Karakter Orang Bertakwa

Publish

13 June 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
87
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Oleh: Suko Wahyudi

 

Dalam pergulatan eksistensial manusia di tengah dinamika kehidupan modern yang kompleks dan penuh distraksi, seringkali terjadi kekosongan makna yang mendalam. Realitas kontemporer yang bercorak hedonistik dan pragmatis kerap menenggelamkan manusia dalam pusaran pencarian yang nihilistik, menjauhkan dirinya dari orientasi spiritual yang hakiki.

Dalam situasi seperti inilah, Al-Qur’an tampil sebagai kitab hidayah yang menyinari kegelapan zaman, menghadirkan rambu-rambu ilahiyah yang mengarahkan umat manusia kepada jalan yang lurus dan penuh keberkahan. Di antara surat yang paling representatif dalam menggambarkan tipologi keberagamaan yang autentik adalah surat Al-Baqarah, terutama pada ayat dua hingga lima, yang mengartikulasikan dengan sangat jernih karakter orang-orang bertakwa.

Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan1 sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka beriman kepada (Al-Qur`an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat. Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-Baqarah [2]: 2-5).

Karakter orang bertakwa sebagaimana tergambar dalam untaian ayat-ayat tersebut bukanlah sekadar manifestasi dari ritus formalistik, melainkan merupakan pengejawantahan dari sebuah sikap keberagamaan yang integral, komprehensif, dan berorientasi transendental. 

Orang bertakwa adalah mereka yang memiliki kedalaman iman terhadap realitas metafisik, yakni hal-hal yang tergolong ghaib. Keimanan semacam ini melampaui nalar instrumental dan logika empiris. Ia merupakan ekspresi dari ketundukan epistemologis terhadap kebenaran wahyu yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Mutlak.

Dalam dunia yang menjadikan rasionalitas sebagai dewa baru, iman kepada yang gaib menjadi sebuah sikap spiritual yang revolusioner dan kontemplatif. Orang bertakwa hidup dalam kesadaran transendental yang menjadikan Allah sebagai pusat orientasi hidupnya.

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (Al-Qasas [28]: 77).

Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (Ali Imran [3]: 133).

Di antara indikator yang mencirikan takwa adalah pelaksanaan salat yang bersifat istiqamah. Namun shalat yang dimaksud bukanlah sekadar gerakan tubuh yang mekanistik, melainkan sebuah penghambaan total kepada Tuhan yang Mahasuci. Shalat merupakan bentuk komunikasi ruhani yang mengukuhkan relasi vertikal antara hamba dengan Sang Pencipta.

Melalui shalat, seorang mukmin menyucikan jiwanya, menguatkan spiritualitasnya, dan memperhalus akhlaknya. Orang bertakwa menjadikan shalat sebagai sumbu hidup, sebuah poros yang menggerakkan seluruh aktivitas keseharian dalam koridor nilai-nilai ilahiyah. Dengan demikian, salat menjadi transformasi batin yang berimplikasi pada etika sosial yang luhur.

Bacalah (Nabi Muhammad) Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Ankabut [29]:  45).

Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW agar senantiasa membaca, mendalami, dan menghayati Al-Qur'an yang telah diwahyukan kepadanya. Perintah ini bukan sekadar ajakan untuk membaca secara verbal, melainkan merupakan dorongan spiritual untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman utama dalam kehidupan. Aktivitas membaca Al-Qur'an, dalam konteks ini, bermetamorfosis menjadi laku spiritual yang menuntun jiwa semakin dekat dengan Allah SWT, Tuhan yang Maha Sempurna.

Setelah perintah membaca dan memahami Al-Qur’an, Allah SWT kemudian menetapkan kewajiban yang sangat mendasar dalam kehidupan keberagamaan seorang Muslim, yaitu mendirikan shalat. Shalat yang dimaksud adalah shalat fardu lima waktu, yang harus ditegakkan secara konsisten, penuh kesadaran, dan disertai kekhusyukan yang mendalam.

Pelaksanaan shalat ini seyogianya memenuhi seluruh syarat dan rukunnya, serta disempurnakan dengan amalan-amalan sunah yang dianjurkan. Dalam tradisi spiritual Islam, shalat tidak hanya menjadi ritual formal, tetapi juga menjadi medium penyucian jiwa dan pengokohan etika moral.

Apabila salat dilakukan dengan sepenuh hati dan kesungguhan, maka salat itu akan berfungsi sebagai benteng diri dari perbuatan keji (fahsya’) dan munkar. Dalam terminologi Al-Qur’an, perbuatan keji dan munkar merupakan representasi dari kerusakan moral dan penyimpangan sosial yang harus dijauhi oleh setiap insan beriman. Shalat, dalam konteks ini, menjadi penopang utama dalam pembentukan karakter mukmin yang berintegritas tinggi.

Lebih jauh, mendirikan shalat merupakan pengejawantahan dari keyakinan iman yang tertanam kokoh dalam lubuk hati seseorang. Shalat menjadi manifestasi konkret dari kesadaran akan keterikatan total seorang hamba kepada Tuhan-nya. Ia menyadari secara eksistensial bahwa dirinya senantiasa bergantung kepada Allah, dan karenanya, ia berusaha sepenuh daya untuk mengamalkan segala perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya.

Dalam setiap rakaat salat, seorang Muslim membaca doa agung dalam Surah al-Fātiḥah: "Ihdinaṣ-ṣiraṭal-mustaqim, ṣiraṭalladżina an‘amta ‘alaihim, gairil-maghḍubi ‘alaihim walaḍ-ḍallin". Doa ini bukan sekadar permohonan lisan, melainkan seruan batin yang terus-menerus menggema dalam hati sang hamba. Ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus yaitu jalan yang pernah dilalui oleh para nabi, orang-orang saleh, dan para syuhada. Jalan yang bercahaya oleh anugerah ilahi, bukan jalan yang disesatkan oleh hawa nafsu dan amarah duniawi.

Oleh karena itu, seorang Muslim yang menyadari makna spiritual dari shalat tidak akan rela menyeret dirinya ke dalam kubangan kemaksiatan dan kerusakan moral. Ia menjadikan shalat sebagai kompas moral yang membimbing langkah hidupnya. Dalam salat, ia menemukan ketenangan; dalam shalat pula, ia memperbarui janji ketundukannya kepada Allah, dan dari shalat, ia membangun kekuatan ruhani untuk terus berjuang menegakkan kebenaran dan menjauhi segala bentuk keburukan.

Karakter lain yang melekat pada insan muttaqin adalah kedermawanan sosial. Dalam perspektif Al-Qur’an, harta tidaklah dipandang sebagai milik eksklusif individual, melainkan amanah dari Tuhan yang harus dikelola dan disalurkan kepada yang membutuhkan.

Orang bertakwa senantiasa menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah dianugerahkan kepadanya, sebagai ekspresi dari rasa syukur dan tanggung jawab sosial. Ia sadar bahwa kesejahteraan bersama adalah bagian integral dari keberagamaan yang sejati. Dalam dunia yang semakin menampakkan ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi, sikap filantropis ini menjadi sangat relevan dan revolusioner.

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.Yaitu orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. (Ali Imran [3]: 134).

Salah satu karakter agung dari pribadi yang bertakwa (muttaqin) sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an adalah gemar berinfak, baik dalam kondisi lapang maupun sempit, saat berada dalam kelimpahan maupun di tengah kekurangan. Dalam suasana senang maupun duka, seorang muttaqin senantiasa menyalakan api kepedulian sosial yang berpijar dari nur keimanan.

Ia memberi bukan karena berlebih, tetapi karena sadar akan hakikat kepemilikan yang sejati—bahwa segala sesuatu, termasuk harta benda, hanyalah titipan dari Allah SWT, yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban.

Berinfak, dalam perspektif ketakwaan, bukanlah semata praktik memberi secara materiil. Ia adalah pengejawantahan nilai spiritual, sebuah wujud pengabdian yang merentang dari pemberian harta, waktu, tenaga, hingga pengorbanan pribadi dalam rangka menegakkan nilai-nilai kebaikan. Inilah infak yang bernilai ibadah, yang memancar dari keikhlasan hati, tidak dilandasi pamrih duniawi, melainkan hanya semata-mata mengharap ridha Allah SWT.

Ciri khas inilah yang menjadi indikator spiritual dari ketakwaan yang sejati. Sebab, seseorang yang telah tertempa oleh nilai-nilai tauhid akan melihat harta bukan sebagai tujuan hidup, tetapi sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat manfaat bagi sesama. Dalam kesadaran ini, harta bukan lagi simbol kekuasaan, melainkan amanah yang harus dikelola dan disalurkan secara arif dan bertanggung jawab.

Namun demikian, tidak sedikit manusia yang merasa berat untuk memberikan sebagian dari yang dimilikinya, bahkan ketika berada dalam kelapangan sekalipun. Alasannya pun klise: kebutuhan pribadi yang belum juga tercukupi. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, kebutuhan manusia bersifat tak terbatas, sementara sumber daya yang dimiliki cenderung terbatas.

Oleh karena itu, logika menunda berinfak hingga kebutuhan selesai terpenuhi sesungguhnya hanya akan menunda selamanya. Ketamakan manusia terhadap dunia adalah cermin dari nafsu yang tak pernah mengenal kata cukup.

Perintah Allah untuk berinfak di kala lapang sesungguhnya dimaksudkan untuk mendidik manusia agar tidak terjebak dalam jerat kesombongan, ketamakan, dan cinta dunia yang melampaui batas. Sedangkan perintah berinfak di waktu sempit bertujuan membangun kepekaan spiritual bahwa tangan di atas, yakni tangan yang memberi—senantiasa lebih mulia daripada tangan di bawah yang hanya meminta.

Dalam kondisi ini, nilai infak tidak diukur dari kuantitas pemberian, melainkan dari kualitas niat dan keikhlasan jiwa yang menyertainya.

Rasulullah SAW, sebagai teladan utama umat manusia, telah memberikan penegasan moral yang sangat mendalam dalam hal ini. Beliau bersabda, "Jagalah dirimu dari api neraka, sekalipun hanya dengan (bersedekah) sebiji kurma". (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini tidak hanya menegaskan keutamaan infak dalam bentuk yang paling minimal, tetapi juga menggambarkan betapa tingginya nilai spiritual dari sebuah tindakan yang lahir dari hati yang ikhlas, meskipun kecil dan sederhana di mata manusia.

Dengan demikian, berinfak adalah ekspresi iman yang hidup dan bergerak. Ia adalah denyut ketakwaan yang menembus batas kepentingan pribadi, menjelma menjadi energi sosial yang menebarkan manfaat. Dalam konteks inilah, infak menjadi jembatan antara dimensi vertikal dan horizontal dalam kehidupan beragama: ia menyambungkan hamba dengan Tuhannya, sekaligus dengan sesama manusia.

Inilah hakikat dari ketakwaan yang paripurna, yang bukan hanya berhenti pada ritual individual, tetapi menampakkan buahnya dalam gerakan sosial yang membebaskan, memuliakan, dan mencerahkan.

Aspek epistemologis lain yang memperkuat karakter takwa adalah keimanan terhadap kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Hal ini mencerminkan keluasan wawasan keagamaan dan semangat inklusivitas. Orang bertakwa tidak terjebak dalam eksklusivisme sempit atau fanatisme buta.

Ia memahami bahwa risalah-risalah terdahulu merupakan bagian dari mata rantai kebenaran yang berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah SWT. Maka, iman kepada kitab-kitab tersebut menunjukkan sikap terbuka, toleran, dan penuh penghargaan terhadap keberagaman tradisi keagamaan.

Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh. (An-Nisa [4]: 136).

Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan. (Al-Maidah [5]: 48).

Keimanan kepada kitab-kitab Allah merupakan salah satu indikator fundamental dari ketakwaan seorang hamba. Iman ini tidak sekadar artikulasi verbal, melainkan ekspresi spiritual yang merefleksikan ketundukan total kepada kebenaran ilahiyah yang bersumber dari Allah SWT. Seorang yang bertakwa meyakini bahwa wahyu tidak hanya termanifestasi dalam Al-Qur’an, tetapi juga dalam kitab-kitab sebelumnya—Taurat, Zabur, dan Injil—yang diturunkan sesuai konteks zaman dan umat masing-masing.

Dengan demikian, keimanan kepada kitab-kitab Allah menunjukkan sikap religius yang utuh, yaitu mengakui kontinuitas sejarah pewahyuan yang mengandung nilai-nilai transenden bagi perjalanan spiritual dan sosial umat manusia.

Keimanan tersebut tidak bersifat pasif dan statis, melainkan aktif dan dinamis dalam praksis kehidupan. Seorang mukmin sejati memposisikan wahyu sebagai sumber etika, panduan moral, dan peta jalan bagi tindakan-tindakan sosialnya. Dalam perspektif ini, Al-Qur’an tidak hanya berfungsi sebagai kitab suci terakhir, tetapi juga sebagai penyempurna dan verifikator terhadap kitab-kitab terdahulu.

Dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai referensi utama, seorang yang bertakwa menampilkan orientasi hidup yang visioner dan integral. Ia membaca realitas dengan cahaya wahyu, memaknainya secara holistik, dan menanggapinya dengan kesadaran iman yang kritis namun inklusif.

Lebih jauh, iman kepada kitab-kitab Allah mencerminkan keluasan horizon berpikir dan kedalaman spiritualitas seorang mukmin. Ia tidak membelenggu diri dalam fanatisme sejarah atau eksklusivisme keagamaan, melainkan mengakui kebenaran yang bersumber dari satu mata air: Allah SWT.

Dalam pandangan ini, wahyu dipahami sebagai suatu jaringan komunikasi ilahiyah yang berkesinambungan, mengajarkan keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan. Ketakwaan yang lahir dari keimanan semacam ini akan membentuk watak yang toleran dalam menyikapi keragaman, adil dalam menilai sejarah peradaban, dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip universal Islam.

Oleh sebab itu, iman kepada kitab-kitab Allah bukan hanya bagian integral dari rukun iman, melainkan juga cerminan dari kepatuhan yang otentik, spiritualitas yang dewasa, dan karakter ketakwaan yang substansial.

Di samping itu, keyakinan yang kokoh terhadap kehidupan akhirat merupakan pilar utama dalam pembentukan kesadaran etis dan tanggung jawab moral. Bagi orang bertakwa, kehidupan dunia bukanlah tujuan final, melainkan medan ujian menuju kehidupan yang abadi.

Oleh karena itu, setiap langkah hidup senantiasa ditimbang dengan neraca ukhrawi. Dalam suasana zaman yang penuh dengan relativisme moral, iman kepada akhirat menjadi penuntun batin yang menghadirkan akuntabilitas spiritual. Ia menjauhkan manusia dari perilaku destruktif dan mendorongnya untuk senantiasa berbuat kebaikan demi meraih keridhaan Tuhan di alam keabadian.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (Al-Hadid [57]: 20).

Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan permainan dan senda gurau. Dan sesungguhnya kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui. (Al-‘Ankabut [29]: 64).

Ayat yang agung ini menjadi semacam lentera spiritual bagi setiap Muslim yang merenungkan hakikat eksistensial kehidupannya. Ia mengingatkan kita dengan terang benderang bahwa dunia ini bukanlah tempat tinggal yang abadi. Dunia tidak lebih dari sebuah panggung fana yang menawarkan kesenangan sementara, sering kali menipu, dan sarat dengan jebakan kealpaan.

Dalam perspektif teologis, dunia digambarkan sebagai mamlakah al-ibtila’ (kerajaan ujian dan cobaan) bukan dar al-qarar (tempat menetap). Maka, kesadaran atas kefanaan ini adalah pangkal kesalehan dan fondasi spiritualitas yang kokoh.

Manusia sejatinya adalah musafir kehidupan. Ia tengah menempuh perjalanan panjang menuju kampung halaman abadi, yakni akhirat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Rasulullah ﷺ bersabda:

 “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau seorang musafir.” (HR. Bukhari).

Sabda profetik ini mengandung makna yang mendalam dan luhur. Seorang asing tidak akan mendirikan istana di tempat ia hanya berteduh sesaat. Ia sadar bahwa tempat tersebut bukanlah rumahnya. Seorang musafir tidak akan membebani dirinya dengan hal-hal yang tidak perlu dalam perjalanannya. Ia cukup membawa bekal seperlunya, karena yang utama baginya adalah mencapai tujuan akhir: dar al-akhirah.

Apabila manusia menjadikan dunia sebagai orientasi utama hidupnya, niscaya ia akan terperangkap dalam ilusi kesementaraan. Dunia yang bersifat lahiriah dan material, bila tidak disikapi secara bijak, dapat melalaikan manusia dari tujuan penciptaannya. Dunia laksana ladang tempat menanam amal; siapa yang bijak mengelola ladang itu dengan benih amal shaleh, kelak ia akan menuai hasilnya di akhirat.

Sebaliknya, mereka yang lalai akan pulang dengan tangan kosong. Ajal sebagai terminal akhir dari kehidupan dunia selalu hadir dalam dimensi waktu yang tak terduga. Tak ada seorang pun yang tahu kapan pintu itu akan terbuka dan perjalanan menuju keabadian akan dimulai.

Oleh karena itu, orang-orang beriman hendaknya tidak menaruh seluruh energinya untuk membangun dunia semata, melainkan menjadikan dunia sebagai jembatan menuju akhirat. Dalam istilah Imam al-Ghazali, dunia adalah mazra’at al-akhirah (tempat menanam untuk dituai di akhirat kelak).

Di sinilah letak pentingnya kesadaran eskatologis (al-wa‘y al-akhiri) dalam kehidupan seorang Muslim. Kesadaran ini bukan berarti mengabaikan dunia dan lari dari tanggung jawab sosial, tetapi menempatkan dunia secara proporsional dalam konteks perjalanan spiritual menuju keabadian. Dunia diusahakan dan dikelola, tetapi hati tetap tertambat pada akhirat.

Dunia tidak untuk disembah, melainkan untuk dijadikan ladang pengabdian. Kekayaan, jabatan, kekuasaan, dan kemegahan duniawi bukanlah tujuan hakiki, melainkan sarana yang harus digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hidup yang sesungguhnya adalah kehidupan di akhirat; dan hanya mereka yang mengetahui hakikat ini yang akan mampu menapaki dunia dengan bijak, dan akhirat dengan penuh harap.

Karakteristik orang bertakwa yang selanjutnya adalah kedudukan mereka yang hidup di atas petunjuk dari Tuhannya, "Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung". Ungkapan ini menandakan suatu posisi spiritual yang tinggi dan istimewa. Mereka tidak sekadar mengikuti petunjuk, tetapi sepenuhnya dilingkupi oleh cahaya hidayah.

Hidayah tersebut menjadi kompas moral dalam menavigasi kehidupan yang sarat dengan godaan dan tantangan. Orang bertakwa tidak terombang-ambing oleh arus zaman, tetapi tetap teguh pada prinsip-prinsip ilahiyah yang mereka anut. Mereka adalah teladan moral yang menghadirkan pencerahan dalam komunitasnya.

Akhirnya, Al-Qur’an menyematkan predikat “muflihun” kepada mereka, yaitu orang-orang yang beruntung. Keberuntungan yang dimaksud bukanlah keberuntungan artifisial yang diukur dengan parameter duniawi seperti kekayaan atau popularitas, melainkan keberuntungan sejati yang mencakup ketenangan batin, kebeningan hati, keberhasilan amal, dan keselamatan di akhirat. Dalam pandangan Al-Qur’an, orang bertakwa adalah manusia unggul yang berhasil menemukan makna hidup yang hakiki dan menjalani kehidupan yang terarah dan penuh berkah.

Karakter orang bertakwa sebagaimana ditafsirkan dari ayat-ayat awal surat Al-Baqarah sesungguhnya merupakan konstruksi ideal dari manusia paripurna dalam pandangan Islam. Ia tidak hanya bertauhid secara teologis, tetapi juga berakhlak secara sosial dan berorientasi eskatologis. Ketakwaan adalah puncak dari kesadaran spiritual yang membimbing manusia untuk hidup secara seimbang antara dimensi dunia dan akhirat.

Dalam konteks zaman kini yang ditandai oleh krisis spiritual, degradasi moral, dan ketimpangan sosial, menghadirkan kembali karakter orang bertakwa sebagai model manusia ideal adalah sebuah keniscayaan. Ia bukan hanya menjadi teladan, tetapi juga solusi bagi krisis multidimensi yang melanda kehidupan umat manusia.

Oleh karena itu, menjadi penting bagi setiap insan yang merindukan kehidupan yang bermakna untuk menapaki jalan takwa. Jalan ini memang tidak mudah, penuh liku dan tantangan. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an, hanya dengan takwa manusia akan memperoleh hidayah dan keberuntungan yang sejati. Maka, hendaknya kita semua senantiasa berupaya untuk menginternalisasi nilai-nilai takwa dalam seluruh aspek kehidupan, demi terwujudnya masyarakat yang adil, beradab, dan diberkahi oleh ridha Ilahi.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Apakah Allah ‘Memejamkan Mata’ terhadap Derita Rakyat Palestina? Oleh: Donny Syofyan, D....

Suara Muhammadiyah

10 June 2024

Wawasan

Membangun Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia Oleh: Prof. Dr. A. Junaedi Karso, Pengajar di FISI....

Suara Muhammadiyah

27 December 2024

Wawasan

Budaya versus Agama Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Saya ingin....

Suara Muhammadiyah

9 August 2024

Wawasan

Lailatul Qadar Untuk Semua Oleh: Kumara Adji Kusuma, Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo dan Wa....

Suara Muhammadiyah

30 March 2025

Wawasan

Anak Saleh (15) Oleh: Mohammad Fakhrudin "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui pr....

Suara Muhammadiyah

31 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah