Oleh: Rusydi Umar, Dosen S3 Informatika UAD, Anggota MPI PP Muhammadiyah 2015-2022
Beberapa waktu lalu, seorang tokoh Muhammadiyah yang cukup dikenal sempat melontarkan pandangan yang menggelitik: penyembelihan hewan disebut tidak memberikan dampak signifikan bagi mustahik. Argumennya sederhana namun provokatif — daging yang diberikan akan dikonsumsi dan dalam dua-tiga hari hanya akan menjadi kotoran.
Pernyataan ini memancing perenungan sekaligus diskusi yang luas. Sebagai umat Islam, tentu kita harus terbuka terhadap evaluasi praksis keagamaan kita. Namun, dalam konteks ibadah, khususnya di Indonesia, ada dimensi yang jauh lebih dalam dari sekadar distribusi daging — yakni daya ungkit ekonomi yang mengalir dari proses itu sendiri.
Ekonomi: Rantai Manfaat yang Luas
Bukan sekadar ritual ibadah, ia adalah peristiwa ekonomi tahunan yang berdampak besar. Ketika jutaan umat Islam membeli hewan, mereka sesungguhnya sedang menggerakkan berbagai sektor ekonomi sekaligus:
1. Peternak dan pedagang hewan: ribuan peternak kecil di desa-desa Indonesia mengandalkan momen Idul Adha sebagai puncak pendapatan tahunan mereka. Satu ekor sapi yang terjual bisa berarti biaya masuk kuliah bagi anak, pelunasan utang, atau modal usaha baru. Skala besar maupun kecil, mereka semua menikmati efek langsung dari pasar kurban.
2. Bisnis pendukung: transportasi hewan, penjual pakan, tukang kayu pembuat kandang, bahkan tukang sabit untuk memotong rumput — semua ikut mendapat berkah. Ini menciptakan efek berganda yang berantai.
3. Pekerja musiman dan panitia: dalam proses penyembelihan, muncul pula lapangan kerja temporer: jagal, pengangkut, pengemas, pencatat, pembeli perlengkapan. Menariknya, sebagian dari mereka justru berasal dari kalangan mustahik itu sendiri. Artinya, mustahik tidak hanya menjadi penerima daging, tetapi juga pelaku aktif dalam proses ekonomi.
4. Belanja operasional: mulai dari pembelian kantong plastik, pisau, alat timbang, hingga sewa tenda — semua membutuhkan transaksi ekonomi yang menyentuh UMKM lokal.
Bila dikalkulasi, menurut data tahun-tahun terakhir, nilai transaksi hewan di Indonesia bisa mencapai lebih dari Rp27 triliun. Angka ini luar biasa, dan menunjukkan betapa ibadah kurban menggerakkan roda ekonomi riil dengan daya sebar yang merata.
Tapi Bukankah Uang Lebih Efisien?
Tentu, dari sudut pandang efisiensi distribusi, memberi uang kepada mustahik memang tampak lebih praktis. Tidak perlu biaya jagal, logistik, dan distribusi. Uang Rp300 ribu bisa langsung digunakan mustahik untuk membeli kebutuhan yang paling mereka perlukan.
Namun dalam teori ekonomi makro, kita memahami bahwa bagaimana uang itu dibelanjakan sangat menentukan siapa yang menerima manfaat berikutnya. Uang yang diterima lalu dibelanjakan di warung akan menguntungkan pemilik warung. Pemilik warung lalu belanja ke grosir, dan begitu seterusnya. Ini disebut multiplier effect, dan benar: uang tidak pernah hilang dari sistem.
Pertanyaannya adalah: Apakah efek itu lebih besar dari efek yang dihasilkan oleh penyembelihan hewan kurban? Jawabannya: tidak selalu.
Menciptakan efek hulu ke hilir — dari peternak hingga mustahik — dan menjangkau banyak pelaku ekonomi yang kerap terpinggirkan dalam siklus konsumsi normal. Bahkan uang yang masuk ke sektor peternakan bisa menjadi modal untuk produksi masa depan. Bukan konsumsi sesaat; ia adalah investasi sosial tahunan.
Analogi Ekonomi: Menyiram Sawah vs Menyiram Aspal
Memberi uang tunai bisa diibaratkan menyiram air di atas aspal panas — cepat meresap, cepat kering. Sementara ibarat menyiram sawah — butuh tenaga, tapi menumbuhkan kehidupan. Dalam jangka panjang, kurban lebih menjanjikan sustainability karena mendorong produktivitas, bukan sekadar konsumsi.
Bahkan dalam skenario ekstrem, jika uang Rp1 triliun dibakar, itu pun akan berdampak pada ekonomi: jumlah uang beredar turun → daya beli uang tersisa naik → terjadi deflasi. Maka, dalam teori ekonomi moneter, memang uang tidak pernah benar-benar hilang dari sistem.
Namun, kembali lagi, kita harus bertanya: Apakah ibadah hanya soal efisiensi moneter?
Nilai Spiritual dan Sosial
Bukan hanya tindakan ekonomi. Ia adalah bentuk taqarrub ilallah, ekspresi ketaatan yang meneladani Nabi Ibrahim. Dalam hal ini, mayoritas ulama sepakat bahwa kurban adalah ibadah yang mahdhah — tidak bisa digantikan dengan uang, sebagaimana salat tidak bisa diganti dengan donasi.
Di sisi lain, juga memperkuat kohesi sosial umat. Dalam satu kampung, mereka yang kaya dan miskin berkumpul di halaman masjid, menyaksikan penyembelihan, ikut menguliti, mengemas, dan membagikan. Terjadi interaksi yang penuh nilai kemanusiaan. Uang, seberapa pun besar jumlahnya, tidak mampu menciptakan suasana itu.
Jangan Kurangi Makna
Mengganti hewan dengan uang mungkin terdengar progresif. Tapi dalam konteks Indonesia, di mana ekonomi umat masih bertumpu pada sektor informal, peternakan rakyat, dan solidaritas sosial — merupakan alat distribusi kekayaan yang sangat efektif.
Ia menghidupkan ekonomi desa, memberi pekerjaan musiman, menyediakan akses protein hewani bagi masyarakat kecil, dan memperkuat rasa persaudaraan. Tak hanya tentang memberi, tapi juga tentang menggerakkan.
Jadi, jangan reduksi makna menjadi sekadar "daging yang jadi kotoran". Ia adalah katalis ekonomi umat. Kurban bukan soal dagingnya, tapi tentang perputaran berkah yang mengikutinya.