Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (17)

Publish

28 December 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
633
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (17)

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra

Di dalam “Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah” (IAMKS) ke-16 telah diuraikan kriteria kedua yang harus dimiliki oleh suami, yakni "mempergauli istri dengan baik" sebagai bagian dari akhlak mulia dengan merujuk kepada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat an-Nisa (4): 19. Satu di antara akhlak mulia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diuraikan adalah Shidiq dengan fokus "benar perkataan." Ada hal penting yang perlu kita pahami lebih bak lagi berkaitan dengan berkata yang benar substansinya dan benar juga cara mengatakannya. Berkata yang benar substansinya kiranya sudah menjadi pemahaman umum. Pada prinsipnya tiap muslim wajib berkata yang benar subtansinya, tidak berisi kebohongan.

Bagaimana halnya benar cara mengatakannya? Di dalam pergaulan, pasti terjadi komunikasi. Umumnya orang berkomunikasi dengan sarana verbal (kata-kata dan intonasi untuk mengatakannya). Dalam hal memilih kata, perlu diperhatikan baik-baik dua aspek, yakni ketepatan dan kesesuaian sebagaimana dijelaskan oleh Rustono dan Fakhrudin di dalam buku Bahasa Indonesia untuk Komunikasi Akademis  (BIKA) Edisi 2 (hlm. 60). Ketepatan berkaitan dengan makna, logika kata. Kata-kata yang dipilih harus dapat mengungkapkan gagasan. Di dalam bahasa Jawa misalnya ada kata-kata krama inggil "matur-ngendika", "maringi-ngaturi", dan "ngaturi-nimbali". Penggunaan kata-kata itu berbeda.

Cukup banyak penutur jati bahasa Jawa yang merancukannya, padahal mereka sarjana. Kerancuan penggunaan kata-kata itu tampak misalnya pada contoh berikut ini.

(1)Bapak matur punapa? (Yang betul, “Bapak ngendika punapa?”) ‘Bapak mengatakan apa?’ 

(2) Kula maringi arta. (Yang betul, “Kula ngaturi arta.”) ‘Saya memberikan uang.’

(3) Kula sampun nimbali Bapak ngantos kaping tiga, nanging Bapak boten pireng.  (Yang betul, “Kula sampun ngaturi Bapak ngantos kaping tiga, nanging Bapak boten midhanget.”) ‘Saya sudah memanggil Bapak sampai tiga kali, tetapi Bapak tidak mendengar."

Verba mengatakan, berbicara, memberi(-kan), memanggil, mendengar bersifat netral: dapat digunakan oleh siapa pun dan kepada siapa pun. Berbeda halnya kata-kata bahasa Jawa sebagaimana yang terdapat di dalam contoh (1) s.d. (3).

Kesalahan penggunaan kata harus dihindari Untuk itu, jika ingin berbahasa Jawa krama inggil dengan benar kita harus mau belajar serius. Demi kepraktisan dan mengurangi kesalahan penggunaan kata di dalam bahasa Jawa, lebih baik kita berbahasa Indonesia. Namun, ketika berbahasa Indonesia perlu diperhatikan penggunaan kata-kata seperti "situ, kamu" dan "kalian". Di dalam bahasa Indonesia percakapan, "situ" dapat digunakan sebagai sapaan kepada mitra  bicara (kepada orang kedua) sebaya, teman akrab, atau orang tua kepada anak misalnya di dalam kalimat, Kapan situ datang? 

"Kamu" dapat digunakan sebagai sapaan kepada orang kedua (mitra bicara) sebaya atau teman akrab atau orang tua kepada anak kecil. Demikian pula halnya "kalian" (yang merupakan kependekan dari kamu sekalian"). Dengan demikian, tidak tepat jika kata-kata itu digunakan untuk menyapa orang tua (apalagi ayah dan ibu).  Kita dapat menyapa dengan kata bapak, ibu, pakdhe, budhe, uwa, kakek, atau nenek.

Kita dapat mengatakan misalnya,

(4) Bapak mau ke mana? bukan Kamu mau ke mana?

(5) Alhamdulillah Bapak dan Ibu sehat bukan Alhamdulillah kalian sehat.

Kesesuaian berkaitan dengan, antara lain, pembicara dan mitra bicara, waktu dan tempat, dan maksud pembicaraan. Dengan kata lain, kesesuaian berhubungan dengan kaidah sosiolinguistis, kaidah psikolinguistis, dan kaidah pragmatis sebagaimana dijelaskan oleh Rustono dan Fakhrudin di dalam buku BIKA (hlm. 9-15).

Orang berbicara dalam keadaan marah sering menggunakan nada ketus atau nada tinggi. Namun, suami berbicara kepada istri (lebih-lebih lagi orang tua) dengan nada ketus atau nada tinggi apalagi dengan membentak-bentak sebagai wujud kekecewaan atau kekesalan, tidak mencerminkan akhlak mulia. Perlu dipahami dengan baik bahwa tegas terhadap istri dan keluarganya tidak berarti keras apalagi kasar.

Selain sarana verbal, sarana nonverbal misalnya gestur dan mimik digunakan juga ketika berbicara. Berbicara dengan orang tua sambil menunjuk-nunjuk ke wajah orang tua itu lebih-lebih dengan mata melotot bukan cara berbicara yang benar. Demikian pula menyela-nyela orang tua yang belum selesai berbicara pun mencerminkan akhlak buruk. Berbicara merupakan bagian dari cara bergaul. Jadi, berbicara yang benar hakikatnya bagian dari cara bergaul yang benar.

Di dalam IAMKS (17) ini diuraikan "benar pergaulan" (sidq al-mu’amalah).

Perilaku Bergaul dengan Benar

Di dalam buku Kuliah Akhlaq (hlm. 83) Yunahar Ilyas menjelaskan bahwa tiap muslim harus bergaul dengan benar, yakni tidak menipu, tidak khianat, dan tidak memalsu, rendah hati, dan bersikap benar dengan siapa pun. Mencintai atau membenci tidak berdasarkan nafsu, tetapi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menolong pun karena mengharap rida-Nya.  

Begitulah akhlak mulia yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bergaul tidak hanya dengan sesama muslim, tetapi juga dengan orang Yahudi. Beliau adalah Nabi, tetapi rendah hati. Bahkan, beliau pernah melakukan transaksi utang-piutang.  

Cinta karena Allah

Di dalam kenyataan ada suami yang berasal dari keluarga “terhormat” karena kaya, berpendidikan, berpangkat, dan berjabatan tinggi, sedangkan istri jika dibandingkan dari sudut pandangan itu berasal dari keluarga yang sebaliknya. 
Keadaan objektif yang demikian tidak membuat suami dan keluarganya sombong! Mereka tidak merendahkan istri dan keluarganya. Mereka memperlakukan istri dan keluarganya dengan baik.

Sementara tu, istri dan keluarganya tidak rendah diri. Mereka menghormati keluarga suami secara wajar. Tidak ada kecanggungan sama sekali.

Di dalam kenyataan ada laki-laki yang mencintai perempuan yang ibu, ayah, kakak, atau adiknya sakit mentalnya atau sakit lain yang bersifat permanen. Bahkan, mungkin pada usia pernikahan baru dua tahun istrinya mengalami kecelakaan sehingga kakinya tidak dapat berfungsi secara sempurna. Laki-laki yang cinta pada perempuan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak larut dalam kesedihan. Dia mampu mengembalikan keadaan itu kepada-Nya. Dia mampu menjalani hidupnya dengan tetap bersemangat. Malahan, dia merasa memperoleh kesempatan untuk makin dekat dengan-Nya. Ibadahnya makin mantap dan menghadapi keadaan yang demikian pun diniati sebagai bagian ibadah. Dia tetap bergaul dengan benar. 

Ada laki-laki yang menikah dengan perempuan yang saudaranya selalu minta uang. Ada lagi saudaranya yang mengatakan pinjam uang dan berjanji segera mengembalikannya, tetapi sudah berpuluh-puluh tahun tidak melaksanakan janji itu, bahkan, seakan-akan tidak pernah punya pinjaman. 

Dalam hal menyikapi perilaku yang demikian, suami tetap bergaul dengan benar!  Lagi-lagi, dia justru bersyukur karena merasa memperoleh kesempatan berbuat kebaikan. 

Begitulah akhlak pergaulan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat al-Hujurat (49): 13

يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَا رَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian, Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti."

Suami istri dan keluarganya yang mengamalkan isi ayat tersebut pasti memperoleh ketenteraman di dunia dan akhirat. Sebaliknya, keluarga yang tidak mengamalkannya pasti jauh dari ketenteraman.

Suami dan Keluarga Istri

Rumah tangga tidak hanya terdiri atas suami istri, tetapi juga keluarganya masing-masing. Ada orang tua suami dan orang tua istri. Jika istri adalah anak pertama dari tiga bersaudara, berarti ada dua adik istri. Jika istri adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, berarti ada dua kakak istri. Suami yang bergaul dengan benar pasti memperlakukan mereka dengan baik. Tentu ukuran perlakuan baik itu merujuk pada tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menantu harus berlaku baik terhadap mertua sebagai wujud “birrul walidain.” 

Suami yang saleh tentu sangat memuliakan mertua lebih-lebih lagi orang tua kandungnya. Dia selalu memperhatikan orang tua kandung dan mertuanya dengan penuh kasih sayang sesuai dengan tuntunan Islam. Dia selalu berusaha dengan berbagai cara mewujudkan perhatiannya kepada orang tua kandung dan mertuanya. Misalnya, mengunjunginya, meneleponnya atau menjawab telepon, sms, atau WA dari orang tua kandung dan mertuanya, dan memberikan hadiah pada saat tertentu.

Dia memberikan hadiah sesuai dengan kebutuhan orang tua dan mertua, bukan sesuai dengan keinginannya. Dia memberikan hadiah dan/atau bantuan sesuai pula dengan kemampuannya. Misalnya, rumah orang tua kandung berada di wilayah rawan banjir, maka diperbaikinya agar terhindar dari banjir. Di pihak lain dia mengetahui bahwa mertuanya memerlukan laptop, maka dibelikannya laptop. Pendek kata, suami yang bergaul dengan benar, tidak hanya kepada istri berlaku baik, tetapi juga kepada orang tuanya tanpa merasa terbebani.

Suami yang demikian merupakan kepala keluarga yang memelihara dirinya dan keluarganya dari siksa api neraka sebagaimana dijelaskan di dalam surat at-Tahrim (66): 6

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْۤا اَنْفُسَكُمْ وَاَ هْلِيْكُمْ نَا رًا وَّقُوْدُهَا النَّا سُ وَا لْحِجَا رَةُ عَلَيْهَا مَلٰٓئِكَةٌ غِلَا ظٌ شِدَا دٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَاۤ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."

Dia pun mengamalkan firman Allah Subḥanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an surat at-Taubah (9): 71 

وَا لْمُؤْمِنُوْنَ وَا لْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۘ يَأْمُرُوْنَ بِا لْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗ اُولٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah Subḥanahu wa Ta'ala. Sungguh, Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, 
warga Muhammadiyah, 
tinggal di Magelang Kota 

Iyus Herdiyana Saputra, 
dosen al-Islam dan Kemuhammadiyah, 
Universitas Muhammadiyah Purworejo


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Agusliadi Massere Cara menjalani kehidupan dan untuk memenuhi kebutuhan serta mencapai harapa....

Suara Muhammadiyah

22 January 2024

Wawasan

Menikmati (tanpa) Memiliki Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Wakil Sekretaris LPCRPM....

Suara Muhammadiyah

19 June 2024

Wawasan

Hikmah Hijrah (Serial Kehidupan SAW)  Oleh : Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univers....

Suara Muhammadiyah

27 September 2024

Wawasan

“Ikhtiar Guru Muhammadiyah Wujudkan Pendidikan Unggul Berkemajuan” Tepat pada tanggal 2....

Suara Muhammadiyah

23 November 2023

Wawasan

Oleh: Ayu Nadya, Mahasiswa S1 Akuntansi Tahun 2021 ITB Ahmad Dahlan Program KKN Plus Institut Tekno....

Suara Muhammadiyah

6 September 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah