dikendalikan oleh emosi.
Dalam konteks kepemimpinan akademik dan sosial, pemimpin yang mampu menjaga diri dari reaksi berlebihan akan lebih mudah menemukan solusi yang adil dan proporsional.
Islam menuntun umatnya untuk menata hati dengan nilai ikhlas, sabar, dan tawakal. Allah berfirman:
“..... Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar.” (QS. At-Talaq:2), dan
“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah:6)
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa setiap peristiwa mengandung hikmah. Keikhlasan bukan berarti pasif atau menyerah, melainkan melakukan yang terbaik dan menyerahkan hasilnya kepada Allah. Dalam kepemimpinan, keikhlasan melahirkan ketulusan: bekerja bukan untuk pujian, melainkan karena tanggung jawab moral dan keimanan.
Pemimpin yang ikhlas tidak terbebani oleh citra diri, tidak terseret oleh ambisi pribadi. Ia bekerja dengan hati yang lapang, karena yakin bahwa setiap langkah yang benar akan mendapatkan bimbingan Ilahi.
Ketika Stoikisme dan keikhlasan bertemu, terbentuklah keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas. Stoikisme menumbuhkan kendali diri dan kejernihan berpikir. Keikhlasan menumbuhkan ketenangan hati dan kepasrahan pada kehendak Allah.
Keduanya melahirkan gaya kepemimpinan yang tidak reaktif, tidak mudah goyah, dan tidak kehilangan arah meski di tengah badai perubahan, pemimpin yang memadukan keduanya mampu menimbang setiap persoalan dengan kepala dingin dan hati yang teduh, rasional dalam tindakan, spiritual dalam niat.
Dalam pandangan Islam berkemajuan yang diusung Muhammadiyah, kemajuan tidak hanya diukur dari kecakapan intelektual dan teknologi, tetapi juga dari kedewasaan moral dan emosional. Ketenangan adalah wujud kemajuan batin seorang pemimpin.
Pemimpin yang tenang tidak terburu-buru merespons setiap perbedaan, tidak mudah marah, dan tidak cepat menilai. Ia memimpin dengan kesejukan, bukan dengan ketakutan. Dalam dunia pendidikan, ketenangan seperti ini menciptakan suasana yang kondusif untuk tumbuhnya gagasan, dialog, dan kerja sama.
Ketenangan tidak menghapus ketegasan. Justru dari ketenangan, lahir ketegasan yang berakar pada prinsip, bukan pada emosi sesaat.
Ketenangan bukan sekadar strategi menghadapi tekanan, melainkan karakter yang tumbuh dari latihan dan nilai. Dari Stoikisme dapat dipetik pelajaran tentang kendali diri; dari Islam dipetik hikmah tentang penyerahan diri. Keduanya berpadu dalam satu prinsip hidup:
“Lakukanlah yang terbaik, dan biarlah Allah yang mengatur hasilnya.”
Kepemimpinan tenang bukan berarti tanpa suara, melainkan suara yang datang dari kedalaman hati dan kejernihan pikiran. Di tengah hiruk-pikuk dunia, pemimpin sejati adalah mereka yang mampu menenangkan, bukan hanya situasi, tetapi juga jiwa mereka sendiri.


