Oleh: Firmansyah, Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah/Aktivis Aliansi Serikat Pekerja BUMD Jakarta Raya
Lebaran tahun ini menghadirkan suguhan berbeda di layar lebar. Dua film horor Indonesia— Pabrik Gula dan Qodrat 2 —tampil nyaris bersamaan, membawa penonton pada kengerian yang tak hanya datang dari makhluk gaib, tapi juga dari sistem yang diam-diam telah lama menghantui dunia kerja: eksploitasi, keserakahan, dan ketimpangan relasi industrial.
Yang menarik, kedua film tersebut menjadikan pabrik sebagai panggung utama kekacauan. Pabrik yang semestinya menjadi ruang produktif dan penuh asa, justru digambarkan sebagai tempat persembahan nyawa demi keberlangsungan bisnis. Tapi yang lebih mengusik, bagaimana peran pekerja dan Serikat Pekerja digambarkan dalam dua film itu—dan bagaimana keduanya sebenarnya sedang memantulkan kenyataan yang tak jauh dari kita.
Pabrik Tanpa Suara Pekerja
Dalam Pabrik Gula, tidak sekali pun kita melihat keberadaan Serikat Pekerja. Buruh hanya ada sebagai latar: mereka menghilang satu per satu, namun tak ada perlawanan, tak ada penyelidikan, bahkan tak ada suara. Mereka hanyalah roda dalam mesin produksi yang tak pernah berhenti, sekalipun nyawa manusia menjadi harga yang harus dibayar. Ini adalah potret getir tentang relasi kerja yang timpang—di mana pekerja tak memiliki daya tawar, tak memiliki representasi, dan tak memiliki ruang bicara.
Ketika Serikat Pekerja absen, maka yang lahir adalah ketakutan kolektif yang bisu. Film ini seolah ingin berkata: tanpa serikat, buruh hanya akan menjadi tumbal dalam pabrik-pabrik keserakahan.
Ketika Serikat Menjadi Penjaga Gerbang Neraka
Namun Qodrat 2 menampilkan wajah lain yang tak kalah gelap: adanya Serikat Pekerja yang justru menjadi bagian dari skema penumbalan pekerja. Serikat ini tidak lagi mewakili kepentingan buruh, melainkan bersekongkol dengan pemilik modal untuk mempersembahkan nyawa demi kekayaan. Di sinilah pengkhianatan menjadi tema besar—sebuah ironi ketika lembaga yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi algojo.
Meski terdengar ekstrem, narasi ini bukan tanpa rujukan di dunia nyata. Sejumlah kasus menunjukkan bagaimana sebagian Serikat Pekerja mengalami distorsi fungsi: terlalu dekat dengan manajemen, terlalu politis, atau terlalu elitis. Kepercayaan buruh pun runtuh, dan serikat kehilangan wibawa sebagai kekuatan sosial.
Refleksi untuk Dunia Nyata dan Islam Berkemajuan
Kedua film horor ini sesungguhnya tidak hanya sedang bercerita tentang setan atau pabrik tua, melainkan tentang sistem. Sistem kerja yang memungkinkan manusia dikorbankan, suara buruh dibungkam, dan relasi kuasa dibiarkan timpang. Dan inilah horor sejati yang mengintai keseharian kita.
Dalam pandangan Islam Berkemajuan yang diperjuangkan Muhammadiyah, kerja adalah bagian dari ibadah dan harus dikelola dengan nilai keadilan (al-‘adl), kemanusiaan (al-insaniyyah), serta keberpihakan pada yang lemah (al-mustadh‘afin). Islam memuliakan pekerja dan menempatkan hak-haknya sebagai bagian dari maqashid syariah—tujuan luhur syariat untuk menjaga martabat manusia.
Begitu pula Serikat Pekerja, dalam kerangka nilai Islam, semestinya menjadi jalan amar ma’ruf nahi munkar di tengah dunia kerja. Bukan hanya memperjuangkan upah, tetapi juga menegakkan keadilan struktural, menjaga martabat manusia, dan menolak segala bentuk persekongkolan yang merugikan semua pihak, khususnya pekerja. Serikat yang baik adalah yang transparan, amanah, dan menolak jalan pintas kekuasaan.
Menolak Tumbal, Membangun Dialog
Sudah saatnya kita menolak logika tumbal dalam dunia kerja. Usaha tak bisa bertahan di atas penderitaan pekerja. Dan pekerja tak bisa hanya menjadi angka statistik dalam laporan produksi. Keharmonisan hubungan industrial hanya mungkin terjadi bila ada keadilan, transparansi, dan partisipasi yang bermakna dari para pekerja melalui serikat yang sehat.
Pilar hubungan industrial yang berkemajuan meniscayakan peran negara yang adil, pengusaha yang beretika, dan Serikat Pekerja yang cerdas serta berakhlak. Nilai-nilai ini sejalan dengan prinsip tajdid (pembaruan) dalam Islam: terus memperbaiki sistem agar manusia tidak terjerumus dalam kezaliman struktural.
Pabrik Gula dan Qodrat 2 boleh saja berakhir di layar bioskop, tapi pesan yang mereka bawa jauh lebih penting dari sekadar hiburan. Keduanya menyorot sesuatu yang nyata: bahwa horor terbesar dalam dunia kerja bukan hantu, melainkan sistem yang menindas dalam diam. Sistem yang bisa kita ubah—asal kita punya keberanian.
Maka, mari kita lawan horor itu—dengan solidaritas, dengan keberanian bicara, dengan membangun kembali Serikat Pekerja yang jujur, demokratis, dan berpihak pada kehidupan. Karena di mata Islam, tidak ada kekayaan yang halal jika ia dibangun dari darah dan air mata manusia yang tertindas.