Brand “MU” Harus Disikapi dengan Cerdas dan Bijak
Oleh Amidi, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Palembang, BPH IkesT Muhamamdiyah Palembang dan Pengamat Ekonomi Provinsi Sumatera Selatan
Seiring dengan kemajuan amal usaha dibidang pendidikan dan kesehatan yang dimiliki persyarikatan Muhammadiyah, seiring dengan itu mulai hadir dan mulai bermunculan amal usaha dibidang ekonomi.
Hadirnya amal usaha dibidang ekonomi tersebut, tidak hanya didominasi oleh amal usaha dan persyarikatan Muhammadiyah yang ada di Pulau Jawa, tetapi saat ini sudah merambah ke luar Pulau Jawa bahkan sudah sampai kedaerah-daerah.
Kemudian, amal usaha dibidang ekonomi tersebut, tidak hanya diusahakan oleh amal usaha dibidang pendidikan dan kesehatan yang sudah sudah eksis, tetapi unit amal usaha baru yang didirikan oleh Persyarikatan Muhammadiyah pun akan diarahkan pada amal usaha dibidang ekonomi.
Saat ini amal usaha dibidang ekonomi terus bertambah, baik yang diusahakan oleh amal usaha dibidang pendidikan dan kesehatan sebagai ekspansi amal usaha-nya, maupun yang diushakan oleh Persyarikatan Muhammadiyah sendiri, misalnya yang dilakoni persyarikatan Muhammadiyah ditingkat ranting, cabang, daerah, provinsi dan pusat.
Dibidang amal usaha pendidikan, tidak sedikit yang telah melakukan ekspansi usaha-nya dengan membuka/mengusahakan air minum, pengadaan beras, penyediaan snack, penyediaan makan-minum, penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM), Hotel dan Restoran. Begitu juga amal usaha dibidang kesehatan, tidak sedikit yang telah melakukan ekspansinya dengan membuka apotik, toko obat, penginapan untuk pasien dan lainnya.
Untuk membedakan dengan produk yang lain atas produk yang diproduksi atau dijual tersebut, amal usaha dibidang pendidikan dan kesehatan atau persyarikatan Muhammadiyah yang membuka amal usaha dibidang ekonomi tersebut, belakangan ini membuat merek dengan menambahkan kata “MU” pada nama produk atau merek produk, yang merupakan singkatan Muhamamdiyah sekaligus sebagai branding merek amal usaha dibidang ekonomi.
Perlu Kehati-hatian.
Dalam perkembangannya, pada umumnya merek produk (barang dan jasa) yang diusahakan oleh amal usaha dibidang pendidikan dan kesehatan tersebut, hanya menambahkan kata “MU” setelah nama produk atau merek produk atau merek amal usaha dibidang ekonomi tersebut. Contoh, merek air mineral, yakni air-MU. Merek mie, dibranding dengan mie-MU, merek beras, dibranding dengan beras-MU, Unit amal usaha koperasi, Koperasi-MU, TV dibranding dengan TV-MU dan lain-lain, singkat kata, semua merek yang dibranding tersebut tinggal menambahkan kata “MU” saja.
Di Palembang, Institute Ilmu Kesehatan dan Teknologi (IkesT) Muhammadiyah Palembang, membuka amal usaha dibidang ekonomi dengan pengadaan snack, kotaknya diberi merek dengan branding “Gonyelan-MU”, Gonyelan dalam bahasa Indonesianya adalah ngunya (mengunyah), maka dibrandinglah mereknya menjadi gonyelan-MU.
Jika tidak hati-hati, maksud hati merek yang kita buat, yang tadinya untuk memberikan ke-khas-an tersediri, yakni brand Muhammadiyah-nya, justru akan mengaburkan merek dari suatu produk atau unit amal usaha dibidang ekonomi itu sendiri, karena ada banyak kesamaanya dan tidak memiliki keunikan dan atau kekhasan tersendiri. Misalnya usaha Air Minum yang di produksi oleh PT di Yogyakarta, dibranding dengan merek Air-MU, air minum yang diproduksi oleh PT di Palembang, juga dibranding dengan merek Air-MU juga, sehingga tidak ada pembeda.
Sebaiknya, begitu kita sudah menambahkan kata “MU” pada nama produk atau sebelah merek produk tersebut, harus ada ciri khas masing-masing, misalnya tempat/asal amal usaha yang mengushakan produk tersebut. Jangan mengaburkan keberadaan dan atau tempat produk tersebut diproduksi oleh amal usaha dan jangan menimbulkan interpretasi yang salah serta jangan sampai memberi citra negaitf.
Bila kita terlanjur menambakan kata “MU” pada nama produk yang kita produksi atau jual tersebut, sementara, produk yang kita produksi atau jual tersebut menilbulkan suatu masalah, tidak higinis, tidak mengedepankan aspek keamanan dan kesehatan serta aspek lainnya pada produk yang kita produksi atau kita jual tersebut, maka bukan hanya amal usaha yang memproduksi atau menjual produk tersebut saja yang akan “tercoreng”, maka bukan tidak mungkin semua amal usaha yang telah membranding merek produknya dengan menambahkan kata “MU” juga ikut “tercoreng”.
Ini penting, jika ada amal usaha dibidang pendidikan atau kesehatan atau persyarikatan Muhammadiyah yang akan mendirikan amal usaha dibidang ekonomi, amal usaha dibidang ekonomi tersebut harus diberi merek atau dibranding dengan memberi kemudahan bagi konsumen untuk mengenalinya, untuk mengingatnya, untuk membedakannya dengan yang lain. Misalnya air-MU-UMY, Apotik-MU-RS Cempaka Putih, dan seterusnya, harus melekat dalam satu kata yang mencerminkan pemilik atau tempat
Harus Cerdas dan Bijak
Dengan demikian, unsur kecerdasan dan kebijaksanaan dalam membuat suatu merek yang sekaligus akan menjadi branding suatu amal usaha dibidang ekonomi, baik yang didirikan oleh amal usaha dibidang pendidikan atau kesehatan sebagai hasil ekspansinya, maupun unit amal usaha dibidang ekonomi yang didirikan oleh Persyarikatan Muhammadiyah sendiri, harus memiliki kekhasan tersendiri, memudahkan konsumen untuk membedakan dengan yang lain, memudahkan konsumen untuk mengenalinya, memberi citra positif dan mendorong konsumen untuk terus jatuh cinta pada produk kita serta yang lebih penting lagi adalah merek tersebut harus menjamin produk yang kita produksi atau jual tersebut aman, sehat dan halal.
Kemudian merek yang kita buat atau kita branding tersebut pun harus memenuhi persyaratan legalitas yang telah ditetapkan, memberi nilai-nilai ke-Islaman, atau ada unsur religius-nya.
Langkah yang harus dilakukan.
Untuk itu, setidaknya ada beberpa langkah yang perlu dilakukan agar merek yang kita branding memberikan “citra positif” bagi kita dan konsumen, yakni;
Pertama. Jika kita masih tetap mau menggunakan kata “MU” pada nama produk atau merek produk kita, maka sebelum buru-buru mencamtumkan kata “MU” tersebut, sebaiknya harus dilakukan kajian dan atau peneltian terlebih dahulu. Menurut saya, tidak ada salahnya kalau kita belajar dari merek suatu produk milik pelaku usaha yang sudah sukses, mapan, eksis dan menguasai pasar (market leader).
Kita tahu bahwa mereka sudah berhasil membangun citra positif atas merek yang sekaligus menjadi brand mereka, sehingga tidak heran kalau merek produk mereka tersebut disenangi/digemari konsumen.
Bisa kita saksikan sendiri, tidak sedikit pelaku usaha yang berjuang untuk membangun citra positif atas merek yang sekaligus menjadi brand mereka, dibidang otomotif, kita kenal dengan Toyota, dibidang air mineral, kita kenal dengan Aqua, dibidang makanan siap saji, kita kenal dengan KFC, dibidang minuman penghangat (kopi), kita kenal dengan starbuck, dibidang deterjen, kita kenal dengan Rinso, dibidang pasta gigi, kita kenal dengan Pepsodent, dan masih banyak lagi yang lainnya. (lebih lengkap lihat Amidi dalam Kompasiana.com, 19 Desember 2023)
Kedua. Menurut saya, kata “MU” yang ditambahkan pada nama produk atau merek suatu produk, masih perlu dimatangkan lagi atau masih perlu dirumuskan kembali. Apakah kita tetap menambahkan kata “MU” pada produk atau merek suatu produk kita atau mungkin dirubah sesuai dengan hasil kesepakatan, yang penting merek yang sekaligus menjadi brand kita tersebut dapat memberi kesan dan ada ke-khas-an tersendiri yakni bahwa produk tersebut diushakan oleh amal usaha dibidang pendidikan dan kesehatan atau persyarikatan muhammadiyah yang telah melakukan ekspansi amal usahanya dibidang ekonomi.
Apakah tidak sebaiknya, menggunakan merek yang akan menjadi brand masing-masing amal usaha dibidang ekonomi yang diusahkan oleh amal usaha dibidang pendidikan dan kesehatan serta diusahakan oleh persyarikatan Muhammadiyah tersebut, dengan kata lain kita tidak menambahkan kata “MU” pada produk atau merek produk, namaun kita bebas saja membuat merek produk atau merek unit amal usaha dibidang ekonomi kita tersebut, namun harus ada lambang Muhammadiyah-nya saja. Misalnya dipojok kanan kemasan produk makanan, kita sajikan suatu logo Muhammadiyah yang diletakkan disamping logo halal dari Kementrian agama/MUI. Logo Muhammadiyah tersebut harus dirancang khusus sebagai logo Muhammadiyah untuk amal usaha dibidang ekonomi. Sehingga, setiap ada logo halal untuk produk kita, pasti disampingnya ada logo Muhammadiyah, setiap ada logo unit amal usaha dibidang ekonomi, pasti disampingnya ada logo Muhammadiyah.
Ketiga. Tidak ada salah-nya kalau konsumen yang kita bidik tersebut, tidak terbatas pada kosnumen dilingkungan kita saja, tetapi harus merambah keseluruh konsumen yang ada, ke semua anak negeri ini. Untuk itu, sekali lagi, pemilihan merek yang akan dibranding yang akan mencerminkan nama persyarikatan Muhammadiyah tersebut harus dapat memenuhi citra merek yang berorientasi pada semua lini konsumen.
Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga eksistensi dan keberlangsungan produk yang kita produksi atau kita jual, menjaga citra positif dari produk dan unit amal usaha bidang ekonomi tersebut, dan dapat terus menerus memenuhi keinginan konsumen atas produk yang kita produksi atau jual. Selamat berjuang, semoga sukses!!!!!