Anak Saleh (32)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang panjang dan penuh tantangan."
Keteladanan di rumah kiranya sudah cukup banyak yang diuraikan sampai “Anak Saleh” (AS) 31. Tentu saja mungkin masih ada yang terlewatkan. Pada prinsipnya orang tua (tidak hanya ayah ibu) berkewajiban menjadi teladan.
Di dalam AS (32) ini diuraikan keteladanan di luar rumah.
Keteladanan pada Era VUCA
Pada era volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA), anak harus mendapat keteladanan ayah ibu di rumah yang sangat konkret. Anak dapat secara langsung dan terus-menerus mendengar ucapan dan melihat perilaku ayah ibunya yang pantas menjadi teladan.
Volatility merujuk kepada keadaan, bahkan dapat juga merujuk kepada pendapat dan sikap, yang tidak stabil. Kondisi yang demikian sangat terasa terutama di dunia politik.
Uncertainty merujuk kepada ketidakmenentuan atau ketidakpastian. Dalam hubungannya dengan cuaca (iklim) misalnya kita benar-benar dapat merasakan dampaknya, terutama pada kesehatan. Demikian pula di dunia politik: ketidakpastian makin terasa.
Complexity mengacu kepada kekompleksan masalah sebagai akibat volatility dan uncertainty. Masalah pendidikan jalin-berjalin dengan masalah ekonomi, politik, demografi, dll.
Ambiguity mengacu kepada keambiguan yang mengakibatkan ketidakmampuan para pakar (apalagi orang awam) merumuskan secara akurat tentang ancaman dan peluang. Lagi-lagi, hal ini sangat kita rasakan di dunia politik.
Dinamika di dalam Keluarga
Di dalam kenyataan ada satu keluarga yang mempunyai perbedaan cita-cita. Ayah bercita-cita agar anaknya menjadi dokter, sedangkan ibunya bercita-cita agar anaknya menjadi guru. Perbedaan cita-cita itu dengan mudah dicarikan solusi kompromi yang menurut bahasa kerennya win win solution. Mereka sepakat bahwa anaknya menjadi dokter juga dosen.
Dalam hal aspirasi politik dapat pula terjadi perbedaan. Perbedaan aspirasi politik dapat terjadi antara ayah dan ibu, atau ayah ibu dan anak. Namun, perbedaan itu dapat dipahami bersama.
Untuk mencapai kesepakatan dalam perbedaan, tidak ada hambatan. Dengan kata lain, mereka tetap baik-baik saja. Bahwa ada dinamika di ruang keluarga sangat terbuka lebar. Namun, kedinamisan yang terwujud dalam bentuk diskusi itu selalu berakhir dengan saling mendoakan untuk kebaikan dalam lingkup yang sangat luas, yakni bangsa dan negara. Tidak pernah saling meremehkan apalagi saling mendiamkan!
Tantangan ayah, ibu, dan anak pada era gawai dan era VUCA makin berat. Keteladanan ayah ibu dalam hitungan menit dapat saja dirusak oleh media sosial.
Ilustrasi berikut ini kiranya perlu kita jadikan pengingat. Anak masih di rumah. Anak hanya berpindah ruang. Dalam hitungan tiga langkah saja dia telah berada di kamarnya.
Di kamar dia membuka You-Tube pada gawainya. Ada berita tawur antarpelajar, ada geng motor menggeber-geber di depan markas tentara, ada tentara berkelahi dengan polisi, ada ustadz mengolok-olok sesama ustadz, ada presiden mengucapkan kata kasar kepada rakyat yang mengkritiknya dan dibalas oleh rakyatnya dengan ucapan yang lebih kasar, dan masih lagi ucapan dan perilaku lain yang bertentangan dengan pendidikan yang diperolehnya dari ayah ibu.
Keteladanan di luar Rumah
Di luar rumah anak mendengar teman sebaya dan orang yang lebih tua berbicara dan melihat perilakunya. Di antara teman sebaya dan orang yang lebih tua itu ada yang laik menjadi teladan, tetapi ada pula yang tidak sama sekali.
Anak dapat mendengar orang tua yang tidak mengerjakan shalat berbicara dengan tenang bahwa hidupnya baik-baik saja. Terhadap hal demikian harus ada teman sebaya atau lebih-lebih lagi orang tua yang mau mengatakan, “Jangan ditiru!” Demikian pula jika anak melihat perilaku teman sebaya atau orang tua berakhlak buruk, harus ada pula yang mau mengatakan seperti itu.
Sebagai wujud tanggung jawab ucapannya, “Jangan ditiru”, dia wajib shalat dan berakhlak mulia. Memang begitulah seharusnya. Ibadah harus berdampak baik terhadap akhlak pelakunya sebagaimana dijelaskan di dalam Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah berikut ini.
1. Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk senantiasa membersihkan jiwa/hati ke arah terbentuknya pribadi yang muttaqin dengan beribadah yang tekun dan menjauhkan diri dari jiwa/hati yang buruk sehingga terpancar kepribadian yang saleh yang menghadirkan kedamaian dan kemanfaatan bagi diri dan sesamanya.
2. Setiap warga Muhammadiyah melaksanakan ibadah mahdah dengan sebaik-baiknya dan menghidupsuburkan amal nawafil (ibadah sunnah) sesuai dengan tuntunan Rasulullah serta menghiasi diri dengan iman yang kokoh, ilmu yang luas, dan amal saleh yang tulus sehingga tecermin dalam kepribadian dan tingkah laku yang terpuji.
Sungguh sangat aneh jika ada muslim mukmin sudah mengerjakan shalat, puasa, apalagi haji tidak mendatangkan kedamaian dan kemanfaatan pada dirinya dan pada orang lain. Bahkan, semestinya muslim mukmin yang telah mengerjakan ibadah tersebut mendatangkan kedamaian dan kemanfaatan bagi orang yang berbeda agama sekalipun. Dengan kata lain, ibadah yang dikerjakannya menjadikan dirinya sebagai rahmatan lil’alamin.
Sementara itu, ibadah yang dikerjakannya pun harus dapat membentuk kepribadian dan tingkah laku yang terpuji. Kepribadian dan tingkah laku yang terpuji dapat terwujud melalui ucapan dan perilaku. Semestinya, muslim mukmin yang telah mengerjakan ibadah tersebut berucap dan berperilaku terpuji.
Kesenjangan das Sollen dengan das Sein
Pada era VUCA terasa kesenjangan das sollen (keadaan yang seharusnya) dan das sein (keadaan yang nyata) makin melebar. Banyak orang dewasa pada semua tataran sosial dan pendidikan berucap dan berperilaku yang bertentangan dengan standar akhlak mulia . Di antara mereka ada yang berbicara kasar (bahkan kotor) misalnya memaki-maki, mengolok-olok, dan nyinyir. Di samping itu, di antara mereka ada yang berperilaku tidak terpuji misalnya korupsi, tawur, dan selingkuh.
Keadaan yang membuat makin menganganya kesenjangan itu adalah terjadinya berbagai tindakan yang melanggar standar akhlak mulia di perguruan tinggi. Ada perguruan tinggi yang dengan mudah memberikan gelar doktor HC, padahal orang tersebut tidak mempunyai satu pun karya ilmiah yang dipublikasi, baik di jurnal terakreditasi nasional apalagi terakreditasi internasional.
Ada pejabat publik yang mendadak lulus doktor, padahal jarang mengikuti kuliah dan sangat mungkin jarang juga membuat tugas apalagi mempresentasikan tugas. Bahkan, di dalam disertasinya terindikasi ada pelanggaran kode etika penulisan karya ilmiah.
Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah plagiasi yang dilakukan oleh profesor. Bahkan, ada rektor perguruan tinggi berafiliasi agama yang melakukan plagiasi juga!
Anak yang berharap bahwa keadaan di luar rumah baik-baik saja seperti di dalam rumahnya menjadi shock. Mereka frustrasi.
Kekecewaan dan kekesalannya diwujudkan dalam wujud protes melalui lukisan, lirik lagu, puisi, dan/atau tindakan lain seperti unjuk rasa. Namun, mereka berhadapan dengan tindakan represif aparat. Akibatnya, mereka melawan dengan ucapan kasar dan kotor dan perilaku anarkis. Di sisi lain anak melihat dengan mata kepala sendiri para pelaku tindak kejahatan jutru tidak disentuh.
Ada lagi. Elite bangsa yang berbicara kasar dan kotor bukannya diingatkan agar tidak mengulang karena tidak baik bagi pendidikan karakter generasi Z, malahan disambut dengan “tertawa gembira”. Jelas kesenjangan itu menyebabkan anak makin frustrasi.
Anak yang ketika di rumah sudah dididik oleh ayah ibunya dengan ucapan dan perilaku yang benar dan baik berhadapan dengan kenyataan yang benar-benar bertolak belakang. Mereka berharap memperoleh penguatan atas nilai-nilai akhlak mulia, tetapi justru memperoleh pelemahan.
Muslim mukmin yang berakidah tegak lurus tidak pernah lelah menjadi orang saleh! Mereka yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti menolongnya sebagaimana firman-Nya di dalam Al-Qur’an di dalam surat al-Baqarah (2): 214
أَمۡ حَسِبۡتُمۡ أَن تَدۡخُلُواْ ٱلۡجَنَّةَ وَلَمَّا يَأۡتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلِكُمۖ مَّسَّتۡهُمُ ٱلۡبَأۡسَآءُ وَٱلضَّرَّآءُ وَزُلۡزِلُواْ حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصۡرُ ٱللَّهِۗ أَلَآ إِنَّ نَصۡرَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat”.