Jalan Pikiran Ayah

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1352
Cerpen SM

Cerpen SM

Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Dan untuk yang kesekian kalinya, ayah mengulanginya lagi. Ayah sama sekali tidak kapok dengan tindakan-nya yang terus dilakukan. Ayah tetap melakukannya, meskipun ocehan mulut ibu terdengar lebih parah daripada suara petasan. Terkadang aku ikut-ikutan jengkel dengan ayah. Terkadang aku menjadi ikut-ikutan menegurnya, sebagaimana ibu menegur, hanya saja bedanya, aku tidak sampai marah-marah. Teguran-teguran itu tidak mempan. 

Lucunya, ayah tidak pernah menutup-nutupi apa yang telah dilakukan sesampai di rumah, setelah menjajakan bakso dengan berkeliling dari kampung ke kampung. Ayah tidak pernah takut dengan ibu. Ayah tidak pernah lelah dan bosan untuk menanggapi ucapan ibu. Kata-kata ibu yang diucapkan hanya itu-itu saja, yang intinya menyayangkan ayah. Ayah dianggapnya tidak berpikir mengenai keadaan rumah tangga. Sementara tanggapan ayah juga hanya itu-itu saja, yang berinti, kalau apa yang dilakukannya bukanlah kesia-siaan, sebab merupakan sebuah kebaikan. 

“Saya tidak pernah bisa memahami jalan pikiran ayah,” ucapku suatu ketika. “Saya paham dengan apa yang ayah katakan, kalau bersedekah itu memang tidak sia-sia. Tapi yang ayah lakukan itu sudah berlebihan.” 

“Berlebihan? Di mananya? Mengapa harus takut dengan hari esok, kalau tidak bisa makan? Rezeki Allah ada di mana-mana, tinggal kita mau menjemputnya apa tidak. Lagi pula, tanpa menjemput, Allah pun sudah memberikan kenikmatan,” respons ayah, semakin membuatku tidak paham. 

“Lagi pula, Allah tidak akan menutup mata. Kalau ia melakukannya, berarti Allah itu kejam. Apa yang telah kita lakukan, juga akan kembali ke diri kita, kamu paham bukan maksud ayah?”

“Tapi yang ayah lakukan sangat berlebihan. Bukankah sesuatu yang berlebihan juga tidak baik, sekalipun itu perbuatan yang baik?” Aku berusaha menyudutkan ayah. 

“Bagi ayah tidak. Perbuatan baik itu boleh dilakukan secara berlebihan. Mengapa perbuatan baik harus dibatasi? Atas dasar apa perbuatan baik dibatasi?” Aku malah yang dibuatnya tersudut, ucapan ayah membuatku tidak berkutik.

“Landasannya apa, Yah, kalau perbuatan baik, dalam hal ini bersedekah, boleh dilakukan secara berlebihan?” 

Ayah tidak menanggapi pertanyaanku dan hanya berlalu serta berkata kalau suatu ketika aku akan paham dengan yang telah dilakukan ayah—aku semakin tidak paham. 

Pertanyaan itu akan terhapus ketika keadaan kami sedang terjepit. Keluargaku memang tergolong keluarga pada tingkat menengah ke bawah. Kami cukup sering berada dalam keadaan yang terjepit, kehabisan uang. Ayah memang pernah mencoba menabung, tapi usahanya gagal, sebab pada suatu ketika ia harus menggunakan uang tabungannya untuk suatu keperluan yang mendesak dan penting. Jujur saja, penghasilan ayah hanya cukup digunakan untuk makan sehari-hari dan keperluan-keperluan primer rumah tangga lainnya. Aku bisa sekolah karena mendaftar program beasiswa keluarga tidak mampu. Ketika dalam keadaan terjepit, sangatlah tidak enak. 

“Coba kalau ayah itu tidak memberikan bakso-bakso ke orang-orang, ke gelandangan atau apalah itu! Kita tidak terjepit seperti ini! Tiga puluh ribu dikalikan berapa saja, yang sudah ayah lakukan selama ini!” kata ibu dengan nada tinggi. 

“Hanya tiga puluh ribu, Bu, lagi pula tidak setiap hari. Yang kita dapatkan jauh lebih besar. Ayah juga masih untung. Alhamdulillah ayah hampir tidak pernah rugi!” 

“Ayah selalu begitu. Yang kita dapatkan jauh lebih besar! Apa kita hidup mengandalkan keberuntungan saja? Keadaan kepepet seperti ini juga harus dipikirkan! Ayah seakan-akan tidak pernah memikirkan hal-hal seperti saat ini!” kata ibu. 

“Kata siapa ayah tidak memikirkan?” 

Di setiap langkah, aku seperti dipaksa untuk kembali memikirkan apa yang dilakukan ayah—aku sebenarnya sungguh tidak mau kepikiran akan hal itu. Aku kini berada di dua sisi—sejatinya tidak hanya sekarang, sudah sering aku mengalami demikian. Aku tidak pernah bisa benar-benar memihak ibu, sebab tidak bisa dibohongi juga, kalau yang ayah lakukan merupakan sebuah kebaikan. Sementara aku juga tidak pernah bisa benar-benar memihak ayah, nyatanya tidak satu dua kali keadaan terjepit menghampiri. 

Kalau dipikir-pikir yang dikeluarkan ayah hanya tiga puluh ribu setiap kali keliling. Itu pun tidak ayah lakukan setiap hari. Nominal yang sejatinya tidak begitu besar. Tiga puluh ribu hanya setara dengan tiga buah mangkok bakso. Artinya ayah bersedekah kepada tiga orang. Orang yang membutuhkan tentunya. Gelandangan hingga tukang becak. Kemudian pikiran itu bermuara pada apa yang telah diperoleh ayah. 

Memang terkadang keadaan kami terpepet, tapi jika diperhitungkan, keluarga kami sudah mendapatkan hal-hal yang tidak bisa dianggap sebagai hal yang kecil dan sering tidak terduga. Paling nyata adalah rumah. Rumah yang kutinggali sekarang adalah rumah pemberian teman-teman ayah. Mereka mengumpulkan uang dan memberikannya kepada ayah, sehingga ayah bisa punya rumah. Ayah memang pernah curhat kepada salah seorang temannya kalau ia ingin punya rumah sendiri. 

Selain rumah? Sepeda motor, almari kayu jati, laptop, mesin jahit hingga renovasi rumah, juga ayah dapatkan tanpa ia harus mengeluarkan keringat, yang mana harganya juga tidak murah bagi kami. Percaya atau tidak, semua itu datang sendiri ke rumah. Belum lagi teman ayah yang datang secara pribadi ke rumah, ayah kadang diberi sejumlah uang. Aku kembali ingat dengan ucapan ayah, semua akan kembali ke diri kita. Apakah semua itu terjadi hanya gara-gara ayah... 

Karena kejadian-kejadian ajaib itu, ayah pernah dituduh tetangga yang iri. Ayah dituduh menggunakan ilmu hitam. Memang kalau dipikir-pikir, semua itu tidak nalar. Sama sekali tidak bisa diterima dengan akal sehat. Ayah sudah sejak lama bersedekah tiga mangkok bakso perhari walaupun tidak setiap hari. Rasa-rasanya kebiasaan itu tidak mungkin dihilangkan dari diri ayah. Apakah ini semua yang membuat ayah tetap bertahan dan tidak goyah sama sekali dengan bentakan-bentakan ibu? 

“Semuanya akan kembali ke diri kita,” kata-kata ayah semakin terngiang-ngiang saat aku tiba di angkringan. 

Namun, ayah selalu bilang kalau apa yang didapatkan saat ini, jangan diambil keputusan kalau hal itu terjadi karena sedekah yang dilakukan. Apa yang didapatkan adalah semerta-merta karena kemurahan Allah. 

“Misalnya kamu bersedekah, kemudian lain hari mendapatkan sesuatu yang tidak terduga, kamu kemudian menghakimi kalau yang kamu dapat itu karena sedekah. Tidak bisa begitu. Kalau ternyata Allah tidak mengatur seperti itu? Memang ada pepatah yang mengatakan siapa yang menanam pasti akan menunai. Apa yang kita lakukan akan kembali ke diri kita, tapi kita tidak boleh menghakimi atas apa yang kita dapatkan,” terangnya. 

Ayah memang tidak pernah menghakimi kalau apa yang didapatkan karena yang dilakukan. Sama sekali tidak pernah. Ayah hanya bilang, semua akan kembali ke diri kita. 

Timbul pertanyaan, sampai kapan ayah akan demikian, membuat ibu marah? Apakah ayah akan berhenti bersedekah pada suatu hari karena sudah kesal dengan ibu? Atau ayah terus konsisten membagikan tiga mangkok bakso ke orang yang kelaparan kalau ia sedang keliling menjajakan dagangannya, untuk meyakinkan ibu kalau apa yang dilakukannya adalah hal yang benar? 

Aku menikmati segelas kopi hitam yang kupesan, tiba-tiba aku ingat dengan ucapan seorang ustaz, “Jika ada kesempatan untuk berbuat baik, gunakanlah!”•


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Presiden (tak) Lumrah Oleh Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangeran....

Suara Muhammadiyah

12 January 2024

Humaniora

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra Pada Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (2) te....

Suara Muhammadiyah

21 September 2023

Humaniora

Anak Minang Rantau: Sebuah Pembelajaran Oleh: Saidun Derani Kehadiran Awak Samo Awak (ASA) merupak....

Suara Muhammadiyah

1 February 2024

Humaniora

Cerpen Risen Dhawuh Abdullah  Suara jejarum hujan yang membentur atap seng teras tak dapat men....

Suara Muhammadiyah

8 March 2024

Humaniora

Cerpen Hamdy Salad Kalau saja seluruh media masa di negeri antah barantah itu tidak pernah menulis ....

Suara Muhammadiyah

20 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah