Ilmu Kemurahan Hati

Publish

26 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
80
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ilmu Kemurahan Hati

Oleh: Hendar Riyadi, Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Bandung

ADA jiwa yang hilang dalam kepemimpinan, demokrasi, dan perilaku bisnis para elite bangsa dan juga sebagian masyarakat kita. Jiwa itu adalah kemurahan hati. Kepemimpinan, demokrasi, dan perilaku bisnis para elite bangsa kita masih memperlihatkan kepentingan pada perebutan kekuasaan dan kerakusan dalam akumulasi kekayaan. Bukan orientasi pada kemurahan hati untuk memperhatikan kaum yatim serta melindungi dan keberpihakan terhadap masyarakat miskin. 

Kedermawanan para elite kerap kali berupa bantuan uang tunai dan bantuan sosial ketika mendekati tahun-tahun pemilu yang sering kali menjadi tirani bagi warga bangsa yang tidak punya. Corporate Social Responsbility (CSR) yang ada cenderung bersyarat atau lebih sekadar CSR kosmetik, tidak autentik. Suatu kedermawanan yang sering kali mendikte dan merampas hak kebebasan untuk memilih. Suara hati dan aspirasi warga dimatikan atas nama kedermawanan yang justru jauh dari spirit kepemimpinan autentik, demokrasi substantif, dan bisnis yang berbasis etika, empati, dan welas asih.

Kemurahan hati sejatinya tidak hanya berarti kedermawanan dalam memberi kekayaan, uang tunai, atau bansos, tetapi memberi perhatian, empati, kesempatan, keadilan, pengakuan, dan ruang tumbuh untuk orang lain. Kemurahan hati itu adalah jiwa semesta. Semua makhluk dicipta dalam kerangka kemurahan hati Tuhan. Oleh karena itu, menghidupkan jiwa kemurahan hati dalam kepemimpinan, demokrasi, dan perilaku bisnis, hakikatnya adalah menghidupkan jiwa semesta ini. Maka, sudah seharusnyalah para elite bangsa kita untuk kembali dapat menghidupkan ilmu kemurahan hati ini dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam kepemimpinan, demokrasi, dan perilaku bisnis.

Ilmu Kemurahan Hati

Ilmu kemurahan hati atau yang disebut Patricia Snell Herzog (2020) sebagai science of generosity adalah sikap etis yang terpancar dari kekuatan moral diri sendiri. Kemurahan hati muncul sebagai intuisi moral. Semacam radar kepekaan etis yang merupakan hasil refleksi jiwa dan pikiran yang mendalam. Kemurahan hati berbeda dengan kedermawanan yang sekadar memberikan kebaikan atau pelayanan kepada orang lain. Berbeda pula dengan memberi manfaat karena tanggung jawab sosialnya, seperti CSR suatu perusahaan yang bersyarat (CSR kosmetik). Memberikan kebaikan atau kedermawanan seperti itu, menurut Theodore M. Lechterman dalam bukunya The Tyranny of Generosity (2022), bisa menjadi tirani (kezaliman dan kesewenang-wenangan). Misalnya, bisa berubah menjadi kuasa individu atau suatu kelompok yang mengancam fondasi masyarakat demokratis. 

Pada tahun-tahun pemilu, misalnya, kita melihat seseorang yang mempunyai properti dan kekayaan melimpah, bisa berbagi uang dan sembako, dengan menuntut warga penerimanya untuk memilih calon presiden tertentu atau jagoannya yang diusung. Artinya, seseorang yang mempunyai harta berlimpah, dapat mendikte (menentukan) segala urusan masyarakat melalui kedermawanannya. Terutama pada masyarakat dengan tingkat kesenjangan ekonomi yang sangat radikal (extreme disparity). Dalam hal ini, tentu pilihan keputusan menjadi lebih sensitif dan sudah dipastikan tidak akan jauh dari memilih sesuai dengan pilihan orang kaya yang ”seolah-olah dermawan” tadi. Kedermawanan semacam ini, tentu sangat jauh dari komitmen dan dasar-dasar demokrasi itu sendiri yang menjunjung tinggi kebebasan dan kesetaraan dalam menentukan urusan bersama dan kepentingan publik.

Sekali lagi, kemurahan hati yang merupakan intuisi moral atau kepekaan etis, jelas berbeda dengan memberikan kebaikan seperti kedermawanan di atas. Jika merujuk pada penjelasan Christian Smith dan Jonathan P. Hill (Patricia Snell Herzog, 2020), terdapat sembilan komponen atau unsur dari kemurahan hati (relational generosity). Di antaranya perhatian (attention), welas asih (compassion), keterbukaan untuk mau menyapa (open-handedness), perluasan diri (self-extension), luhur budi (magnanimity), investasi kegiatan yang lain (other-investment), keberanian (courage), ekspresi verbal (verbal expression), dan pengampunan (forgiveness). 

Kemurahan hati bagi Christian Smith dan Jonathan P. Hill, bukan sekadar perhatian biasa atau selintas, melainkan bentuk perhatian (attention) yang dirasakan oleh orang yang dibantu. Benar-benar hadir saat dibutuhkan, meski harus mengabaikan atau bahkan tidak mempedulikan kesenangan yang bersifat pribadi. Kemurahan hati yamng menampilkan sikap welas asih (compassion), merasakan apa yang dirasakan orang lain (empati), dan memberikan respons yang terbaik. Kemurahan hati yang menghadirkan keterbukaan (open-handedness) berupa kesediaan untuk menyapa, membantu, dan memperhatikan orang lain terlebih dahulu sebelum atau lebih dari mengurus diri sendiri serta rela berkorban. 

Kemurahan hati juga menjadi semacam perluasan diri (self extension), yakni kepedulian terhadap yang lain dan mengukur kebahagiaan berdasar sejauh mana orang yang dicintai bahagia dan berkembang. Ikut bahagia ketika orang lain bahagia. Kemurahan hati merupakan keluruhan budi (magnanimity), yakni tentang bersikap bijaksana dalam melihat masalah dengan mempertimbangkan sudut pandang orang lain, tanpa mengharap imbalan atau penghargaan. Kemurahan hati juga merupakan investasi dalam membesarkan orang lain (other investment). Aktif dalam aktivitas yang dirancang untuk membuat orang lain merasa dihargai. 

Kemurahan hati sejatinya merupakan keberanian (courage) dan kesediaan untuk mempertaruhkan reputasi atau perasaan demi membantu orang lain. Kemurahan hati sebagai bentuk pernyataan penghargaan dan penilaian positif terhadap orang lain (verbal expression). Terakhir, kemurahan hati adalah bentuk pemaafan dan pengampunan (forgiveness), yakni melepaskan dendam dan malah bersedia melanjutkan hubungan silarahim meski kepada orang yang telah menyakitinya. 

Kemurahan Hati sebagai Jiwa Kehidupan

Ilmu kemurahan hati di atas, sangat relevan diterapkan dalam segala bidang kehidupan. Akhir-akhir ini, kemurahan hati disebut-sebut sebagai inti demokrasi, kepemimpinan, dan bisnis. Musisi asal Argentina, Juan Carlos Baglietto (2023), antara lain menyebut, “Satu-satunya cara membangun demokrasi adalah dengan kebenaran dan kemurahan hati”. Demokrasi yang sehat dibangun atas dasar public trust dan public trust hanya tumbuh dari hati yang lapang, dermawan, dan terbuka. 

Di bidang kepemimpinan, Chris Proulx (2020), Chief Growth Officer di Hamentum, AS, mengatakan bahwa kemurahan hati dapat memengaruhi keputusan strategis dan membentuk interaksi seluruh organisasi dan ekosistemnya. Jadi, jika hakikat kepemimpinan adalah bagaimana mempengaruhi orang lain, kemurahan hati adalah cara mempengaruhi orang lain itu. Bahkan, bisa menentukan pilihan keputusan yang lainnya. Dalam buku 100 More Great Leadership Ideas, Jonathan Gifford (2018) mengatakan bahwa pasda saat sulit, bermurah hati dalam hal-hal kecil dapat menginspirasi rekan kerja untuk bekerja keras dan melakukan pengorbanan yang besar. Kepemimpinan masa depan tidak diperoleh melalui kepemimpinan yang kuat, tetapi oleh kepemimpinan yang murah hati dan peduli.

Sementara itu, dalam dunia bisnis, kemurahan hati disebut-sebut sebagai model bisnis abad ke-21 yang bisa membawa kesuksesan. Ekaterina Walter (2015), inovator bisnis dan pemasaran, penulis The Wall Street Journal, mengatakan bahwa rahasia kesuksesan terletak pada kemurahan hati. Oleh karena itu, menurut Walter, kemurahan hati terhadap mitra, karyawan, pelanggan, dan masyarakat secara keseluruhan perlu menjadi filosofi bisnis yang kuat. Bagaimanapun, kesuksesan adalah tentang menggabungkan rasa kemanusiaan dan kemurahan hati ke dalam hubungan apa pun, baik pribadi maupun profesional, termasuk dalam dunia bisnis. Apalagi pada era mesin otomatis saat ini, kemurahan hati menjadi semakin penting.

Kemurahan hati menekankan intensitas interaksi emosional. Jika ilmu pemasaran kontemporer memperkenalkan pendekatan atau model omnihouse (Kotler, Kartajaya, Hooi, Mussry, 2023), yaitu CI-EL (Creativity, Innovation, Entrepreneurial, Leadership) dan PIPM (Productivity, Improvement, Professionalism, Manajemen), kemurahan hati adalah jantung dari ilmu pemasaran tersebut. Ekonomi masa depan adalah ekonomi berbagi, bukan ekonomi berbasis kerakusan dan keserakahan.

Dalam pandangan dunia Islam, penciptaan alam semesta atau jagat raya ini merupakan wujud kemurahan hati Tuhan. Di antara bukti kemurahan hati itu, menurut Wahbah Al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (2009), Allah menundukkan alam semesta (langit dan bumi) dan mempersiapkannya menjadi lebih baik, memperluas dan menyempurnakan segala nikmat-Nya, baik lahir maupun batin. 

Alam dan seluruh alam semesta juga diciptakan berdasarkan hukum kemurahan hati, saling memberi, dan saling berkorban demi eksistensi yang lain. Bukti tersebut didukung oleh hasil penelitian terkini yang menunjukkan bahwa manusia adalah spesies yang dermawan (murah hati). Bahkan beragam spesies, seperti lebah, burung, semut tentara, ikan, kelelawar vampir, tikus, dan simpanse, semuanya menunjukkan wujud kemurahan hati atau yang banyak disebut sebagai perilaku prososial. Menurut laporan Sammer Allen dalam The Science of Generosity (2018) yang mengumpulkan lebih dari 350 studi dan meta studi tentang kemurahan hati, menunjukkan bukti bahwa manusia secara biologis diprogram untuk bermurah hati. 

Dalam kerangka hukum kemurahan hati di atas, sikap egois, mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan, serta perampasan hak publik dalam bentuk tirani, eksploitasi, sikap deleka dan telenges (bengis) merupakan pelanggaran terhadap hukum penciptaan tersebut. Meminjam budaya Melayu-Sunda, hukum kemurahan itu hanya dapat diwujudkan melalui jalan hidup silih asih, silih asah, dan silih asuh. Sejarah menunjukan bahwa kebangkrutan sebuah negara, bukan karena kekurangan sumber daya, melainkan karena para elitenya yang serakah dan tidak memiliki spirit kemurahan hati. Kemurahan hati adalah himpunan energi moral yang dapat menjaga keadaban suatu bangsa. Bila kemurahan hati ini hilang dari para elitnya, maka yang lahir adalah ketamakan, oligarki, kesenjangan ekstrem, korupsi, radikalisme sosial, dan ujung-ujungnya adalah runtuhnya martabat bangsa.

Menghidupkan Kembali Ilmu Kemurahan Hati

Ilmu kemurahan hati di atas sangatlah penting. Tidak hanya bermanfaat dalam membangun demokrasi, kepemimpinan, dan perilaku bisnis yang bermartabat dan berkeadaban. Lebih dari itu, ilmu kemurahan hati juga akan mampu memperkuat social capital melalui penguatan norma, public trust, dan jaringan (networking) dalam masyarakat serta warga bangsa. Oleh karena itu, barangkali tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa jika ingin memajukan kebaikan substantif dalam berdemokrasi, bisnis, serta kepemimpinan otentik dalam berbangsa dan bernegara, perlu menghidupkan kembali ilmu kemurahan hati tersebut. Kemurahan hati adalah mata uang moral dan bahan bakar peradaban. 

Satu hal yang mungkin perlu diperhatikan adalah bahwa kemurahan hati tidak dibangun seperti kedermawanan melalui pemberian uang tunai, bantuan sosial, atau CSR bersyarat yang sekadar kosmetik. Kedermawanan semacam ini hanya akan berujung pada tirani, kezaliman, dan kesewenang-wenangan atas hak publik, serta mengancam dasar-dasar masyarakat demokratis, kepemimpinan autentik, dan bisnis yang berbasis etika. Ilmu kemurahan hati sejatinya adalah bentuk pemberian perhatian, empati, kesempatan, keadilan, pengakuan, dan ruang tumbuh untuk orang lain, tanpa mengharap imbalan, penghargaan, dan balasan, baik itu yang bersifat proyek bisnis, dukungan politik, maupun kepentingan lainnya. Bukan juga kedermawanan yang lahir dari jiwa yang rendah (nafsu al-hayawaaniyyah) atau komitmen epithumia (nafsu perut ke bawah) serta thumos (sesuai dengan keinginan, ambisi, dan harga diri) dalam tradisi Platon. 

Tegasnya, kemurahan hati itu lahir dari kekuatan moral diri dan keluhuran budi pekerti yang kemudian tumbuh menjadi intuisi moral atau radar kepekaan etis sebagai hasil dari kedalaman refleksi jiwa/hati yang suci dan akal pikiran yang suci. Menghidupkan ilmu kemurahan hati dalam kepemimpinan, demokrasi, dan perilaku bisnis sangatlah penting, agar para elite dan warga bangsa kita lebih bertumbuh sensitivitas moralnya sehingga perhatian dan keberpihakan terhadap kaun yatama, fuqara, masakin, dan mustadh’afin menjadi orientasi autentik dalam perilaku politik kebangsaan kita. 

Dengan demikian, kemurahan hati bukanlah pilihan, melainkan kewajiban moral dalam menjaga masa depan bangsa. Tanpa kemurahan hati, kekuasaan akan menjadi tirani dan kesewenang-wenangan. Demokrasi akan menjadi semacam arena perebutan dan persaingan kepentingan. Sementara itu, bisnis akan bertumbuh menjadi mesin penindasan kaum duafa, sekaligus menjadi mesin perusak yang dapat menghancurkan ekosistem kehidupan secara luas. Wallahu a’lam.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Kapan kemenangan dari Allah akan datang? Banyak orang yang mengajukan pertanyaa....

Suara Muhammadiyah

13 November 2023

Wawasan

Restorasi Kemanusiaan melalui Puasa: Refleksi di Ujung Ramadhan Oleh: Dzar Fadli El Furqan, Ketua B....

Suara Muhammadiyah

28 March 2025

Wawasan

Kedewasaan Berpolitik Di Era Demokrasi Digital:Menyikapi Hasil Pemilu 2024 Oleh: Saifullah Bonto, S....

Suara Muhammadiyah

22 February 2024

Wawasan

Catatan Awal Tahun 2025: BPR Sedang Tidak Baik-baik Saja Oleh: Khafid Sirotudin, Ketua LPUMKM PWM J....

Suara Muhammadiyah

6 January 2025

Wawasan

Oleh: Kumara Adji Kusuma Ketika dunia berdiri di atas puing-puing Perang Dunia II, lahirlah sebuah....

Suara Muhammadiyah

2 July 2025