YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Buku “Parmusi: Pergulatan Muhammadiyah dalam Partai Politik 1966-1971” karya Ridho Al-Hamdi, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah dibedah pada Selasa (19/11). Bedah buku ini dilaksanakan di Lantai 4 Ruang Aula Grha Suara Muhammadiyah.
Ridho mengatakan buku ini lahir dari keresahannya pasca merampungkan bukunya yang berjudul Paradigma Politik Muhammadiyah pada tahun 2020. “Di tengah-tengah itu saya berpikir belum ada buku Parmusi yang khusus, yang ternyata di dalamnya Muhammadiyah itu sangat luar biasa,” terang penulis dalam sambutannya.
Ridho menjelaskan jika sejak berdiri pada 1912 hingga kini, para aktivis Muhammadiyah banyak yang pernah terlibat dalam aktivitas kepartaian. Seperti di Sarekat Islam (SI), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Matahari Bangsa (PMB) hingga ke Partai Ummat (PU), ataupun partai politik lain.
Keterlibatan Muhammadiyah paling intensif secara kelembagaan ke partai politik terjadi pada Parmusi dibandingkan Masyumi apalagi PAN. Baik Parmusi maupun Masyumi, keduanya sama-sama hanya sekali saja pernah menjadi peserta pemilu. Masyumi pernah menjadi partai politik peserta Pemilu 1955 sementara Parmusi pernah menjadi partai politik peserta Pemilu 1971.
“Bedanya, bulan madu antara Muhammadiyah dan Parmusi (1968-1971) tidak sepanjang/selama antara Muhammadiyah dan Masyumi (1945-1958). Namun, intensitas pengaruh dan keterlibatan Muhammadiyah ke Parmusi jauh lebih mendalam ketimbang ke Masyumi,” jelas Ridho.
Seperti Ridho, Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah David Efendi menyebutkan bahwa Muhammadiyah mungkin telah memasuki era baru politik yang disebutnya "politik tanpa partai." Menurutnya, fenomena ini dapat dilihat dari dorongan Muhammadiyah pada kader terbaiknya untuk menduduki jabatan struktural di pemerintahan.
“Ini adalah perjalanan sejarah menarik dari Muhammadiyah. Mungkin inilah bentuk baru dari politik tingkat tinggi (high politics) yang tidak sekadar bertumpu pada kelembagaan formal, tetapi pada konsensus dan kesadaran diaspora,” jelasnya.
Mempelajari sejarah merupakan hal yang sangat penting. Direktur Bidang Media dan Publikasi Suara Muhammadiyah Isngadi Marwah Atmadja mengajak untuk menggali sejarah dengan pandangan gaya baru. Terlebih menyakut perpolitikan, adalah hal yang sudah semestinya dipelajari terutama oleh generasi masa kini.
“Sejarah tidak perlu ditakuti. Sejarah tidak perlu disesali, tetapi perlu diulangi dengan cara baru,” tuturnya.
Sementara itu, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Siti Syamsiyatun memberikan testimoni buku Parmusi ini sebagai kisah “Musibah berbuah Hikmah” bagi Muhammadiyah. Menurutnya penting untuk memahami sejarah dinamika dan relasi Muhammadiyah dengan parpol.
“Generasi muda dan yang akan datang dapat mengambil hikmah terbaik dari segala peristiwa yang beragam untuk melanjutkan gerakan Muhammadiyah,” terangnya.
Dalam acara pagi ini hadir juga Ketua Umum PP Aisyiyah Salmah Orbayyinah, Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah Ariati Dina Puspitasari, Dosen Ilmu Sejarah UNY Muhammad Yuanda Zara, BPH UAD Azman Latif, dan beberapa tamu undangan lainnya. (Lik/Fab/Hafidz/Cris)