Bung Hatta: Sepatu Bally yang Menginspirasi Anti Korupsi
Oleh: Babay Parid Wazdi, Kader Muhammadiyah, Aktifis IPM 1988-1991, Dewan Pembina Yayasan Keluarga Bung Hatta
Kabut pagi belum sepenuhnya terangkat dari perbukitan Yogyakarta. Embun masih menetes di daun Matoa di halaman rumah Pakde di Warungboto. Suara sepeda loper koran memecah kesunyian. Ia berhenti sebentar, menyelipkan selembar Kedaulatan Rakyat di pagar. Seperti biasa aku bergegas mengambilnya, entah mengapa hari itu hatiku terdorong untuk langsung membuka tanpa diberikan ke Pakde terlebih dahulu.
Di koran itu terpampang wajah seorang yang tak asing, Bung Hatta, Sang Proklamator, sosok jujur dan sederhana yang menjadi teladan moral bangsa. Mataku tertumbuk pada satu kisah kecil namun menyala dalam dada, kisah tentang sepatu Bally yang tak pernah dibeli hingga akhir hayatnya.
Diceritakan bahwa Bung Hatta, yang kala itu sudah menjadi Wakil Presiden, begitu ingin memiliki sepatu Bally. Sepatu yang bagus, elegan, dan tentu mahal. Tapi hingga akhir hayatnya, sepatu itu tak pernah terbeli. Yang Ia miliki hanyalah guntingan iklan sepatu itu dari koran, yang diselipkannya di sebuah buku.
Kisah itu menampar batinku. Betapa di tengah orang-orang yang berlomba memperlihatkan status dengan kemewahan, ada seorang pemimpin bangsa yang memilih hidup bersahaja dan bersih. Bung Hatta menolak jalan gemerlap dan memilih jalan sunyi, jalan moral yang kini terasa semakin jarang dilewati.
Kisah itu kuceritakan kepada Pakde. Pakde hanya mengangguk pelan. Sore harinya aku pulang membawa beberapa buku tentang Bung Hatta. Aku lupa judulnya, tapi ingat betul isinya setelah membacanya, kagum yang menumbuhkan tekad. Dari situ aku berjanji, aku ingin meniti jejak Bung Hatta. Hidup dengan integritas, menjauhi kemewahan yang menipu, dan menjaga amanah dimana pun aku ditempatkan.
Spirit itu kubawa hingga ke dunia kerja. Dalam karirku di dunia perbankan, aku berusaha menjaga amanah dan menolak segala bentuk maksiat kekuasaan yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Aku belajar bahwa setiap rupiah yang bukan hak kita adalah racun yang lambat tapi mematikan.
Selama 27 tahun aku bekerja, aku berusaha menegakkan prinsip meritokrasi, tidak menerima suap, tidak menitip jabatan, tidak memanfaatkan relasi untuk keuntungan pribadi. Semua keputusan kuambil dengan dasar keadilan dan niat yang jernih. Aku ingin menjadi bagian dari solusi bangsa, bukan bagian dari masalahnya.
Namun hidup kadang tak berjalan sebagaimana yang kita rencanakan, dan saat ini aku sedang berada di tempat yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, di balik jeruji Rutan Salemba, menghadapi fitnah masyarakat dan dakwaan korupsi. Ironis memang, aku yang berusaha menjauhi korupsi, justru dituduh melakukannya.
Aku sering merenung, mungkinkah ini ujian Allah Swt untuk menguji keikhlasan amal kecil yang pernah kulakukan? Atau mungkin Allah ingin mengajarkanku bahwa kebenaran tak selalu dimenangkan oleh logika dunia, tapi oleh kesabaran dan tawakal.
Aku mengibaratkan keadaanku seperti penjaga toko yang tertembak dalam baku tembak antara polisi dan perampok. Akibat terkena peluru, orang mengira aku bagian dari para perampok itu. Padahal aku hanya berusaha menjaga toko, menjaga amanah.
Namun aku yakin, Allah Maha Melihat. Aku bertawassul melalui amal kecil untuk menolak suap, menolak KKN, menolak hidup berlebihan, dan menjaga integritas walau sunyi. Semoga melalui amal itu Allah membuka jalan kebebasanku, baik kebebasan lahir dari tuduhan maupun kebebasan batin dari rasa kecewa.
Setiap kali aku teringat kisah sepatu Bally, aku seperti menemukan cermin. Bung Hatta yang tak pernah membeli sepatu impiannya. Sementara aku, yang berusaha meniti jalan itu, saat ini sedang diuji dalam bentuk yang berbeda. Barangkali, inilah bagian dari harga spiritual untuk mempertahankan idealisme di tengah sistem yang sering abu-abu.
Bung Hatta mengajarkan bahwa hidup sederhana bukan berarti miskin, tapi merdeka dari kerakusan. Sederhana bukan karena tidak punya, tapi karena tahu apa yang benar. Dan kejujuran meski tidak selalu membawa kenyamanan dunia, tetaplah jalan yang paling damai bagi hati.
Aku merasa beruntung dipercaya menjadi pembina Yayasan Keluarga Bung Hatta. Mengenal dan berdikusi dengan tiga bidadari Bung Hatta, Bu Mutia, bu Halida, dan Bu Gemala. Di sana, semangat Bung Hatta selain dapat kuteladani secara utuh, juga dapat kuwariskan pada generasi muda.
Di Salemba aku juga terinspirasi Manifesto 1925. Manifesto yang dibuat Bung Hatta dan rekan-rekan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Inti Menifesto itu berisi kesetaraan, kemadirian dan persatuan. Di ruang yang sempit ini pun aku menuliskan pemikiran-peikiranku tentang kemandirian, perjuangan, keindonesian dan kebangsaan.
Sekarang di antara kesunyian tembok Salemba, aku kembali menatap kisah sepatu Bally itu dalam ingatan. Aku membayangkan Bung Hatta yang tersenyum dalam kesederhanaannya. Aku pun berdoa, semoga Allah menguatkanku untuk terus menjaga nurani, seperti Bung Hatta menjaga dirinya dari godaan dunia.
Rutan Salemba, 28 Oktober 2025
Penulis adalah Direksi Bank DKI (2018 sd 2022) & Dirut Bank Sumut (2023 sd 2025). Esay ini di ketik ulang dari tulisan tangan ayahku yang berada di rutan Salemba & Esay ini bagian dari Manifesto Tawasul Sang Burung Pipit (The Bright Way to Freedom and Faith), salam Ahmad Raihan Hakim (Alumni SMA Muh 3 Jkt 2018).

