Dinding Kesucian dalam Interaksi: Memahami Batasan Non-Mahram dalam Keseharian Muslim

Publish

24 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
121
pixabay

pixabay

Dinding Kesucian dalam Interaksi: Memahami Batasan Non-Mahram dalam Keseharian Muslim

Oleh : Ahmad Afwan Yazid, M.Pd, Wakil Kepala SD Muhammadiyah 4 Kota Malang, Praktisi Pendidikan dan Parenting Keluarga

Pagi itu, keriuhan kantor modern seolah menelan kita dalam pusaran profesionalitas yang serba cepat. Di meja sebelah, seorang kolega laki-laki dan perempuan sedang tertawa renyah, membahas rencana akhir pekan setelah menyelesaikan sebuah proyek besar. Bahkan ada pula yang duduk berdampingan tanpa menghiraukan batasan mahram diantara mereka. Pemandangan ini, yang kini sangat lumrah, memaksa kita untuk berhenti sejenak dan merenungkan: di manakah batas yang ditarik oleh iman dalam interaksi sosial kita?

Sebagai seorang Muslim, kita dihadapkan pada sebuah diktum agung: kesempurnaan iman tercermin dalam kesucian interaksi. Islam, dalam kebijaksanaannya, tidak melarang interaksi sosial, sebab hidup bermasyarakat adalah fitrah. Namun, Syariat hadir bak arsitek ulung yang membangun 'dinding kesucian' (batasan) yang kokoh antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, bukan untuk mengisolasi, melainkan untuk melindungi kehormatan dari godaan sekecil apa pun yang mungkin muncul.

Pintu-Pintu Godaan yang Tertutup Rapat

Fenomena percampuran yang longgar (ikhtilat yang tidak syar'i) telah menjadi tantangan terbesar di era ini. Di kampus, ruang rapat, bahkan di grup pesan daring, garis antara profesionalitas dan keakraban pribadi seringkali kabur. Kita cenderung meremehkan interaksi yang tampak polos, lupa bahwa godaan (fitnah) bekerja secara bertahap, mulai dari pandangan mata hingga merusak hati.

Allah SWT, Dzat Yang Maha Mengetahui kelemahan hati manusia, telah memberikan resep pencegahan yang sempurna. Resep itu dimulai dari perintah yang paling mendasar: menundukkan pandangan (Ghadhdhul Bashar).

قُلْ لِّـلۡمُؤۡمِنِيۡنَ يَغُـضُّوۡا مِنۡ اَبۡصَارِهِمۡ وَيَحۡفَظُوۡا فُرُوۡجَهُمۡ​ ؕ ذٰ لِكَ اَزۡكٰى لَهُمۡ​ ؕ

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka...'" (QS. An-Nur: 30).

وَقُلْ لِّـلۡمُؤۡمِنٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ اَبۡصَارِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوۡجَهُنَّ

"Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya...'" (QS. An-Nur: 31).

Menundukkan pandangan bukanlah berarti menatap tanah, melainkan sebuah filter batin. Ia adalah pengakuan bahwa pandangan pertama, yang tidak disengaja, mungkin dimaafkan, tetapi pandangan kedua yang disengaja adalah benih syahwat yang mulai ditanam di hati. Perintah ini berlaku universal, menekankan bahwa tanggung jawab menjaga kesucian interaksi dipikul oleh kedua belah pihak.

Selanjutnya, batasan diperkuat pada lisan. Kita diingatkan bahwa suara, terutama bagi perempuan, bisa menjadi daya tarik. Oleh karena itu, Allah melarang kelembutan suara yang berlebihan saat berbicara dengan non-mahram:

وَمَنۡ يَّقۡنُتۡ مِنۡكُنَّ لِلّٰهِ وَرَسُوۡلِهٖ وَتَعۡمَلۡ صَالِحًـا نُّؤۡتِهَـآ اَجۡرَهَا مَرَّتَيۡنِۙ وَاَعۡتَدۡنَا لَهَا رِزۡقًا كَرِيۡمًا‏

"Maka janganlah kamu tunduk (melembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS. Al-Ahzab: 32).

Komunikasi haruslah formal, jelas, dan dihiasi dengan adab yang baik, menjauhkan segala bentuk rayuan atau canda yang dapat membuka celah bagi hati untuk terpaut pada yang bukan haknya.

Dinding Paling Penting: Larangan Berduaan (Khalwat)

Jika pandangan adalah pintu gerbang, maka berduaan (khalwat) adalah gerbang utama yang harus dikunci rapat. Rasulullah SAW bersabda dengan tegas:

 لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

"Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian berkhalwat (berduaan) dengan seorang perempuan, kecuali bersama mahramnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini mengandung pelajaran psikologis yang mendalam: dalam kesunyian, godaan menjadi lebih kuat. Setan akan menjadi pihak ketiga yang memanipulasi pikiran dan perasaan. Khalwat digital, seperti percakapan intens dan pribadi melalui aplikasi pesan, sama berbahayanya dengan khalwat fisik. Keakraban emosional yang terjalin di sana seringkali menjadi akar dari kehancuran rumah tangga.

Inilah mengapa bagi seorang Muslim, pertemuan harus selalu bersifat publik, terbuka, dan jika menyangkut pekerjaan, haruslah efisien dan to the point. Batasan ini bukan hanya tentang menghindari dosa besar, tetapi tentang menghormati dan menghargai kesucian hubungan yang telah diikat secara sah.

Amanah Terberat Bagi Yang Sudah Menikah

Batasan ini memiliki bobot yang jauh lebih berat bagi mereka yang telah mengucapkan janji suci pernikahan. Interaksi yang longgar dengan non-mahram bukan hanya melanggar perintah Allah, tetapi juga mengkhianati amanah pasangan. Kepercayaan dan ketenangan rumah tangga yang dalam Islam disebut Sakinah akan runtuh jika ada celah emosional yang terisi oleh orang lain.

Setiap sentuhan, setiap pandangan berlama-lama, setiap curahan hati yang lebih dalam kepada kolega non-mahram ketimbang kepada pasangan, adalah bentuk perselingkuhan emosional yang menghancurkan. Rasulullah SAW bahkan memberikan peringatan keras tentang sentuhan:

لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ

"Sungguh, jika kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya." (HR. Ath-Thabrani).

Rasa cemburu (ghirah) yang dimiliki seorang suami atau istri adalah fitrah yang harus dihormati. Ketika seorang Muslim atau Muslimah menjaga jarak dengan non-mahram, ia sedang menjalankan ghirah-nya terhadap pasangannya, dan itu adalah tindakan yang dicintai oleh Allah. Ia menunjukkan bahwa prioritas emosi dan kehormatan dirinya sepenuhnya didedikasikan untuk ikatan pernikahan.

Menjaga Kehormatan di Tengah Modernitas

Menjalankan batasan non-mahram di tengah masyarakat modern mungkin terasa menantang. Namun, ini adalah ujian keimanan dan konsistensi kita. Dalam lingkungan kerja, kita harus mampu menegaskan profesionalitas tanpa harus menumbuhkan keakraban yang melampaui batas syariat. Kita harus bisa bersikap ramah tanpa menjadi genit, dan berkomunikasi efektif tanpa membuka ruang untuk khalwat. Bahkan ketika diberikan tugas bersama sebisa mungkin tetap menjaga kehormatan diri, tidak duduk berdampingan jika memungkinkan. Laki-laki menjaga diri dengan duduk bersama laki-laki, perempuan menjaga diri dengan duduk sesama perempuan.

Pada akhirnya, dinding pembatas ini bukanlah penjara, melainkan benteng pelindung. Ia melindungi hati dari gejolak nafsu, melindungi rumah tangga dari kehancuran, dan melindungi masyarakat dari kekacauan moral. Bagi seorang Muslim, menjaga batasan interaksi non-mahram adalah sebuah deklarasi ketaatan yang elegan: kita memilih jalan kesucian yang telah diatur oleh Sang Pencipta, demi meraih ketenangan di dunia dan kebahagiaan abadi di Akhirat.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Darurat Pornografi Digital – Saatnya Negara Hadir Menyelamatkan Generasi Oleh: Ade Firman, Ak....

Suara Muhammadiyah

22 May 2025

Wawasan

Hikmah Syawalan: Empat Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Ibadah Oleh: Tito Yuwono, Ph.D, Dosen....

Suara Muhammadiyah

24 April 2024

Wawasan

Re-branding Organisasi Kemahasiswaan : Membangun Citra dan Makna IMM untuk Semua  Oleh: Pheby ....

Suara Muhammadiyah

25 March 2025

Wawasan

Muslim Mukmin yang Berpartisipasi Aktif dan Arif dalam Permusyawarahan dan Kegiatan Masyarakat Oleh....

Suara Muhammadiyah

23 October 2025

Wawasan

Imajinasi Memajukan Kesejahteraan Bangsa Oleh: Hendar Riyadi, Wakil Rektor I Universitas Muhammadiy....

Suara Muhammadiyah

18 November 2025