YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Ambisi Indonesia memperluas pengaruh ekonomi global melalui ekspansi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menjadi sorotan, terutama di tengah upaya pemerintah membentuk arah baru diplomasi ekonomi pada era Presiden Prabowo Subianto. Penggunaan BUMN sebagai instrumen strategis untuk membuka pasar di kawasan non-tradisional seperti Amerika Latin dinilai semakin relevan ketika ketergantungan Indonesia terhadap pasar lama perlu mulai dikurangi.
Isu tersebut mengemuka dalam peluncuran buku Ambisi Global BUMN: Kuasa Negara dan Pertaruhan Ekspansi di Amerika Latin pada Jumat (21/11). Buku ini ditulis oleh para akademisi Program Studi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), berdasarkan penelitian hampir satu tahun yang memetakan peluang, tantangan, serta strategi ekspansi BUMN ke kawasan Amerika Latin.
Co-Editor sekaligus salah satu penulis buku, Prof. Faris Al-Fadhat, M.A., Ph.D., mengungkapkan bahwa karya tersebut hadir untuk memberikan pemahaman lebih jernih mengenai pergeseran kebijakan luar negeri Indonesia yang kini menekankan diplomasi ekonomi dan penetrasi BUMN ke pasar global.
“Amerika Latin sudah lama tidak menjadi prioritas kerja sama Indonesia, padahal potensi pasarnya sangat besar. Ada peluang ekonomi yang terus tumbuh, tetapi belum sepenuhnya direspons oleh BUMN kita,” ujar Faris.
Faris menambahkan bahwa ekspansi BUMN merupakan strategi yang telah dirintis sejak era Presiden Joko Widodo dan berlanjut pada pemerintahan saat ini. Konsolidasi BUMN ke dalam 12 klaster menjadi fondasi penting untuk memperkuat posisi perusahaan negara dalam kompetisi global. Menurutnya, Amerika Latin merupakan kawasan dengan potensi besar, namun masih minim dieksplorasi jika dibandingkan dengan Eropa, Asia Tenggara, maupun Afrika.
“Ke depan, holding company akan semakin sedikit, dan itu memperjelas arah peran BUMN dalam ekspansi luar negeri,” jelasnya.
Riset yang menjadi fondasi penulisan buku ini juga mendapat dukungan Direktorat AMEROP Kementerian Luar Negeri dan melibatkan wawancara dengan puluhan perwakilan Indonesia di kawasan Amerika Latin.
Dalam sesi tanggapan, Hangga Fathana, M.A., dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII), menilai buku ini mengisi kekosongan penting dalam literatur hubungan internasional Indonesia. Ia menjelaskan bahwa masih sedikit penelitian yang menempatkan BUMN sebagai instrumen geopolitik dan geoekonomi dalam kebijakan luar negeri.
Menurut Hangga, BUMN bukan sekadar perusahaan milik negara, tetapi instrumen strategis dalam memperluas pengaruh Indonesia di tingkat regional maupun global.
Ia juga menyoroti relevansi Amerika Latin yang kerap terabaikan dalam kajian akademik maupun kebijakan praktis. Kawasan tersebut, menurutnya, memiliki dinamika politik, ekonomi, dan sejarah kolonial yang dapat menjadi rujukan bagi Indonesia dalam membangun model diplomasi baru.
“Amerika Latin bisa menjadi laboratorium untuk eksperimen diplomasi baru kita. Kawasan ini bukan hanya pasar besar, tetapi juga arena kontestasi global antara Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa,” ujar Hangga.
Meski demikian, alumni Prodi Hubungan Internasional UMY tersebut mengingatkan bahwa ekspansi BUMN ke luar negeri harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas diplomasi ekonomi. Hambatan koordinasi antarlembaga dan minimnya diplomat ekonomi yang memahami konteks negara tujuan dapat menghambat efektivitas langkah Indonesia.
“Tantangan antarkementerian itu masih besar. Tanpa strategi yang jelas dan prioritas sektoral, ekspansi BUMN bisa berjalan reaktif, bukan strategis,” pungkasnya. (ID)


