Imam Abu Hanifah: Peneroka Ahlul Ra’yi
Oleh: Donny Syofyan: Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Saya ingin menulis tentang Imam Abu Hanifah. Beliau adalah pendiri mazhab hukum yang paling banyak dianut dalam tradisi Sunni. Sejatinya beliau tidak secara sadar mendirikan mazhab hukum Islam baru. Dalam dunia akademis, kita membicarakannya sebagai eponim salah satu dari empat mazhab fikih Islam karena pada masa itu orang-orang tidak punya akan mendirikan sebuah mazhab.
Yang saya maksud dengan mazhab hukumsetelah para tokoh Muslim wafat, para pengikutnya mensistematisasikan pemikiran mereka dan mengkodifikasikan ajaran-ajaran mereka ke dalam banyak kitab. Ajaran-ajaran itu kemudian menjadi sebuah mazhab. Imam Abu Hanifah lahir pada tahun 699 Masehi, yang berarti sekitar 80 tahun dalam kalender Hijriah, atau sekitar 70 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Jadi beliau hidup dekat dengan masa Nabi.
Dalam masa hidupnya, banyak orang yang mengenal para sahabat Nabi Muhammad SAW. Mereka mendapatkan informasi dari pelbagai secara langsung. Meskipun demikian, Imam Abu Hanifah memiliki sederet guru yang dapat terpercaya, seperti Ibrahim al-Nakha'i. Beliau juga belajar dari banyak ulama pada masanya.
Beliau sendiri adalah seorang pedagang. Dikatakan awalnya Abu Hanifah memiliki pabrik kain, jenis kain tertentu, dan beliau juga berdagang dan menjual jenis kain ini. Namun kemudian, seorang yang lebih tua yang merupakan seorang ulama, Ibrahim al-Nakha'i, melihat beberapa kualitas baik dalam dirinya, terutama kecerdasannya. Dia menilai bahwa Abu Hanifah akan menjadi murid yang baik dan mulai mendorongnya untuk mendedikasikan dirinya untuk belajar dan mengajar agama, yang akhirnya beliau lakukan.
Pada zaman itu jika seseorang ingin mendedikasikan dirinya untuk belajar, maka ada banyak ulama. Maka Abi Hanifah mengunjungi dan berguru kepada banyak ulama untuk belajar. Pembelajarannya sebagian besar tidak formal, tetapi beliau mampu mensistematisasikan pembelajaran tersebut. Dengan kecerdasannya yang aktif, beliau mampu menyatukan berbagai hal. Kecerdasan beliau ini penting untuk disebutkan. Mazhab pemikirannya dikenal, setelah kematiannya, sebagai mazhab ra'yi atau pendapat. Itu karena beliau ingin memahami berbagai hal secara holistik.
Jika Anda memiliki satu hukum di sini dan hukum lain di sana, pasti ada beberapa prinsip menyeluruh yang menyatukan semuanya. Pasti ada beberapa tujuan yang lebih luas, beberapa ajaran yang lebih besar, yang menjadi dasar dari ajaran individu atau terperinci. Beliau akan melihat apa yang Al-Qur`an katakan, karena beliau tahu bahwa Al-Qur`an adalah firman Tuhan, dan apa yang dikatakannya harus lebih tinggi dari sumber lainnya.
Sedangkan ada sumber pembelajaran lain, seperti misalnya hadits yang menyebutkan tentang apa yang Nabi Muhammad SAW katakan atau lakukan, atau apa yang terjadi di hadapannya. Tetapi hadits-hadits ini bereder dari mulut ke mulut, dari satu orang ke orang lain, dengan cara yang terkadang tidak sepenuhnya dapat diandalkan. Jadi beliau memiliki prinsip-prinsipnya untuk menilai realibilitas (keandalan) pelbagai riwayat ini.
Misalnya, jika ada sesuatu yang jelas dari Al-Qur`an atau dengan analogi, maka belia mendasarkan atas apa yang jelas dari Al-Qur`an. Jika Al-Qur`an mengatakan sesuatu dan kita dapat menyimpulkan sesuatu yang lain dengan tingkat akurasi tertentu, maka meskipun ada sesuatu yang dilaporkan tentang Nabi yang bertindak atau berbicara secara berbeda, beliau tidak akan menggunakannya, karena beliau akan tetap berpegang pada apa yang jelas dari Al-Qur`an.
Beliau juga mencatat bahwa terkadang orang bisa membuat kesalahan dalam meriwayatkan, baik karena kesalahan dalam mengingat atau sesuatu yang bersifat alamiah ini. Beliau ingin melihat bahwa sesuatu yang sangat penting harus diriwayatkan oleh banyak orang agar dapat menjadi otoritatif dan dianggap akurat. Sebaliknya, Al-Qur`an pada kenyataannya diriwayatkan oleh banyak orang dari satu generasi ke generasi lainnya. Jadi umat Islam tidak ragu bahwa ini adalah firman Tuhan.
Tetapi ketika sesuatu disampaikan sebagai perkataan Nabi Muhammad SAW, ada beberapa pertanyaan tentang apakah beliau benar-benar mengatakannya atau tidak. Jadi banyak keputusan Imam Abu Hanifah berbeda dari mazhab lain, sebagian besar karena beliau mengandalkan Al-Qur`an dan beliau juga berpatokan pada prinsip-prinsip rasional untuk memastikan semuanya berada dalam kesatuan yang sistematis.
Sebagai ilustrasi mengapa ini penting, katakanlah ada yang berkata, “Mari kita ambil semuanya secara harfiah. Dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bertindak seperti ini. Jadi kita harus bertindak seperti itu terlepas dari apakah kita memahami alasannya atau tidak.” Sedangkan Imam Abu Hanifah memilih, “Apa prinsip keseluruhannya?” atau “Mengapa Nabi melakukan ini dan bukan yang lain?”
Pasti ada alasan di balik itu dan beliau akan mencoba untuk mendapatkan alasan itu sehingga alasan itu akan memandu kita di bidang kehidupan lain juga. Jika kita tahu apa yang Nabi lakukan, maka kita dapat membuat resep, bukan hanya untuk mengetahui apa yang Nabi lakukan pada satu kesempatan, tetapi untuk berpikir lebih luas tentang apa yang mungkin beliau lakukan pada kesempatan lain yang serupa atau berbeda.
Beliau tentu saja akan bertindak berbeda jika situasinya berbeda, sedangkan mereka yang mengambil segala sesuatu secara harfiah berpendapat, “Nabi melakukan itu, saya akan melakukannya terlepas dari apakah waktu atau keadaan berubah, begitulah cara Nabi bertindak. Saya akan bertindak dengan cara yang sama, terlepas dari apapun.” Tentu hal itu akan membuat banyak perbedaan.
Ada banyak contoh hal yang telah dilakukan orang berdasarkan cara yang terkait dengan Nabi, seperti yang beliau katakan atau lakukan. Kita tahu ini tidak hanya dari Abu Hanifah, tetapi bahkan sebelumnya. Umar mencium Hajar Aswad karena dia melihat Nabi menciumnya. Di satu sisi ini sebuah kesetiaan
Di sisi lain diriwayatkan ketika Nabi mengelilingi Ka'bah, ketika beliau menunaikan ibadah haji, beliau membuka bahu kanannya selama tiga putaran pertama dan beliau melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa umat Islam perlu kuat ketika berjalan. Ini mengundang pertanyaan, haruskah kita melakukan itu karena Nabi melakukannya? Atau apakah beliau melakukan itu untuk alasan tertentu? Di sini, pendapat para sahabat Nabi terbagi.
Nah Imam Abu Hanifah sejalan dengan mereka yang menggunakan akal sehatnya untuk mengatakan, "Jika ini dilakukan untuk suatu tujuan, maka jika tujuannya tidak ada lagi, maka tindakan itu juga tidak lagi diperlukan.”