MALANG, Suara Muhammadiyah - Hari Raya Idulfitri tidak hanya soal kemenangan setelah sebulan berpuasa, tetapi juga tentang upaya mempertahankan identitas, terutama bagi umat Islam yang hidup di tengah masyarakat non-Muslim. Inilah yang dirasakan oleh komunitas Muslim di Budapest, Hungaria — sebuah negara dengan mayoritas penduduk beragama Katolik dan sedikit pemahaman terhadap Islam. Nafik Muthohirin, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang kini sedang menjalani studi doktoral di Eötvös Loránd University (ELTE), Budapest, menggambarkan pengalaman berlebaran di Hungaria sebagai sesuatu yang emosional sekaligus reflektif.
“Ramadan dan Idulfitri di Budapest bukan sekadar soal ibadah, ini adalah upaya konsisten mempertahankan iman dan kebersamaan dalam kondisi yang tidak ideal. Tantangan pertama yang paling terasa adalah waktu puasa yang panjang. Kami berpuasa sekitar 16 jam setiap hari. Matahari terbenam bisa sekitar pukul 8 malam, dan itu menguras energi, terutama bagi mahasiswa dan pekerja migran yang memiliki aktivitas padat,” jelasnya.
Meski tantangan sebagai Muslim minoritas cukup berat, Nafik menyampaikan bahwa hal itu terbayar oleh kuatnya solidaritas antar sesama Muslim di Budapest. Ia mengungkapkan bahwa keberadaan masjid-masjid komunitas memiliki peran krusial dalam menjaga spiritualitas umat Islam di tengah lingkungan yang berbeda keyakinan. Menurutnya, Masjid Darussalam menjadi tempat yang paling sering didatanginya karena lokasinya yang berdekatan dengan kampus. Ia menggambarkan bahwa suasana Ramadan di masjid tersebut terasa sangat hidup, dengan berbagai kegiatan seperti buka puasa bersama, tarawih berjamaah, ceramah agama, hingga i’tikaf yang berlangsung setiap malam.
“Kegiatan-kegiatan tersebut bukan hanya bersifat ritual, tetapi juga menjadi ruang sosial bagi para perantau. Kami bertemu, berbagi makanan, cerita riset, bahkan informasi akademik seperti konferensi internasional dan publikasi jurnal. Ada perasaan bahwa kami sedang membangun peradaban kecil dari komunitas yang sangat beragam,” ungkapnya.
Dalam menjalankan ibadah Ramadan di negeri minoritas, komunitas Muslim di Budapest mengandalkan keberadaan masjid-masjid sebagai pusat aktivitas keagamaan dan kebudayaan. Nafik menjelaskan bahwa masjid-masjid di Budapest umumnya bercorak komunitas, seperti Masjid Turki, Masjid At-Taqwa, dan Masjid Pascal yang mencerminkan latar belakang asal para jamaahnya, lengkap dengan tradisi dan hidangan khas masing-masing. Meski berbasis etnis, ia menekankan bahwa masjid-masjid tersebut tetap terbuka untuk umum, hanya saja setiap orang yang ingin ikut serta dalam kegiatan, seperti buka puasa bersama, diwajibkan mendaftar terlebih dahulu secara daring karena keterbatasan tempat dan jumlah makanan yang tersedia.
“Pada saat hari raya Idulfitri, kebersamaan itu pun semakin terasa. Shalat Idulfitri kami lakukan di halaman KBRI. Ada lebih dari 700 WNI berkumpul, dari mahasiswa, pekerja, sampai warga lokal yang menikah dengan orang Indonesia. Momen itu sangat emosional, karena kami merasa seperti menemukan kembali rumah yang hilang, mengingat mahasiswa Indonesia di Budapest cenderung jarang bertemu karena kesibukan masing-masing,” ujarnya.
Nafik menilai bahwa di tengah masyarakat Hungaria yang cenderung individualistik, momen-momen kebersamaan dalam komunitas Muslim memiliki peran penting dalam menjaga nilai kolektif dan solidaritas. Ia menggambarkan kehidupan di Eropa sebagai sangat privat, bahkan antar tetangga pun belum tentu saling mengenal, sehingga keberadaan komunitas Muslim menjadi ruang pertemuan yang sangat berharga.
“Saya tentu saja rindu suasana lebaran di Indonesia, tapi justru di perantauan ini saya belajar lebih dalam tentang makna ukhuwah. Kebersamaan yang tumbuh dari keterbatasan, dari perjumpaan dengan sesama Muslim lintas bangsa, terasa sangat kuat di sini. Di tengah masyarakat yang individualistik, komunitas Muslim menjadi ruang pertemuan yang sangat berharga,” jelasnya.
Baginya, lebaran di Budapest bukan hanya soal ibadah, tapi juga soal menyadari bahwa iman itu bukan tentang tempat, tapi tentang komitmen dan keberanian untuk tetap menjadi diri sendiri. Ia berharap komunitas Muslim di perantauan, terutama para mahasiswa, bisa terus merawat solidaritas lintas budaya dan menunjukkan wajah Islam yang damai dan inklusif di mata dunia. (diko)